I Gede Ary Astina atau yang lebih dikenal dengan panggilan Jerinx sekaligus drummer dari grup band Superman Is Dead (SID) sudah resmi bebas dari Lapas Kerobokan, Bali, pada hari Selasa 8 Juni 2021 kemarin. Dimana sebelum ditahan, diketahui bahwa Jerinx giat memposting mengenai konspirasi Covid-19 di akun instagram miliknya, yaitu @jrxsid. Ia seolah tidak ada rasa takut, bahkan Jerinx kerap membawa nama IDI dan WHO dalam berbagai postingannya. Jerinx terjerat kasus ujaran kebencian di media sosial lantaran sebuah postingan pada 13 Juni 2020 lalu di akun instagram miliknya yang diduga mencemarkan nama baik Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Bali karena menyebut organisasi itu sebagai "kacung WHO".
Kembali lagi ke kronologi kasus Jerinx, awalnya Jerinx mengunggah postingan pada 13 Juni 2020 lalu dengan gambar yang bertuliskan "Gara-gara bangga jadi kacung WHO, IDI dan RS seenaknya mewajibkan semua orang yang akan melahirkan dites COVID-19. Sudah banyak bukti kalau hasil tes sering ngawur kenapa dipaksakan? Kalau hasil tesnya bikin stress dan menyebabkan kematian pada ibu/bayinya. Siapa yang tanggung jawab?". Kemudian ia pun menulis caption yang berisi "Bubarkan IDI. Saya gak akan berhenti menyerang kalian @ikatandokterindonesia sampai ada penjelasan perihal ini. Rakyat sedang diadu domba dengan IDI/RS? Tidak, IDI dan RS yang mengadu diri mereka sendiri dengan hak-hak rakyat".
Setelah itu, pada tanggal 15 Juni 2020 lalu, Jerinx kembali mengunggah postingan dengan caption "Tahun 2018 ada 21 Dokter Indonesia yang meninggal. Ini yang terpantau oleh media saja ya. Sayang ada konspirasi busuk yang mendramatisir situasi seolah Dokter meninggal hanya tahun ini agar masyarakat ketakutan berlebihan terhadap Covid-19. Saya tahu darimana? Silahkan salin semua link yang ada di foto, post di Facebook/Instagram anda. Lalu lihat apa yang terjadi! Masih bilang Covid-19 bukan konspirasi? Wake the fuck up Indonesia!".
Melihat postingan Jerinx yang dinilai menghina organisasi IDI, Ketua IDI Bali I Gede Putra Suteja segera melaporkan Jerinx ke Polda Bali atas dugaan ujaran kebencian dan pencemaran nama baik di media sosial pada 16 Juni 2020. Meski Jerinx sudah meminta maaf kepada IDI sebagai empati dan mengaku tidak ada maksud menyakiti IDI, dan Jerinx tetap yakin dirinya tak bersalah. Menurut dia, postingannya hanya sebuah kritik dan tidak ada unsur kebencian secara personal.
Pihak kepolisian Bali pun melakukan pemanggilan terhadap Jerinx pada tanggal 6 Agustus 2020 untuk menjalani pemeriksaan lebih lanjut terkait kasus tersebut. Kemudian Jerinx ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Bali pada tanggal 12 Agustus 2020 . Menurut Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Bali Kombes Pol Yuliar Kus Nugroho, postingan Jerinx sudah memenuhi unsur pidana.
Dalam kasus ini, Jerinx terjerat Pasal 28 Ayat (2) UU ITE yang berbunyi "Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA)". Selain itu, Jerinx juga terjerat Pasal 27 Ayat (3) UU ITE menyebutkan, “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik".
Pada awalnya Jerinx dituntut hukuman 3 tahun penjara dan denda Rp 10 juta. Jaksa Penuntut Umum yang mengacu pada UU ITE menilai Jerinx telah melakukan tindak pidana ujaran kebencian atas postingan di akun instagram miliknya. Setelah menjalani beberapa kali persidangan, akhirnya Jerinx dinyatakan bersalah pada tanggal 19 November 2020, dan Jerinx dijatuhi vonis hukuman 10 bulan penjara dan dipotong dengan masa tahanan 4 bulan atas kasus tersebut. Mendengar vonis hakim, Jerinx kecewa atas vonis tersebut dan ia berkeberatan kalau harus dihukum hanya karena berpendapat di media sosial.
Dimana memang dari awal, permasalahan ini menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat sehingga banyak menuai respon dari masyarakat. Ada yang setuju dan mendukung keputusan hakim karena pendapat Jerinx dianggap kurang etis di media sosial, ada juga yang tidak setuju atas keputusan hakim karena hukuman yang diterima Jerinx terlalu berat dan membanding-bandingkan hukuman tersebut dengan kasus lain seperti kasus ujaran kebencian yang serupa.
Terlepas dari aktivitas Jerinx yang selama ini kerap menyuarakan teori atau pendapatnya terhadap pandemi Covid-19, proses penegakan hukum terhadap Jerinx harus ditegakkan baik dari aspek muatan hukum maupun aspek keadilan.
Namun, ada beberapa permasalahan hukum yang dapat kita temui dalam kasus ini, seperti penerapan pasal yang kurang tepat atau kurang sesuai dengan tindakan yang dilakukan sehingga kasus ini terkesan dipaksakan serta persoalan tentang kebebasan berpendapat (Freedom Of Speech) yang dijamin oleh konstitusi.
Permasalahan hukum yang pertama yaitu, Pasal 28 ayat (2) UU ITE tentang ujaran kebencian (hate speech) ini harus memenuhi unsur kebencian terhadap suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Lain halnya dengan unggahan Jerinx yang objek sasarannya adalah IDI yang merupakan organisasi profesi yang tidak berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
Yang kedua, Pasal 27 Ayat (3) UU ITE juga kurang tepat diterapkan dalam kasus ini yang mengenai penghinaan atau pencemaran nama baik, yang berbunyi "Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik”. Pencemaran nama baik dalam Pasal 27 ayat (3) dalam penerapannya harus mengacu kepada ketentuan Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP yang mengatur mengenai pencemaran terhadap individu. Artinya, pasal tersebut hanya dapat dikenakan terhadap pencemaran yang ditujukan terhadap orang perseorangan, bukan terhadap institusi ataupun organisasi.
Dalam HAM, Seharusnya setiap manusia bebas untuk berpendapat dan bebas berkomentar terlebih lagi di negara demokrasi. Namun, hukuman yang diterima Jerinx adalah hal yang kurang tepat. Jerinx hanya menyampaikan pendapatnya lewat sosial media namun mendapatkan hukuman sebuah kurungan penjara.
Menurut Pakar Hukum Pidana UII Prof. Mudzakkir yang menyatakan bahwa kritik seharusnya tidak dipidana karena, dalam bahasa hukumnya orang menyampaikan kritik tidak bisa dipidana karena kritik adalah hak konstitusional warga negara, Maka dia tidak dapat dipidana. Tindakan Jerinx merupakan kritikan terhadap kebijakan penanganan Covid-19 saat ini, sehingga seharusnya kritikan harus dibalas dengan argumentasi atau pembenahan kebijakan, bukan dibalas dengan kriminalisasi.
Media sosial menjadi salah satu media yang sangat digandrungi oleh masyarakat. Karena media sosial sangat berperan penting dalam proses komunikasi, Komunikasi adalah proses penyampaian informasi (berita, ide, gagasan). Segala informasi dapat menyebar dengan cepat dan dalam skala besar di media sosial. Saat ini, siapa pun bisa membuat informasi dan menyebarkanya di media sosial. Selain itu, media sosial juga kerap digunakan masyarakat untuk menyuarakan pendapatnya baik itu kritik maupun saran tentang penanganan Covid-19 di Indonesia. Sehingga fenomena misinformasi tidak dapat dihindari.
Perkembangan media sosial akhir-akhir ini sangatlah pesat. Karena banyak orang yang menggunakan media sosial tetapi kurang memahami arti dari media itu sendiri. Salah satu media sosial yang digunakan adalah Instagram. Instagram adalah aplikasi media jejaring sosial yang dapat menghasilkan dan memposting foto secara instan. Perkembangan media sosial secara langsung mempengaruhi tatanan perilaku manusia, tidak hanya sebagai sarana informasi, tetapi juga sebagai sarana sosialisasi dan interaksi antar manusia. Media sosial seolah menjadi wadah untuk menyebarkan segala aktivitas yang seringkali mengesampingkan etika dalam media sosial. Hal ini terlihat pada penggunaan bahasa yang kasar dalam berkomunikasi. Etika yang baik di media sosial adalah tidak menggunakan kata-kata kasar, provokatif, pornografi atau SARA, tidak memposting artikel atau status palsu, tidak mengcopy paste artikel atau gambar berhak cipta, dan memberikan pendapat maupun komentar yang baik dan relevan.
Dari kasus Jerinx dapat menjadi pelajaran bagi kita semua agar selalu berhati-hati dalam menyampaikan kritik ataupun pendapat di media manapun. Setiap tulisan, kritik, ataupun pendapat yang diunggah tentunya memiliki konsekuensinya tersendiri sehingga tanggung jawab sangat diperlukan. Semoga masyarakat bisa lebih cerdas dan bijak dalam memberikan kritik di media sosial dengan menjunjung tinggi rasa hormat dan menghargai satu sama lain.
Aditya Dwi Rachmad - Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H