Meski tak ada sapaan "irrashaimase" saat kami memasuki tirai tersebut, nuansa otentik tersebut justru kian terasa kental. Dekorasi serba merah, botol-botol sake yang berjajar di salah satu sudut bar, televisi yang menyiarkan saluran NHK Jepang, dan para ekspatriat yang tertawa lepas seraya menikmati makan malamnya. Saya betul-betul merasa asing, layaknya seorang turis yang sedang berkunjung ke Negeri Sakura.
Kami memutuskan untuk duduk di bar ketimbang di meja, agar terasa lebih otentik, ucap saya kala itu. Pelayan pun menghampiri kami dan memberikan dua buku menu berwarna merah (yang masih bertahan sampai detik ini), saya membukanya dengan antusias.Â
Terdapat beragam ramen dengan pilihan kuah serta daging, ayam dan babi. Banyak pula sajian nasi dan side-dish khas seperti gyoza dan sushi.
Meski bukan seorang Muslim yang taat, saya berprinsip untuk tidak secara eksplisit mengonsumsi daging babi (tidak mempertanyakan status halal menjadi bukti saya bukan Muslim yang taat, toh).Â
Terlepas dari pembahasan ini, akhirnya pilihan saya jatuh pada Chicken Shoyu Ramen ukuran besar dan gyoza ayam bakar sebagai side-dish untuk dinikmati berdua.
Setelah sekitar 15-20 menit, akhirnya datanglah yang dinantikan. Semangkuk besar ramen mengepul indah di hadapan saya. Gumpalan mie kuning berukuran sedang tampil manis bersama dua buah potongan ayam goreng tepung yang perlahan melembut oleh kuah shoyu panas nan harum. Hidangan ini tampil kian menawan dengan potongan tamago separuh matang dan sayur-mayur pelengkap, tak sabar rasanya untuk melahap ramen ini.
Panasnya suhu ramen membuat saya perlu melahapnya secara perlahan. Namun yang pasti, kelezatan Chicken Shoyu Ramen malam itu membuat saya benar-benar menikmati setiap detiknya. Tak terasa, yang tersisa hanyalah kubangan kuah bersama sedikit remahnya, tampak surut.
Hidangan tersebut saya tutup dengan kesegaran dari ocha dingin, serta satu porsi gyoza yang dinikmati bersama percakapan ringan khas sepasang kekasih.Â
Dua porsi ramen, satu porsi gyoza, dan dua gelas ocha yang kami nikmati itu menghabiskan kurang lebih sekitar Rp 250 ribu, rasanya tak beda jauh dengan hari ini (meski pastinya lebih mahal, inflasi).
Perut telah terisi penuh, lidah termanjakan, dan urusan administrasi pembayaran telah terselesaikan. Kami pun beranjak dari tempat duduk dan kembali ke lift tua tersebut untuk turun, kembali pulang.Â
Malam itu saya memutuskan, bahwa di kedai "rahasia" itulah, bersemayam semangkuk ramen terbaik yang pernah ada. Malam itu saya berjanji, akan terus kembali dan kembali lagi jika ingin menikmati semangkuk ramen.