Mohon tunggu...
Aditya Budi
Aditya Budi Mohon Tunggu... Freelancer - Aktif di Lembaga Filantropi Nasional

Penulis receh di beberapa media online dan pembaca sastra serabutan. Aktif dalam kegiatan filantropi dan pemberdayaan ekonomi. Concern terhadap isu-isu kemiskinan, pemberdayaan sosial dan ekonomi islam

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Beban Keberkahan Generasi Sandwich

18 Desember 2020   05:55 Diperbarui: 18 Desember 2020   06:09 309
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: iStock via detik.com

Generasi Sandwich ibarat generasi yang terjepit, menanggung beban berat keluarga dan penuh tekanan begitulah narasi-narasi yang berkecambah di ruang publik, termasuk di sosial media. Istilah Sandwich Generation ini pertama kali diperkenalkan oleh Dorothy A. Miller, seorang professor di Universitas Kentucky Amerika Serikat pada tahun 1981 dan akhir-akhir ini menjadi populer kembali.

Definisi sederhana dari Generasi Sandwich adalah generasi orang dewasa yang bukan hanya mengganggung beban hidup keluarganya sendiri (pasangan hidup dan anak) namun juga bertanggung jawab atas kebutuhan hidup orangtuanya.

Sandwich seakan menggambarkan kondisi tersebut, dimana tekanan ada dari atas maupun bawah, terjepit seperti sandwich dengan irisan tomat, keju atau daging di tengahnya.  Generasi yang konon juga menimpa generasi milenial yang baru berkeluarga. Generasi yang berpotensi mengalami banyak tekanan dan rentan stres.

Dalam prespektif konvensional (baca: Barat), situasi tersebut salah satunya terjadi sebagai akibat dari generasi tua (orang tua) yang tidak mempersiapkan masa tuanya dengan baik.

Katakanlah ketiadaan managemen masa pensiun dan rapuhnya pengelolaan keuangan untuk hari tua. Termasuk menjaga kesehatan dirinya sendiri. Banyak solusi yang ditawarkan oleh sejumlah pakar, mulai dari perencanaan pengelolaan keuangan yang lebih baik dan disiplin hingga menambah penghasilan dari usaha-usaha sampingan.

Namun langkah awal yang perlu harus dirubah adalah soal mindset, bahwa orangtua adalah beban. Dalam Islam tentu sudah terdapat nilai dan makna tersendiri bagaimana kita memperlakukan kedua orangtua. Menempatkan orang tua sebagai beban hidup sungguh hal tersebut mencederai apa yang Allah dan Rasul-Nya perintahkan.

Suatu ketika bahkan Rasullullah SAW pernah menolak keinginan seorang pemuda untuk ikut jihad berperang, lantas meminta ia kembali, yaitu untuk merawat dan berbakti pada orangtuanya. Bukankah jihad fisabilillah adalah amal yang begitu mulia, gugur didalamnya maka surga menjadi balasannya tanpa hisab. Dan Rasulullah SAW menyamakan amal tersebut dengan merawat dan menghidupi kedua orang tua.

Kita semua juga sudah tahu bahwa berbakti pada orang tua adalah salah satu dari tiga amal yang paling dicintai oleh Allah SWT, selain shalat tepat waktu dan jihad fisabilillah. Ingat pula kisah tiga orang yang terjebak dalam gua, bukankah salah satunya bertawasul kepada amalnya atas ketataan terhadap kedua orangtuanya.

Dan tentu mungkin yang paling populer adalah kisah keteladanan Uwais Al-Qarny. Seorang yang disebut-sebut oleh Rasulullah SAW meski akhirnya tak pernah bertemu dengan beliau.

Seorang yang dianggap remeh, berpenyakit sopak, tubuhnya belang-belang, tak dihiraukan, namanya senyap di dunia namun sakti melangit, semerbak harum diantara penduduk jagat langit. Doanya begitu makbul.

Demi keinginan ibunya Uwais melakukan berbagai cara, jangankan mengeluh bahkan menyela argumentasi pun tak ia lakukan tatkala ibunya menyatakan keingingan untuk pergi berhaji. Padahal jarak Yaman-Mekah tidaklah dekat dan Uwais tak memiliki apapun kecuali hanya seekor anak lembu. Julukan gila oleh warga kampungnya tak ia hiraukan demi ibunya. 

Bukan cuma itu, bahkan ketika orang tua kita telah meninggal pun, Rasulullah SAW berpesan untuk masih berbakti kepada keduanya yaitu dengan empat hal : mendoakan dan memintakan ampunan untuk mereka, melaksanakan janji mereka, memuliakan sahabat-sahabat mereka serta menyambung tali silaturahim kepada para sahabat kedua orang tua kita.

Rasulullah SAW pernah bersabda "Sesungguhnya  sebaik-baik yang dimakan seorang muslim adalah dari hasil usahanya, sedangkan anak adalah hasil usaha orang tuanya" (H.R. Abu Daud dan An-Nasa'i)

Dan ingatkah kita selarik firman Allah SWT : "Dan Kami perintahkan manusia (agar berbuat baik) kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam usia dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orangtuamu. Hanya kepada-Ku lah tempat kembali". (Q.S. Al-Luqman 14)

Dari semua hal tersebut lantas apakah kita masih beranggapan bahwa kedua orang tua kita adalah beban dan menyusahkan hidup kita, naudzubillah. Atau sebaliknya bahwa seberat apapun perjuangan kita dalam menghidupi keluarga kita termasuk kedua orang tua kita adalah sebuah keberkahan dan kemuliaan tersendiri di sisi Allah. Ada ampunan dan pahala yang berlimpah di dalamnya.

Maka Allah pasti akan memudahkan jalan bagi mereka-mereka yang yakin akan janji-Nya serta memilih berbahagia menjadi Generasi Sandwich. Yang tak mempermasalahkan terjepit diantara dua lapis roti segitiga. Seperti memilih mindset, menunggu bahagia lalu bersyukur atau bersyukurlah maka kalian akan bahagia.

Menunggu kaya untuk berderma atau berdermalah kalian maka akan kaya. Pun sama halnya dengan ini, ibu dan ayah adalah beban tambahan atau justru mereka adalah keberkahan dari Tuhan yang memberi kita kesempatan untuk merawat dan membahagiakan di masa senjanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun