"Ke ramen rahasia, yuk?"
Kalimat ajakan yang terlintas sekitar lima tahun lalu itu masih terekam jelas dalam memori. Saat itu saya masih berstatus mahasiswa magang di salah satu perusahaan majalah fashion & lifestyle yang berbasis di ibukota.
Saya sendiri mendapat rekomendasi dari dosen di kampus yang kebetulan proyek webzine-nya saya (dan teman-teman mahasiswa lain) bantu, dan kebetulan pula dirinya merangkap sebagai editor di majalah tersebut, dan lagi-lagi kebetulan, kalimat ajakan tersebut muncul darinya pasca segala urusan "perkantoran" usai kala malam menjelang.
Sebagai penggemar berat bakmi dan ramen, tentunya ajakan tersebut sungguh menggoda iman. Namun sayangnya, kelemahan iman saya berbanding lurus dengan kelemahan dompet saya kala itu.Â
Gaji dari program magang dan pekerjaan paruh waktu di salah satu brand lokal yang tidak seberapa itu perlu saya olah sebijaksana mungkin untuk dapat bertahan hidup sehari-hari.
Singkat waktu, beberapa bulan pasca program magang berakhir, saya berkesempatan untuk kembali ke ibu kota bersama seorang wanita yang saat itu masih berstatus "pacar" (tolong jangan ramaikan kolom komentar dengan pertanyaan bagaimana akhirnya).Â
Seiring dengan kemampuan dompet yang sedikit meningkat, kami (meski tak ada lagi kami di antara kita) memutuskan untuk menjajal ramen "rahasia" tersebut.
Setelah mendapat petunjuk dari editor saya, kami meluncur ke kawasan Bulungan, Jakarta Selatan. Lokasinya tepat berada di sebrang salah satu sudut Hotel Gran Mahakam, ada di lantai empat katanya. Langsung saya parkirkan mobil sesuai arahan petugas untuk kemudian turun dan masuk ke bangunan yang dimaksud.
Sejujurnya, saya setengah gemetar saat memasuki bangunan ini karena tampak sepi dan  "mati". Belum lagi saat memasuki lift-nya yang terbilang tua dan menyeramkan. Geraknya begitu lambat, lengkap dengan suara derit khas lift tua, kian menambah suasana "horor". Saya mulai bertanya-tanya, apa betul ini ramen "rahasia" yang dimaksud editor saya?
Namun, semua pertanyaan yang membuat keringat dingin saya mengalir ini pun terjawab. Saat pintu lift terbuka, rasanya saya baru saja melakukan teleportasi menuju ke sebuah sudut di kota Tokyo. Tirai khas dan rak yang penuh dengan komik-komik Jepang menjadi hal pertama yang menyambut.
Meski tak ada sapaan "irrashaimase" saat kami memasuki tirai tersebut, nuansa otentik tersebut justru kian terasa kental. Dekorasi serba merah, botol-botol sake yang berjajar di salah satu sudut bar, televisi yang menyiarkan saluran NHK Jepang, dan para ekspatriat yang tertawa lepas seraya menikmati makan malamnya. Saya betul-betul merasa asing, layaknya seorang turis yang sedang berkunjung ke Negeri Sakura.
Kami memutuskan untuk duduk di bar ketimbang di meja, agar terasa lebih otentik, ucap saya kala itu. Pelayan pun menghampiri kami dan memberikan dua buku menu berwarna merah (yang masih bertahan sampai detik ini), saya membukanya dengan antusias.Â
Terdapat beragam ramen dengan pilihan kuah serta daging, ayam dan babi. Banyak pula sajian nasi dan side-dish khas seperti gyoza dan sushi.
Meski bukan seorang Muslim yang taat, saya berprinsip untuk tidak secara eksplisit mengonsumsi daging babi (tidak mempertanyakan status halal menjadi bukti saya bukan Muslim yang taat, toh).Â
Terlepas dari pembahasan ini, akhirnya pilihan saya jatuh pada Chicken Shoyu Ramen ukuran besar dan gyoza ayam bakar sebagai side-dish untuk dinikmati berdua.
Setelah sekitar 15-20 menit, akhirnya datanglah yang dinantikan. Semangkuk besar ramen mengepul indah di hadapan saya. Gumpalan mie kuning berukuran sedang tampil manis bersama dua buah potongan ayam goreng tepung yang perlahan melembut oleh kuah shoyu panas nan harum. Hidangan ini tampil kian menawan dengan potongan tamago separuh matang dan sayur-mayur pelengkap, tak sabar rasanya untuk melahap ramen ini.
Panasnya suhu ramen membuat saya perlu melahapnya secara perlahan. Namun yang pasti, kelezatan Chicken Shoyu Ramen malam itu membuat saya benar-benar menikmati setiap detiknya. Tak terasa, yang tersisa hanyalah kubangan kuah bersama sedikit remahnya, tampak surut.
Hidangan tersebut saya tutup dengan kesegaran dari ocha dingin, serta satu porsi gyoza yang dinikmati bersama percakapan ringan khas sepasang kekasih.Â
Dua porsi ramen, satu porsi gyoza, dan dua gelas ocha yang kami nikmati itu menghabiskan kurang lebih sekitar Rp 250 ribu, rasanya tak beda jauh dengan hari ini (meski pastinya lebih mahal, inflasi).
Perut telah terisi penuh, lidah termanjakan, dan urusan administrasi pembayaran telah terselesaikan. Kami pun beranjak dari tempat duduk dan kembali ke lift tua tersebut untuk turun, kembali pulang.Â
Malam itu saya memutuskan, bahwa di kedai "rahasia" itulah, bersemayam semangkuk ramen terbaik yang pernah ada. Malam itu saya berjanji, akan terus kembali dan kembali lagi jika ingin menikmati semangkuk ramen.
Waktu berlalu dan seperti biasa, takdir selalu berjalan di luar dugaan. Akan tetapi, saya menepati janji untuk selalu kembali kesana untuk menikmati semangkuk ramen.Â
Bersama kawan, keluarga, ataupun seorang sendiri. Ada malam-malam dimana saya berakhir melahap semangkuk ramen sendirian, dan menikmati sebotol bir dingin seraya membaca buku untuk pencuci mulut.
Waktu berlalu dan media sosial pun berkembang pesat, dengan kekuatan mulut ke mulut dan ribuan citra yang tersebar di dunia maya, kedai "rahasia" tersebut perlahan semakin ramai, terutama pada jam-jam makan malam dan di akhir pekan.Â
Semakin hari, rasanya kian sulit untuk mendapatkan kursi dan menikmati semangkuk ramen terbaik yang pernah ada. Hal ini menjadi salah satu alasan berkurangnya frekuensi saya untuk kembali kesana.
Akhirnya waktu pun menjawab, ramen "rahasia" kini tak lagi menjadi rahasia. Tetapi satu hal yang tak (atau mungkin belum) berubah adalah jawaban saya tentang ramen terbaik yang pernah ada, dan tentang kenangan-kenangan yang bersemayam kala orang banyak belum mengetahui "surga" tersembunyi di sudut ibukota ini.
Penasaran, atau malah sudah tahu duluan? Apapun jawabannya, ramen "rahasia" ini adalah Yoiko 415.Â
Lokasinya ada di Gedung Jasmine Lt.4, Jl. Mahakam No.11, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Mereka pun belum lama ini membuat cabang kedua di SPBU 34-12113, Jl. Pangeran Antasari No. 10A, Fatmawati, Jakarta Selatan.Â
Silahkan mampir dan cicipi sendiri rasa dan nuansa khasnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H