Rumah penuh kenangan masa kecil ku ini masih saja seperti kala itu. Pagar dari besi yang berlubang, namun masih terlihat kokoh. Â Hari ini aku kembali lagi rumah kenangan ini setelah aku menerima pesan ingin bertemu dari Ibuku. Pintu samping dari kayu, yang mana masih pintu yang sama kubanting keras untuk memberi tahu Ibu ada sesuatu yang ingin kusampaikan dan ingin ia mengerti kala itu.
Bersamaan dengan kenangan pahit itu aku mencoba masuk sekali lagi ke rumah. Dengan  perlahan aku menyusuri sekat sekat rumah hingga mengikuti suara aktifitas di dapur. Terdiam dan berpikir keras  bagaimana aku harus menyapa Ibu, setelah menunjukan arogansiku saat itu, tanpa harus meminta maaf dengan merengek. Dengan yakin, Ibu pun juga pasti tak suka dengan cara itu. Aku tahu betul bagaimana cara kami menghangatkan kembali kedinginan akibat keributan yang selalu saja tidak jelas masalahnya.
"Eh, kamu, kok gak baca salam masuk rumah?" Â Kata Ibu, setelah sadar aku berada di dapur.
Aku memilih untuk menyalaminya dan mencium kedua pipinya untuk lalu melihat apa yang dimasak oleh ibu.
"Ibu, Masak apa Bu?"
Ibu hanya membalas dengan senyumannya yang tak pernah berubah sejak dulu.
Kemudian aku berjalan mendekati jendela yang mempertujukkan batang pohon mangga yang ku tanam 4 tahun lalu sudah mati tanpa daun yang menutupi rantingnya. Aku lalu membuka jendela itu, sembari menghisap  satu batang rokok sambil berpikir ulang bahwa aku sudah pulang.
"Ibu lagi Masak apa Bu?" Aku bertanya sekali lagi.
"Masak luka." Jawab Ibu, dengan santainya.
"Apa Bu?"
"Tahu tidak, semua hal itu bisa jadi luka."
 "Ah, Ibu norak sekali berlagak puitis."
"Menurut mu puisi yang bagus harus seperti apa? Yang se-Sapardi?" Â Jawab ibu sedikit kesal.
"Kamu selalu melihat rata kemampuan orang berekspresi tanpa melihat adanya perbedaan."
Aku merasa sedikit terpukul dengan ucapan itu dan memilih diam sembari menghirup aroma masakan itu.
"Bawang ini.Apa kamu tahu bagaimana bawang ini menjadi luka?, bagaimana jerihnya petani bawang menanam hingga panen, yang kemudian  berlutut di hadapan para tengkulak saat dirampas hasil panennya dan pulang membawa omong kosong di tangannya?"
 "Bagaimana dengan nasi, dan hal lainnya?. Semuanya kita dapatkan dari luka dengan berbagai ceritanya masing-masing. Dari luka yang bapak mu rasakan dalam pekerjaannya hingga bisa kita rasakan." Kata Ibu sambil terus memasak,
 "Jadi berdoa lah kamu sebelum makan sebagai bentuk penghargaan terhadap semua luka dan semua proses yang masuk ke dalam mulut dan perutmu."
"Apa untungnya bagiku berpikir seperti itu?"
"Agar kamu bisa berbicara tanpa harus membanting pintu lagi seperti waktu itu."
Setelah mendengar jawaban Ibu, aku dilanda kesal dan sedih, dimana aku tidak tahu mana yang lebih dominan. Yang jelas aku hanya ingin makan masakan Ibu. Sambil menyalakan rokok kedua.
"Hei!, Ini makan dulu. Ada apa disana,dari tadi hanya melihat kesana?, Kamu sedih?"
Sontak aku kaget dengan pertanyaan ibu,dan lansung menatap ibu, "Oh sudah matang ya bu masakannya?" Sambil duduk di meja makan. Ibu menatap dengan dalam wajahku dengan raut wajah nya yang aneh,seolah ia ingin menerka apa saja yang telah terjadi dalam hidup ku. Selang beberapa waktu ibu pamit untuk sholat
"Duluan saja makannya,Ibu mau sholat Dzuhur dulu"
Dalam langkahnya menyusuri sekat rumah aku mendengar jelas perkataan ibu yang membuat aku lebih menghargai makna sesuatu hal.
"Silahkan dimakan lukanya"
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI