Dalam beberapa minggu ini, masyarakat disuguhkan adanya potensi perseteruan antara para pengusaha jasa hiburan khususnya pengusaha karaoke dan spa/mandi uap dengan pemerintah terkait besaran pajak yang telah ditetapkan dalam undang-undang.Â
Bahkan di beberapa media mengangkat berita tentang penolakan asosiasi spa dan wellness Indonesia menolak besaran tarif pajak yang telah ditetapkan yaitu minimal sebesar 40% dihitung berdasarkan harga jual barang dan jasa sejenis yang berlaku di wilayah daerah yang bersangkutan.Â
Senada dengan pengusaha spa dan wellness, beberapa pengusaha hiburan karaoke dengan fokal point pengusaha sekaligus artis nasional Inul Daratista dalam akunnya menyatakan protes keras terhadap pemberlakuan pajak kesenian dan hiburan khususnya untuk karaoke, bar, spa dan sejenisnya sebesar 40%. Hal ini dinilai memberatkan pengusaha, mengurangi pangsa pasar sekaligus membuat industri hiburan karaoke menjadi semakin lesu.
Pembebanan pajak ini sebenarnya dibebankan kepada pengguna atau obyek pajak sehingga secara tidak langsung pengusaha tidak terlalu terdampak, namun dalam pandangan pengusaha bahwa pembebanan pajak ke konsumen end usser ini akan serta merta menaikkan harga jual jasa dimaksud, dan berpotensi mengurangi jumlah kunjungan/konsumsi dari para pelanggan.
Sebelum kita bahas bagaimana polemik pajak hiburan tersebut, mari kita pusat nomenklatur pajak, agar kita bisa memahami secara gamblang dan jelas.Â
Pengertian pajak secara umum adalah pungutan pemerintah (baik pemerintah pusat, pemerintah provinsi ataupun pemerintah kabupaten/kota) yang bersifat wajib kepada masyarakat, dan dari pembayaran tersebut tidak serta merta memberikan manfaat timbal balik langsung kepada si pembayar pajak.
Pajak sebagaimana kita ketahui adalah salah satu urat nadi sumber darah segar pendanaan yang nantinya akan digunakan membiayai seluruh aktivitas pemerintahan, termasuk di dalamnya adalah menjadi sumber pembiayaan atas pelayanan kepada masyarakat serta penyediaan sarana prasarana publik.
Pajak sendiri dalam nomenklatur umum terdiri dari Pajak Pusat dan Pajak Daerah. Pajak Pusat adalah seluruh jenis pajak yang dipungut oleh Pemerintah Pusat diantaranya adalah Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).Â
Sedangkan Pajak Daerah sendiri, sesuai UU Nomor 1 Tahun 2022, Pasal 4 disebutkan terdiri dari 2 bagian besar yaitu Pajak yang diungut oleh Provinsi dan Pajak yang dipungut oleh Kabupaten/Kota.
Pajak yang dipungut oleh Provinsi terdiri dari Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB), Pajak Air Permukaan (PAP), Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBB-KB), Pajak Alat Berat (PAB), Pajak Rokok dan Opsen Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan (Opsen MBLB).Â
Sedangkan Pajak yang dipungut oleh Kabupaten/Kota terdiri dari Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan dan Pedesaan (PBB-P2), Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan (MBLB), Pajak Reklame, Pajak Air Tanah (PAT), Pajak Sarang Burung Walet, Opsen Pajak Kendaraan Bermotor (Opsen PKB), Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (Opsen BBNKB) dan Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT)
PBJT sendiri terdiri dari beberapa jenis obyek pajak yaitu Makanan dan/atau Minuman atau dulu dikenal dengan Pajak PBI atau Pajak Restoran, Tenaga Listrik atau yang dulu dikenal dengan PPJ atau Pajak Penerangan Jalan, Jasa Perhotelan atau yang dahulu dikenal dengan nama Pajak Hotel, Jasa Parkir atau dulu yang dikenal dengan nama Pajak Parkir dan Jasa Kesenian dan Hiburan atau yang dulu dikenal dengan nama Pajak Hiburan.
PBJT Jasa Kesenian dan Hiburan ini, menurut Undang Undang Nomor 1 tahun 2022, Pasal 55 - 59 disebutkan bahwa yang menjadi obyek pajaknya meliputi Â
- Tontonan film atau bentuk tontonan audio visual lainnya yang dipertontonkan secara langsung di suatu lokasi tertentu, Â
- Pergelaran kesenian, musik, tari, dan/atau busana;Â
- Kontes kecantikan;
- Kontes binaraga;Â
- Pameran;Â
- Pertunjukan sirkus, akrobat, dan sulap;
- Pacuan kuda dan perlombaan kendaraan bermotor;
- Permainan ketangkasan;
- Olahraga permainan dengan menggunakan tempat/ruang dan/atau peralatan dan perlengkaphn untuk olahraga dan kebugaran;Â
- Rekreasi wahana air, wahana ekologi, wahana pendidikan, wahana budaya, wahana salju, wahana permainan, pemancingan, agrowisata, dan kebun binatang
- Panti pijat dan pijat refleksi; danÂ
- Diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa.
Selain dari obyek pajak dari jasa hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa, tarif pajaknya maksimal 10% dari dasar pengenaan pajak atau jasa yang dibayarkan konsumen.Â
Khusus untuk jasa hiburan diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa dikenakan pajak minimal 40% dan maksimal 75% dari dasar pengenaan pajak atau jasa yang dibayarkan konsumen.
Sebenarnya sebelum UU No 1 Tahun 2022 terbit, di UU No 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Pasal 45 disebutkan bahwa  pengenaan tarif pajak khusus untuk jenis hiburan  berupa pagelaran busana, kontes kecantikan, diskotik, karaoke, klab malam, permainan ketangkasan, panti pijat, dan mandi uap/spa, tarif pajak hiburan dapat ditetapkan paling tinggi sebesar 75% .Â
Jadi dalam Undang Undang yang lama hanya diatur batas atas tarif pajaknya saja, dan beberapa jenis hiburan "khusus" yang sebelumnya masuk dalam cakupannya, dikeluarkan dan menjadi pajak hiburan "umum" seperti pagelaran busana, kontes kecantikan dan permainan ketangkatasan yang tarif pajaknya maksimal 10%.
Penentuan batas bawah tarif pajak untuk hiburan yang sifatnya "khusus" pada Undang Undang Nomor 1 Tahun 2022 inilah yang menjadi perdebatan hangat akhir akhir ini terutama adanya gelombang protes dari pengusaha spa dan karaoke.Â
Hal ini bisa dipahami karena pengusaha dan pekerja di sektor tersebut pasti akan merasa tertekan dengan adanya tarif pajak yang lumayan tinggi.Â
Sebagaimana kita ketahui bahwa tahun-tahun sebelumnya, tarif pajak yang ditetapkan pemerintah daerah untuk jenis hiburan "khusus" ini memang variatif, biasanya di angka 15% - 50% tergantung kebijakan masing-masing daerah.Â
Pengenaan tarif pajak hiburan "khusus" yang lebih tinggi dibandingkan jenis jasa hiburan lainnya masih dapat dimaklumi. Hal ini mengingat jenis layanan ini memang perlu adanya pengawasan, pengendalian dan pemantauan ekstra secara masif dan berkelanjutan.Â
Kegiatan pengawasan, pengendalian dan pemantauan tersebut membutuhkan dukungan pendanaan yang cukup lumayan besar dan ini dapat didanai langsung dari penerimaan PBJT Jasa Kesenian dan Hiburan atas layanan tersebut.
Selain itu secara sifat jenis layanan hiburan "khusus" ini mirip dengan subyek dan obyek cukai tembakau (rokok) dan minuman yang mengandung etil alkohol (miras), dimana obyek pajak bersifat inelastis. Artinya besar kecilnya minat pengguna layanan ini tidak terlalu siginifikan dipengaruhi oleh fluktuasi harga/biaya pelayanan. Willingness to Pay nya masih terbilang tinggi, segmentasi pasarnya juga terbatas dan dari jenis obyek pajaknya bukan merupakan kebutuhan primer ataupun sekunder.Â
 Hal lain yang bisa dilakukan adalah melakukan dialog antara pemilik usaha dengan pemerintah daerah sebagai pihak pembuat kebijakan sekaligus pemungut pajaknya agar dapat dicarikan win win solution-nya, entah itu dengan pemberian diskon, potongan atau keringanan pajak yang diatur dalam peraturan daerah ataupun pembuatan kebijakan daerah yang dapat memberikan efek positif bagi pengusaha semisal penertiban dan penutupan pada tempat usaha yang menyediakan hiburan "khusus" secara ilegal.
Sumber :
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H