Mohon tunggu...
Aditya Fausta
Aditya Fausta Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Slow but Surely

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Review Buku "Islam, Kepemimpinan, dan Seksualitas" Karya Neng Dara Affiah

30 Oktober 2020   22:23 Diperbarui: 30 Oktober 2020   22:27 307
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
kredit penerbit: Yayasan Pustaka Obor Indonesia

            Ia menyunting dan menulis sejumlah buku seperti Rekam Juang Komnas Perempuan: 16 Tahun Menghapus Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan, 2014); Seksualitas dan Demokrasi: Kasus Perdebatan UU Pornografi di Indonesia (Komnas Perempuan, 2011); Muslimah Feminis: Penjelajahan Multi Identitas (2009); Gerakan Islam Indonesia Pasca Orde Baru: Merambah Dimensi Baru Islam (2006).

III. ISI BUKU     

            Di Dalam buku ini, terdapat 3 bab yaitu yang Pertama, Islam dan Kepemimpinan Perempuan. Kedua, Islam dan Seksualitas Perempuan. Dan yang Ketiga, Perempuan, Islam, dan Negara. Di setiap bab nya pun terdapat beberapa sub-bab.

             Pada bab ini dimulai dengan penjelasan tentang salah satu keutamaan ajaran agama Islam yaitu memandang manusia secara setara tanpa membedakan kelas sosial, ras, maupun jenis kelamin. Dalam Islam, yang membedakan antar satu manusia dengan manusia lainnya hanyalah kualitas ketakwaannya terhadap Allah SWT, kebaikan individu selama di dunia, dan warisan amal baik yang ditinggalkannya setelah ia meninggal seperti yang tertuang pada Qs. Al-Hujurat ayat 13. Khadijah, Aisyah, dan Fatimah merupakan ketiga perempuan yang disayang, dihormati, dan disantuni oleh Nabi Muhammad SAW selama hidupnya. Walaupun pada masa itu perempuan dianggap sebagai manusia yang tidak berguna dan sering diremehkan bahkan kelahiran perempuan dianggap sebagai aib bagi beberapa masyarakat Arab pada kala itu, namun Nabi Muhammad SAW tetap menghormati perempuan dan memberikan kesempatan yang setara bagi perempuan seperti halnya kepada laki-laki terutama dalam bidang ilmu pengetahuan.

            Ajaran Islam tidak membatasi perempuan untuk menjadi seorang pemimpin, namun jumlah pemimpin perempuan di kalangan umat Islam masih sedikit jumlahnya yang mungkin disebabkan beberapa faktor tertentu dan yang menjadi ganjalan terkuat seputar kemunculan pemimpin perempuan adalah ganjalan teologis. Seperti yang dijelaskan di buku ini, Para ulama konservatif di Pakistan yang disebut oleh Benazir Bhutto sebagai "sekelompok agamawan yang mendikte apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh seseorang", menentang kenaikan Benazir sebagai Perdana Menteri Pakistan. Benazir beranggapan tentang tidak adanya ayat Al-Qur'an yang menentang perempuan menjadi pemimpin pemerintahan, justru Al-Qur'an menggambarkan Ratu Bilqis yang berhasil memimpin negeri Saba secara arif,adil,dan bijaksana. Pemberian contoh Benazir dan Ratu Bilqis sebagai pemimpin kaum perempuan oleh buku ini menurut saya sebagai keputusan yang tepat dan menarik karena bisa membuka pandangan kita bahwa perempuan pun punya potensi yang sama untuk memimpin suatu bangsa atau negara. Bukan tidak mungkin, suatu bangsa atau negara yang dipimpin oleh kaum perempuan justru akan lebih maju dan makmur dibandingkan dengan bangsa atau negara yang dipimpin oleh laki-laki.

            Untuk contoh kepemimpinan perempuan di Indonesia, penulis mengambil contoh tokoh Megawati Soekarnoputri. Ditulis pula dalam buku ini, dalam suatu diskusi yang diadakan Forum Kajian Agama dan Jender (FKAJ) Badan Litbang Agama, Sejarawan Onghokham membuat sebuah analisis mengenai fenomena kepemimpinan Megawati Soekarnoputri sebagai calon presiden. Menurut Ong, Megawati dengan partai politik yang dipimpinnya terlihat memiliki massa yang kuat dan fanatik yang disebabkan figur Megawati terlihat seperti memiliki karakter mengayomi dan keibuan.

            Saya juga tertarik dengan bahasan sub-bab terakhir bab 1, penulis menceritakan tentang sifat kepahlawanan sang nenek yaitu Hj. Siti Masyitoh. Sang nenek lahir dan hidup pada masa penjajahan oleh pemerintah kolonial Belanda namun tidak menempuh pendidikan formal bentukan pemerintah kolonial Belanda. Walaupun begitu, ia terus mengajar sepanjang hidupnya dan mendirikan sekolah dasar Islam di berbagai tempat. Keseharian Nenek sang penulis adalah mengajar mengaji dan mengajar di Madrasah Ibtidaiyah serta berdagang pakaian dan bertani. Walaupun sang nenek paham betul tentang ilmu agama Islam, namun ia tak pernah menyebut perlunya negara Islam maupun politik Islam karena baginya Islam adalah kebenaran perilaku pada masing-masing individu seperti nilai kejujuran, kasih sayang, serta menegakkan keadilan. Sang nenek tidak mengerti kata "Feminis", namun perilaku dan kebiasaannya mencerminkan nilai-nilai feminis seperti kemandirian tanpa bergantung pada kaum laki-laki dan kemerdekaan atas dirinya. Tulisan mengenai pengalaman kehidupan sang nenek ini menurut saya sangat menginspirasi terutama bagi kaum perempuan. Walaupun sang nenek hidup jauh dari zaman modern namun sikap dan kepribadiannya telah mencerminkan pemikiran menatap masa depan.

            Kemudian, pada bab ke-2 tentang Islam dan Seksualitas Perempuan diawali dengan bahasan perkawinan dalam perspektif agama-agama. Pada bahasan tentang perkawinan dalam perspektif agama-agama, penulis mengawali bahasan dari fungsi dan aturan perkawinan. Penulis membahas fungsi dan aturan perkawinan baik dari perspektif ajaran agama Islam, Katolik, dan Yahudi. 3 agama ini hampir sama dalam melakukan penafsiran tentang fungsi perkawinan yaitu untuk menciptakan ketentraman dan kedamaian antar 2 orang manusia di bawah ikrar janji suci atas nama Tuhan, untuk melestarikan keturunan, dan juga untuk menghindari praktik zina. Dalam 3 agama ini, sama-sama menekankan untuk melangsungkan pernikahan dengan lawan jenis dengan agama yang sama. Karena hakikat dari perkawinan adalah melestarikan agama kepada generasi penerus kita (anak), meneruskan nilai-nilai ajaran agama dan menghindarkan agama kita dari kepunahan.

            Pada masa pra-Islam praktik perkawinan poliandri marak di kehidupan masyarakat Arab. Islam sangat menentang perkawinan poliandri dan akhirnya oleh Islam dibatasi dengan sejumlah peringatan dan pembatasan yang amat ketat. Pada masa awal Islam, Poligami ditawarkan oleh Al-Qur'an dikarenakan banyak wanita yang kehilangan suaminya akibat kekalahan perang Uhud dan menimbulkan masalah sosial dan ekonomi. Pernikahan poligami pada masa itu ditawarkan dengan tujuan untuk menopang ekonomi para janda yang ditinggal mati oleh suaminya. Jadi, poligami bukan semata-mata karena dorongan hawa nafsu melainkan untuk mengatasi masalah sosial dan ekonomi akibat dari kekalahan perang Uhud. Kemudian dalam bahasan tentang poligami di dunia Islam, penulis juga menuangkan gagasan tentang pemikiran para muslim kontemporer yang menyatakan pemicu terpuruknya Islam dalam kehidupan global adalah diakibatkan oleh poligami. Selain karena poligami, keterpurukan Islam juga disebabkan oleh dilembagakannya harem yang muncul pertama kali saat masa Khalifah al-Walid II dari Dinasti Umayyah (743-744M). Para pemikir muslim kontemporer berpendapat bahwa tujuan ideal perkawinan dalam Islam adalah monogami. Poligami hanya diperlukan jika ada keadaan darurat atau mendesak saja.

            Sementara itu, di Indonesia telah ada pengetatan upaya terhadap tindakan poligami yaitu yang tercantum dalam UU Perkawinan No 1 Tahun 1974. Penulis menjabarkan dengan rinci isi dari undang-undang tersebut beserta implikasinya dalam masyarakat Indonesia.

            Penulis juga membahas implikasi poligami terhadap perempuan. Berdasarkan yang tertulis di sini, telah ada penelitian di 5 negara yaitu Suriah, Palestina, Turki, Yordania, dan Kuwait yang menemukan bahwa poligami memberi dampak buruk bagi istri pertama seperti penurunan kualitas hidup, depresi, merasa rendah diri, dan mudah mengalami stress. Hal ini menandakan bahwa poligami ternyata memiliki lebih banyak dampak negatif dibandingkan dampak positif jika dilakukan bukan atas keadaan darurat atau mendesak. Dijelaskan pula bahwa poligami juga memberi dampak buruk bagi sang suami yaitu lebih rawan terkena serangan jantung, harus memiliki sumber finansial yang kuat, hingga ketidakmampuan melayani hasrat seksual para istri. Maka dari itu, sebelum melakukan poligami hendaknya laki-laki harus berpikir matang terlebih dahulu karena ternyata banyak dampak negatif nya bagi laki-laki. Lebih dari itu, anak pun ternyata kebagian dampak buruk dari poligami ini seperti terhambatnya kepribadian karena keluarga yang tak harmonis, timbulnya konflik loyalitas bahkan hingga depresi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun