"Ah, Ibu norak sekali berlagak puitis."
"Menurut mu puisi yang bagus harus seperti apa? Yang se-Sapardi?" Â Jawab ibu sedikit kesal.
"Kamu selalu melihat rata kemampuan orang berekspresi tanpa melihat adanya perbedaan."
Aku merasa sedikit terpukul dengan ucapan itu dan memilih diam sembari menghirup aroma masakan itu.
"Bawang ini.Apa kamu tahu bagaimana bawang ini menjadi luka?, bagaimana jerihnya petani bawang menanam hingga panen, yang kemudian  berlutut di hadapan para tengkulak saat dirampas hasil panennya dan pulang membawa omong kosong di tangannya?"
 "Bagaimana dengan nasi, dan hal lainnya?. Semuanya kita dapatkan dari luka dengan berbagai ceritanya masing-masing. Dari luka yang bapak mu rasakan dalam pekerjaannya hingga bisa kita rasakan." Kata Ibu sambil terus memasak,
 "Jadi berdoa lah kamu sebelum makan sebagai bentuk penghargaan terhadap semua luka dan semua proses yang masuk ke dalam mulut dan perutmu."
"Apa untungnya bagiku berpikir seperti itu?"
"Agar kamu bisa berbicara tanpa harus membanting pintu lagi seperti waktu itu."
Setelah mendengar jawaban Ibu, aku dilanda kesal dan sedih, dimana aku tidak tahu mana yang lebih dominan. Yang jelas aku hanya ingin makan masakan Ibu. Sambil menyalakan rokok kedua.
"Hei!, Ini makan dulu. Ada apa disana,dari tadi hanya melihat kesana?, Kamu sedih?"