Mohon tunggu...
Aditya Maheranta
Aditya Maheranta Mohon Tunggu... -

Seorang Pelajar yang senang bercerita dan berdebat.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

LDBI dan NSDC 2017: Harapan Kehidupan Berbangsa dari Kacamata Anak SMA

4 Juli 2017   03:13 Diperbarui: 4 Juli 2017   08:39 2666
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lomba Debat Bahasa Indonesia (LDBI) dan National School Debating Championship (NSDC) mempertemukan siswa-siswi berusia (kisaran) 15-18 tahun dari seluruh Indonesia. Dengan latar belakang yang sangat beragam sehingga dapat merepresentasikan satu "angkatan" atau satu "generasi" bangsa Indonesia akan yang menjadi motor pergerakan bangsa ini, terutama melirik prediksi bonus demografi yang akan terjadi dekade mendatang. Inilah alasan mengapa saya menjadikannya sebuah harapan.

Sebagai seorang anak SMA tentu menjadi impian saya untuk bisa meraih prestasi setinggi mungkin, untuk bisa bersaing dengan sahabat dari seluruh negri. Ternyata impian saya ini terwujud dengan menjadi bagian dari kompetisi debat di tingkat nasional. Datang dari sekolah swasta, saya selalu skeptis dengan bagaimana kompetisi akan berjalan di bawadh kontrol dinas dan dominasi siswa-siswi sekolah negri. Namun ternyata keresahan saya tidak terbukti, saya justru mengalami hal yang jauh berbeda dari perkiraan.

Bergabung dengan delegasi D.I.Yogyakarta mempertemukan saya dengan rekan yang seluruhnya berasal dari sekolah negri. Rekan saya di tim LDBI, Dira (SMAN 1 Kasihan) dan Juan (SMAN 8 Yogyakarta). Rekan di tim NSDC ada Nana dan Zuhdi (SMAN 8 Yogyakarta) serta Mareeka (SMAN 3 Yogyakarta). Saya sendiri dari SMA Kolese De Britto. Sesaat setelah bergabung dengan tim ini, spekulasi tentang dominasi suatu golongan sirna sudah. Terlepas dari status sekolah yang didominasi negri, dalam berbagai aspek kami sangat plural, baik agama, pandangan, cara pikir, dll. 

Dan hal yang saya kagumi adalah kerelaan untuk saling menerima perbedaan yang ada dan mendukung masing-masing pribadi untuk menjadi dirinya sendiri. Sebagai contoh, bagi anda yang tahu SMA Kolese De Britto, anda tahu bahwa sekolah ini seluruh siswanya laki-laki dan boleh berambut gondrong dan seperti itulah penampilan saya. Laki-laki yang agak urakan dengan rambut panjang terurai. 

Memang sempat ada saran dan dorongan dari pegawai dinas pendidikan DIY untuk memotong rambut saya agar sesuai dengan image siswa laki-laki pada umumnya, namun saya agak bimbang karena rambut inilah yang selama ini menjadi motivasi saya untuk berkembang. Reaksi dari kawan-kawan saya sangat tidak ternilai, mereka mau memahami saya dan mendukung saya untuk tetap mempertahankan penampilan ini (tentu karena alasan yang ada dibelakangnya).

Ini bisa menjadi contoh bagaimana kita sebagai bangsa bisa menjalin relasi. Dalam masyarakat tentu ada stereotype maupun standar yang ditetapkan secara tidak tertulis dan karena kebiasaan. Berada diluar kriteria ini seharusnya tidak menjadikan kita "musuh bersama" dan sebagai masyarakat hendaknya kita lebih peduli pada perbedaan dan merawat keharmonisan, tentu selama masih dalam kerangka kebangsaan Indonesia, seperti apa yang dilakukan rekan-rekan saya terhadap saya. Bukanlah hal yang sulit untuk memotong rambut, apalagi jika teman-teman saya meminta saya melakukannya, namun mereka memahami posisi saya dan mendukung saya, toh tidak ada larangan bagi peserta LDBI dan NSDC untuk berambut gondrong.

Akhirnya waktu kompetisi tiba, perlu diketahui kompetisi ini dilaksanakan di seputaran wilayah Jakarta dan Banten yang pada saat itu sedang dilanda ketegangan politik yang diperbesar oleh liputan media dan dibumbui SARA. Ketegangan ini melanda kami golongan muda, terbukti dengan banyaknya pertentangan di kolom komentar media sosial. Hal ini tentu menciptakan berbagai pandangan berbeda diantara kami sesama peserta, namun isu ini tidak banyak berdampak bagi relasi kami dalam beraktifitas. Kami bertemu, bersenda gurau, berbagi cerita selayaknya siswa SMA tanpa banyak intrik dan pembenaran. Hubungan kami begitu alami alih-alih bertemu rival, kami malah menemukan 203 sahabat baru.

Masing-masing kami datang membawa ambisi pribadi dan misi untuk mengharumkan nama provinsi, "bahan bakar" yang tepat untuk memulai konflik. Seiring berjalannya waktu, dalam kompetisi tentu ada perbedaan pendapat, rasa ketidakadilan, ambisi yang terhambat, dan lain sebagainya, namun tak ada insiden penyiraman wajah dengan air teh, penggulingan meja makan, maupun aksi-aksi frontal lainnya. Setelah kami kalah, kami bias saja memilih untuk diam dan apatis, frontal dan anarkis, 

atau memilih untuk merawat keharmonisan dan keberagaman. Pilihan terakhir lah yang kami semua ambil. Perlu diakui memang ada tangisan dan kekecewaan setelah langkah kami dalam kompetisi terhenti entah apapun alasannya, namun selepas itu kami tetap bercengkrama dengan kawan-kawan lain dan ikut mengambil bagian dalam perjuangan kawan kami yang masih berlaga. Hal ini menjadi pengalaman yang sangat berharga bagi saya dan menjadi inspirasi bagi saya.

Butuh hati yang besar untuk mengakui kekalahan, move on, dan mengapresiasi lawan. Dan hal ini berhasil ditunjukkan oleh kawan-kawan peserta LDBI dan NSDC. Hal ini bisa menjadi contoh bagi para elit politik dan jawara medsos untuk belajar berbesar hati dan memaksimalkan setiap kondisi yang ada. Ibarat kata, kita memasak nasi, saat nasi jadi bubur, beri suwiran ayam dan sedikit bumbu, jadilah bubur ayam. Saat nasi menjadi kering, jemur, goreng, jadilah rengginang. 

Tidak setiap keinginan bisa berjalan sesuai rencana, namun kita bisa mendapatkan sesuatu dari setiap kondisi yang ada, dan inilah yang ditunjukkan oleh kawan-kawan peserta LDBI dan NSDC. Kami bisa saja mutung dan menjadi apatis pada kompetitor kami maupun frontal dan jadi pembuat onar, namun kami sadar bahwa itu bukanlah cara yang tepat untuk merawat keharmonisan ditengah keberagaman. Pada momen-momen semacam inilah keindonesiaan kita diuji, bagaimana kita lebih mementingkan keharmonisan hidup berbangsa daripada mempertahankan ego masing-masing.

Bagi saya, tidak ada kepentingan yang boleh mengorbankan kehidupan berbangsa masing-masing kita sebagai manusia. Maksudnya adalah dalam melancarkan kepentingan kita tidak boleh mengganggu keharmonisan kehidupan berbangsa dan jangan sampai atas nama kepentingan, kita lupa bahwa setiap pribadi punya eksistensi sebagai manusia. Intinya adalah dalam kehidupan berbangsa, kita harus menghargai eksistensi sesama kita sebagai sesama manusia. Jangan ada pihak-pihak yang dirugikan karena identitas SARA-nya maupun pekerjaan, status ekonomi, dan hal lainnya. Dan inilah yang persis ditunjukkan oleh teman-teman di dalam kompetisi ini.

Walau kami berbeda pendapat di ruang debat kami sadar bahwa tujuan besar kami sama untuk setiap mosi yang diperdebatkan, hanya saja cara mana yang lebih tepat yang kami perdebatkan. Dalam setiap keputusan, tujuan besar itu tetap akan tercapai walau cara yang dipilih bisa jadi bertentangan. Ini yang saya harapkan bisa terjadi di dunia nyata, diluar kompetisi. Sebagai warga negara, pemerintah, wakil rakyat, dan aktor lainnya, kita harus tahu tujuan besar kita. Kita harus berangkat dari cita-cita besar yang sama untuk kemajuan dan kejayaan bangsa. Perdebatan akan sarana dan bentuk yang dipilih boleh terjadi namun jangan sampai merusak hubungan kita sebagai sesama warga negara Indonesia. Ingat ! lagu kita masih sama, "Indonesia Raya".

Saat kami datang, sebagian besar berharap untuk cepat pulang entah karena homesick atau merasa pasti akan menang maupun pasti akan kalah. Namun saat pagi itu tiba, sarapan bersama terakhir kami, sesi selfie terakhir, pelukan terakhir kami, perlu saya akui bahwa saya hampir meneteskan air mata. Kami bertemu sebagai orang asing namun berpisah sebagai teman, sebagai sahabat, sebagai saudara. Kami mencoba melupakan rivalitas dan lebih berfokus pada keberadaan pribadi-pribadi di sekitar kami.

 Bisa menjadi bagian dari LDBI dan NSDC Nasional adalah pencapaian besar bagi 204 orang siswa-siswi yang berkompetisi disini dan 204 orang ini saling menjadi teman seperjuangan, teman dalam keluh kesah, teman bermain, teman berbagi mood-swing dalam beberapa hari kebelakang. Inilah yang menjadikan kami begitu dekat. Harapan saya adalah 204 orang inilah yang akan menjadi penggerak "penghargaan akan pluralitas" dan pada saat waktunya tiba untuk generasi kami melanjutkan estafet pembangunan bangsa, tidak ada lagi pertentangan yang didasarkan pada indentitas, tidak ada lagi konflik berkepanjangan, tidak ada keegoisan dalam bermasyarakat, tidak ada lagi pribadi yang tidak dihargai. Amin.

Bekasi, 4 Juli 2017

Aditya 'AM' Maheranta

Terimakasih kepada Tuhan yang Maha Esa yang telah memberikat rahmatnya pada kita semua, terimakasih kepada Mba Endah dan Mas Ayip selaku pelatih Tim LDBI Yogyakarta, delegasi DIY, Delegasi semua provinsi, dan semua pihak yang terlibat demi terselenggaranya acara ini. Tanpa keterlibatan anda semua, pengalaman ini tidak akan ada.

"AMDG"

, 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun