Menurut Badan Pusat Statistik Nasional, Indonesia memiliki sekitar 17.508 pulau, baik besar maupun kecil, dan garis pantai sepanjang 95.181 km karena hal ini pula Indonesia disebut sebagai negara kepulauan. Dengan geografis yang demikian, menurut Kembuan (2012) Indonesia dikenal sebagai salah satu negara mega-biodiversitydengan tingkat kandungan keanekaragaman hayati yang tinggi terutama di pesisir dan laut, bahkan negara yang memiliki garis pantai terpanjang ke-dua di dunia setelah negara Kanada.Â
Dari potensi yang dimiliki ini, maka tidak mengherankan banyak kota-kota di Indonesia yang terletak  pesisir dapat berkembang secara pesat. Salah satu kota yang terletak di pesisir tersebut adalah Manado. Menurut Gunawan (2001), provinsi Sulawesi Utara khususnya Kota Manado merupakan wilayah yang potensial serta menempati posisi geografis yang strategis, yang terdiri atas semenanjung dan kepulauan dengan garis pantai sepanjang 1985 Km dan luas lautan sebelas kali dari luas daratan. Kembali menurut Gunawan (2001), potensi sumber daya pesisir dan laut yang besar merupakan tumpuan pembangunan bagi provinsi di ujung utara pulau Sulawesi ini dengan Manado sebagai ibukotanya.
Menurut Suprihayono (2007) didalam jurnal Irmayanti (2008) wilayah pesisir merupakan daerah pertemuan antara darat dan laut dengan batas ke arah darat meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air yang masih dipengaruhi sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut dan perembesan air asin, sedangkan ke arah laut meliputi bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan karena kegiatan manusia di darat seperti penggundulan hutan dan pencemaran.Â
Apabila definisi kawasan pesisir menurut undang-undang no 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, adalah daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut. Teluk Manado yang berada di Kota Manado merupakan salah satu wilayah pesisir yang menjadi tumpuan utama dari kota tersebut. Menurut Bappeda Kota Manado wilayah pesisir Teluk Manado memiliki panjang kurang lebih 18000 m dengan kedalaman pesisir antara 0-5 meter sampai dengan 2000 meter garis batas pertemuan pesisir dasar lereng benua. Teluk Manado merupakan pusat kegiatan bagi para nelayan serta aktifitas yang berbau ke lautan lainnya. Di teluk ini juga ada pelabuhan yang dibuat khusus  sebagai jalur keluar masuk menuju ke Pulau Bunaken. Teluk Manado bukanlah jalan satu-satunya yang dapat digunakan untuk menuju ke destinasi wisata lain seperti pulau Bunaken, akan tetapi teluk manado merupakan tempat persinggahan favorit untuk menuju kesana.
Ekosistem pesisir yang mendominasi wilayah ini berupa terumbu karang dan hutan mangrove. Di sepanjang pesisir Teluk Manado ini terdapat terumbu karang khususnya di Kecamatan Malayang, Pondol dan Molas hingga Kecamatan Tongkaina. Akan tetapi sangat di sayangkan, potensi terumbu karang ini masih belum di kembangkan secara maksimal. Begitupula dengan nasib hutan mangrovenya Walaupun memiliki hutan mangrove serta terumbu karang sebagai sumberdaya alami, eksistensi dari sumberdaya tersebut masih sangat kurang. Eksistensi wisata dari Teluk Manado masih sangat jauh apabila di bandingkan dengan Pulau Bunaken yang juga ada di Kota Manado.
Kurangnya pengembangan potensi ekosistem pada Teluk Manado sebenarnya tidak lepas dari prioritas pembangunan pemerintah Kota Manado itu sendiri. Akibat penigkatan populasi penduduk dan adanya pemusatan kegiatan ekonomi pada wilayah pesisir Teluk Manado, menyebabkan tekanan ekologis terhadap ekosistem dan sumber daya di wilayah pesisir tersebut. Tekanan ekologis yang timbul, berbanding lurus dengan pembangunan pada kota tersebut. Keadaan yang memprihatinkan adalah kerusakan lingkungan pesisir dan lautan justru disebabkan oleh pembangunan yang selama ini penerapannya belum sesuai dengan prinsip pembangunan yang berkelanjutan. Â Menurut Gunawan (2001), besarnya tekanan penduduk dengan sosial ekonominya, serta besarnya tuntutan Pemerintah Daerah untuk memperoleh sumber dana bagi peningkatan pembangunan,telah memberikan dampak yang kurang menguntungkan bagi keberlanjutan lingkungan hidup dan sumber daya alam pesisir yang menjadi modal pembangunan untuk masa depan.
Keadaan ini juga diperparah dengan adanya perubahan iklim yang terjadi secara global di seluruh dunia. Dikutip dari website berita nasional Kota Manado, dalam mencari solusi atas permasalahan mengenai ekosistem pesisir ini, pemerintah Kota Manado mengadakan beberapa kegiatan yang bersifat nasional dan internasional dalam kurun waktu 3-4 hari yang disebut World Ocean Confrence(WOC). Kota Manado sebagai tuan rumah dari konfrensi tersebut, mengangkat permasalahan pembangunan yang berdampak terhadap lingkungan pesisir serta kelautan sebagai topik utamanya. Lalu adapula kegiatan Asean Regional Forum Disaster Relief Exercise yang mengangkat masalah penanggulangan bencana yang  dapat ditimbulkan dari degradasi wilayah pesisir ini.Â
Kegiatan-kegiatan tersebut diadakan sebagai bentuk sikap tanggung jawab dan kepedulian pemerintah terhadap masalah ekosistem yang ada kepada masyarakat di Sulawesi Utara khususnya di Kota Manado. Menurut Roy Maramis anggota DPRD Kota Manado di kutip dari berita online Kota Manado, beliau mengatakan bahwa walaupun kegiatan tersebut telah sukses terlaksana tetapi banyak pula tanggapan miring dari kalangan masyarakat awam maupun ilmuwan dikarenakan adanya kegiatan reklamasi yang tetap berjalan dan tentunya memberikan dampak negatif terhadap ekosistem pesisir dan masyarakat sekitar.Â
Menurut Kembuan (2012) keadaan pemerintah sekarang yang tetap melakukan reklamasi di titik tertentu pada wilayah pesisir Teluk Manado membuat masyarakat memiliki paradigma negatif terhadap pemerintah. Kembali dikutip dari berita online nasional, pemerintah mengatakan bahwa reklamasi yang dilakukan bertujuan untuk demi kepentingan umum dan bersama. Reklamasi diperlukan untuk membangun fasilitas umum seperti pada proyek Jalan Boulevard. Akan tetapi tetap saja reklamasi dengan orientasi  pembangunan ini menghambat bahkan mematikan kegiatan nelayan tradisonal yang ada di sekitaran Teluk Manado.
Ada banyak kelompok nelayan yang pasrah dan mengalah terhadap kebijakan pemerintah tentang reklamasi di pesisir Teluk Manado tersebut. Menurut Andre Barahamin (2016) mengatakan bahwa reklamasi dilakukan secara bertahap, kampung-kampung nelayan yang berada tepat di depan pantai diberikan arahan dengan iming-iming soal peningkatan kesejahteraan ekonomi. Dijanjikan garansi akan ketersediaan lapangan pekerjaan baru di luar dari profesi yang sudah di wariskan bergenerasi sebagai nelayan, serta bagaimana kota mereka akan lebih maju, lebih baik dan lebih modern apabila mereka mau berkerja sama.Â
Namun sayangnya tidak ada yang tahu pasti kapan realisasi dari janji-janji tersebut. Nelayan-nelayan lain yang kalah bersaing dengan bisnis-bisnis yang ada sekitaran wilayah pesisir tersebut akhirnya terkpaksa ikut berganti profesi. Banyak nelayan yang sekarang menjadi pekerja serabutan, tukang parkir ataupun berkerja di pabrik insustri yang ada disana (Barahamin,2016). Sekarang eksploitasi wilayah pessisir seperti reklamasi juga masih terus berlanjut di sekitar wilayah Teluk Manado. Tentunya ini merupakan situasi sulit bagi pemerintah, melihat urgenitas dari peningkatan kesejahteraan masyarakatnya hanya bisa dilakukan melalui pembangunan infrastruktur namun disisi lain juga merusak ekosistem pesisir yang juga berdampak terhadap kelompok masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada ekosistem tersebut.Â
Dari berbagai masalah yang ada, dapat dilihat bahwa ada 3 pihak yang terlibat dalah permasalahan ini. Masyarakat, nelayan dan juga pemerintah. Dari ketiga pihak tersebut semuanya memiliki tanggung jawab dalam menjaga kelestarian ekosistemnya. Namun ada kebijakan-kebijakan yang dianggap memberatkan nelayan atau masyarakat serta merusak ekosistem yang ada. Dalam UU No 23 tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup, didefinisikan bahwa upaya terpadu dalam pemanfaatan, penataan, pemeliharaan, pengawasan, pengendalian dan pengembangan lingkungan hidup yang berasaskan pelestarian serasi dan seimbang, maka diperlukan data dasar yang akan menjadi landasan perencanaan dan pemantauan lingkungan dari waktu ke waktu. Namun fakta di lapangan khususnya pada perencanaan pembangunan Teluk Manado, tidak ada keterpaduan antara tiap unsur yang disebutkan dalam UU No 23 tahun 1997 tersebut.Â
Ketimpangan perencanaan yang menitik beratkan satu aspek, menyebabkan permasalahan baru pada aspek lainnya khususnya aspek lingkungan. Menurut jurnal Emmy Sjafi'I (2000) partisipasi aktif masyarakat untuk mendukung bidang pariwisata di sekitaran Teluk Manado dapat dilihat dengan banyak nya hotel berbintang yang terbangun serta rumah makan yang sudah menjamur disana.Â
Akan tetapi bidang pariwisata yang di maksud oleh mereka hanyalah sebatas menyediakan fasilitas demi kenyamanan wisatawan yang datang kesana. Eksploitasi lahan di sekitaran Teluk Manado yang berdampak terhadap keberlanjutan ekosistem disana luput dari pandangan mereka. Limbah yang mereka hasilkan tidak di kelola dengan baik yang akhirnya dibuang ke sekitaran Teluk Manado. Dikarenakan Teluk Manado dianggap tidak sebagus tetangganya yaitu Pulau Bunaken, masyarakat sekitaran Teluk Manado kurang peduli terhadap kondisi wilayah pesisir tersebut. Di satu sisi masyarakat menyalahkan pemerintah atas degradasi lingkungan yang terjadi di wilayah pesisir Teluk Manado dikarenakan adanya reklamasi dan pembangunan di sekitar wilayah pesisir tersebut. Namun masyarakat ini sendiri tanpa sadar juga sudah mengancam kelestarian wilayah pesisir itu sendiri.
Apabila muncul sebuah pertanyaan tentang mencari siapa yang sebenarnya salah, maka jawabannya relatif tergantung dari sudut pandang yang menjawab. Hanya ada satu hal yang pasti yaitu perencanaan pesisir di Teluk Manado masih perlu di evaluasi. Dalam UU No 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang disebutkan bahwa penataan ruang adalah suatu upaya untuk mewujudkan tata ruang yang terencana melalui suatu progres yang meliputi perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaaatan ruang yang satu sama lain merupakan satu kesatuan yang saling terkait. Menurut Darwanto (2000) penataan ruang dapat disederhanakan menjadi aktifitas untuk mengarahkan kegiatan pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat termasuk dunia usaha. Dari definisi tersebut dapat dilihat bahwa perlu adanya harmonisasi, komunikasi dan koordinasi antara pihak yang terlibat dengan aspek yang di rencanakan agar dalam perencaan tersebut tidak ada satu pun pihak yang merasa di rugikan.
Permasalahan-permasalahan yang timbul pada Teluk Manado adalah salah satu contoh dari konsep perencanaan yang tidak terlaksana dengan baik. Prioritas pembangunan yang di tentukan oleh pemerintah merugikan kelompok masyarakat tertentu dan tidak diberi kepastian tentang nasib mereka yang menjadi korban dari perencanaan tersebut. Oleh karena itu perlu ada keterpaduan dalam melakukan sebuah perencanaan. Khususnya pada kasus Teluk Manado ini, perlu ada evaluasi dari pihak pemerintah. Walaupun pembangunan ekonominya terus meningkat namun disisi lain juga membunuh sosial budaya kelompok masyarakat tertentu. Satu-satunya yang tersisa dan masih melawan hingga hari ini adalah sebagian kecil nelayan di Sario-Tumpaan.Â
Menurut kelompok tersebut, mereka memperjuangkan hak nya demi keberlangsungan hidup mereka dan juga menjaga kelestarian lingkungannya namun dari sudut pandang pemerintah mereka adalah pemberontak yang melawan hasil keputusan perencanaan yang sudah di anggap matang dan menghambat pembangunan ekonomi yang harus di prioritaskan. Terlepas dari siapa yang salah, pastinya mereka semua adalah satu kesatuan yang harusnya saling menjaga kelestarian ekosistemnya bukan malah saling menjatuhkan karena kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.
Menurut Badan Pusat Statistik Nasional, Indonesia memiliki sekitar 17.508 pulau, baik besar maupun kecil, dan garis pantai sepanjang 95.181 km karena hal ini pula Indonesia disebut sebagai negara kepulauan. Dengan geografis yang demikian, menurut Kembuan (2012) Indonesia dikenal sebagai salah satu negara mega-biodiversitydengan tingkat kandungan keanekaragaman hayati yang tinggi terutama di pesisir dan laut, bahkan negara yang memiliki garis pantai terpanjang ke-dua di dunia setelah negara Kanada. Dari potensi yang dimiliki ini, maka tidak mengherankan banyak kota-kota di Indonesia yang terletak  pesisir dapat berkembang secara pesat. Salah satu kota yang terletak di pesisir tersebut adalah Manado.Â
Menurut Gunawan (2001), provinsi Sulawesi Utara khususnya Kota Manado merupakan wilayah yang potensial serta menempati posisi geografis yang strategis, yang terdiri atas semenanjung dan kepulauan dengan garis pantai sepanjang 1985 Km dan luas lautan sebelas kali dari luas daratan. Kembali menurut Gunawan (2001), potensi sumber daya pesisir dan laut yang besar merupakan tumpuan pembangunan bagi provinsi di ujung utara pulau Sulawesi ini dengan Manado sebagai ibukotanya.
Menurut Suprihayono (2007) didalam jurnal Irmayanti (2008) wilayah pesisir merupakan daerah pertemuan antara darat dan laut dengan batas ke arah darat meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air yang masih dipengaruhi sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut dan perembesan air asin, sedangkan ke arah laut meliputi bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan karena kegiatan manusia di darat seperti penggundulan hutan dan pencemaran. A
pabila definisi kawasan pesisir menurut undang-undang no 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, adalah daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut. Teluk Manado yang berada di Kota Manado merupakan salah satu wilayah pesisir yang menjadi tumpuan utama dari kota tersebut. Menurut Bappeda Kota Manado wilayah pesisir Teluk Manado memiliki panjang kurang lebih 18000 m dengan kedalaman pesisir antara 0-5 meter sampai dengan 2000 meter garis batas pertemuan pesisir dasar lereng benua. Teluk Manado merupakan pusat kegiatan bagi para nelayan serta aktifitas yang berbau ke lautan lainnya. Di teluk ini juga ada pelabuhan yang dibuat khusus  sebagai jalur keluar masuk menuju ke Pulau Bunaken. Teluk Manado bukanlah jalan satu-satunya yang dapat digunakan untuk menuju ke destinasi wisata lain seperti pulau Bunaken, akan tetapi teluk manado merupakan tempat persinggahan favorit untuk menuju kesana.
Ekosistem pesisir yang mendominasi wilayah ini berupa terumbu karang dan hutan mangrove. Di sepanjang pesisir Teluk Manado ini terdapat terumbu karang khususnya di Kecamatan Malayang, Pondol dan Molas hingga Kecamatan Tongkaina. Akan tetapi sangat di sayangkan, potensi terumbu karang ini masih belum di kembangkan secara maksimal. Begitupula dengan nasib hutan mangrovenya Walaupun memiliki hutan mangrove serta terumbu karang sebagai sumberdaya alami, eksistensi dari sumberdaya tersebut masih sangat kurang. Eksistensi wisata dari Teluk Manado masih sangat jauh apabila di bandingkan dengan Pulau Bunaken yang juga ada di Kota Manado.
Kurangnya pengembangan potensi ekosistem pada Teluk Manado sebenarnya tidak lepas dari prioritas pembangunan pemerintah Kota Manado itu sendiri. Akibat penigkatan populasi penduduk dan adanya pemusatan kegiatan ekonomi pada wilayah pesisir Teluk Manado, menyebabkan tekanan ekologis terhadap ekosistem dan sumber daya di wilayah pesisir tersebut. Tekanan ekologis yang timbul, berbanding lurus dengan pembangunan pada kota tersebut. Keadaan yang memprihatinkan adalah kerusakan lingkungan pesisir dan lautan justru disebabkan oleh pembangunan yang selama ini penerapannya belum sesuai dengan prinsip pembangunan yang berkelanjutan. Â
Menurut Gunawan (2001), besarnya tekanan penduduk dengan sosial ekonominya, serta besarnya tuntutan Pemerintah Daerah untuk memperoleh sumber dana bagi peningkatan pembangunan,telah memberikan dampak yang kurang menguntungkan bagi keberlanjutan lingkungan hidup dan sumber daya alam pesisir yang menjadi modal pembangunan untuk masa depan.
Keadaan ini juga diperparah dengan adanya perubahan iklim yang terjadi secara global di seluruh dunia. Dikutip dari website berita nasional Kota Manado, dalam mencari solusi atas permasalahan mengenai ekosistem pesisir ini, pemerintah Kota Manado mengadakan beberapa kegiatan yang bersifat nasional dan internasional dalam kurun waktu 3-4 hari yang disebut World Ocean Confrence(WOC). Kota Manado sebagai tuan rumah dari konfrensi tersebut, mengangkat permasalahan pembangunan yang berdampak terhadap lingkungan pesisir serta kelautan sebagai topik utamanya. Lalu adapula kegiatan Asean Regional Forum Disaster Relief Exercise yang mengangkat masalah penanggulangan bencana yang  dapat ditimbulkan dari degradasi wilayah pesisir ini.Â
Kegiatan-kegiatan tersebut diadakan sebagai bentuk sikap tanggung jawab dan kepedulian pemerintah terhadap masalah ekosistem yang ada kepada masyarakat di Sulawesi Utara khususnya di Kota Manado. Menurut Roy Maramis anggota DPRD Kota Manado di kutip dari berita online Kota Manado, beliau mengatakan bahwa walaupun kegiatan tersebut telah sukses terlaksana tetapi banyak pula tanggapan miring dari kalangan masyarakat awam maupun ilmuwan dikarenakan adanya kegiatan reklamasi yang tetap berjalan dan tentunya memberikan dampak negatif terhadap ekosistem pesisir dan masyarakat sekitar.Â
Menurut Kembuan (2012) keadaan pemerintah sekarang yang tetap melakukan reklamasi di titik tertentu pada wilayah pesisir Teluk Manado membuat masyarakat memiliki paradigma negatif terhadap pemerintah. Kembali dikutip dari berita online nasional, pemerintah mengatakan bahwa reklamasi yang dilakukan bertujuan untuk demi kepentingan umum dan bersama. Reklamasi diperlukan untuk membangun fasilitas umum seperti pada proyek Jalan Boulevard. Akan tetapi tetap saja reklamasi dengan orientasi  pembangunan ini menghambat bahkan mematikan kegiatan nelayan tradisonal yang ada di sekitaran Teluk Manado.
Ada banyak kelompok nelayan yang pasrah dan mengalah terhadap kebijakan pemerintah tentang reklamasi di pesisir Teluk Manado tersebut. Menurut Andre Barahamin (2016) mengatakan bahwa reklamasi dilakukan secara bertahap, kampung-kampung nelayan yang berada tepat di depan pantai diberikan arahan dengan iming-iming soal peningkatan kesejahteraan ekonomi. Dijanjikan garansi akan ketersediaan lapangan pekerjaan baru di luar dari profesi yang sudah di wariskan bergenerasi sebagai nelayan, serta bagaimana kota mereka akan lebih maju, lebih baik dan lebih modern apabila mereka mau berkerja sama. Namun sayangnya tidak ada yang tahu pasti kapan realisasi dari janji-janji tersebut. Nelayan-nelayan lain yang kalah bersaing dengan bisnis-bisnis yang ada sekitaran wilayah pesisir tersebut akhirnya terkpaksa ikut berganti profesi. Banyak nelayan yang sekarang menjadi pekerja serabutan, tukang parkir ataupun berkerja di pabrik insustri yang ada disana (Barahamin,2016). Sekarang eksploitasi wilayah pessisir seperti reklamasi juga masih terus berlanjut di sekitar wilayah Teluk Manado. Tentunya ini merupakan situasi sulit bagi pemerintah, melihat urgenitas dari peningkatan kesejahteraan masyarakatnya hanya bisa dilakukan melalui pembangunan infrastruktur namun disisi lain juga merusak ekosistem pesisir yang juga berdampak terhadap kelompok masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada ekosistem tersebut.Â
Dari berbagai masalah yang ada, dapat dilihat bahwa ada 3 pihak yang terlibat dalah permasalahan ini. Masyarakat, nelayan dan juga pemerintah. Dari ketiga pihak tersebut semuanya memiliki tanggung jawab dalam menjaga kelestarian ekosistemnya. Namun ada kebijakan-kebijakan yang dianggap memberatkan nelayan atau masyarakat serta merusak ekosistem yang ada. Dalam UU No 23 tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup, didefinisikan bahwa upaya terpadu dalam pemanfaatan, penataan, pemeliharaan, pengawasan, pengendalian dan pengembangan lingkungan hidup yang berasaskan pelestarian serasi dan seimbang, maka diperlukan data dasar yang akan menjadi landasan perencanaan dan pemantauan lingkungan dari waktu ke waktu.Â
\Namun fakta di lapangan khususnya pada perencanaan pembangunan Teluk Manado, tidak ada keterpaduan antara tiap unsur yang disebutkan dalam UU No 23 tahun 1997 tersebut. Ketimpangan perencanaan yang menitik beratkan satu aspek, menyebabkan permasalahan baru pada aspek lainnya khususnya aspek lingkungan. Menurut jurnal Emmy Sjafi'I (2000) partisipasi aktif masyarakat untuk mendukung bidang pariwisata di sekitaran Teluk Manado dapat dilihat dengan banyak nya hotel berbintang yang terbangun serta rumah makan yang sudah menjamur disana. Akan tetapi bidang pariwisata yang di maksud oleh mereka hanyalah sebatas menyediakan fasilitas demi kenyamanan wisatawan yang datang kesana.Â
Eksploitasi lahan di sekitaran Teluk Manado yang berdampak terhadap keberlanjutan ekosistem disana luput dari pandangan mereka. Limbah yang mereka hasilkan tidak di kelola dengan baik yang akhirnya dibuang ke sekitaran Teluk Manado. Dikarenakan Teluk Manado dianggap tidak sebagus tetangganya yaitu Pulau Bunaken, masyarakat sekitaran Teluk Manado kurang peduli terhadap kondisi wilayah pesisir tersebut. Di satu sisi masyarakat menyalahkan pemerintah atas degradasi lingkungan yang terjadi di wilayah pesisir Teluk Manado dikarenakan adanya reklamasi dan pembangunan di sekitar wilayah pesisir tersebut. Namun masyarakat ini sendiri tanpa sadar juga sudah mengancam kelestarian wilayah pesisir itu sendiri.
Apabila muncul sebuah pertanyaan tentang mencari siapa yang sebenarnya salah, maka jawabannya relatif tergantung dari sudut pandang yang menjawab. Hanya ada satu hal yang pasti yaitu perencanaan pesisir di Teluk Manado masih perlu di evaluasi. Dalam UU No 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang disebutkan bahwa penataan ruang adalah suatu upaya untuk mewujudkan tata ruang yang terencana melalui suatu progres yang meliputi perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaaatan ruang yang satu sama lain merupakan satu kesatuan yang saling terkait. Menurut Darwanto (2000) penataan ruang dapat disederhanakan menjadi aktifitas untuk mengarahkan kegiatan pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat termasuk dunia usaha. Dari definisi tersebut dapat dilihat bahwa perlu adanya harmonisasi, komunikasi dan koordinasi antara pihak yang terlibat dengan aspek yang di rencanakan agar dalam perencaan tersebut tidak ada satu pun pihak yang merasa di rugikan.
Permasalahan-permasalahan yang timbul pada Teluk Manado adalah salah satu contoh dari konsep perencanaan yang tidak terlaksana dengan baik. Prioritas pembangunan yang di tentukan oleh pemerintah merugikan kelompok masyarakat tertentu dan tidak diberi kepastian tentang nasib mereka yang menjadi korban dari perencanaan tersebut. Oleh karena itu perlu ada keterpaduan dalam melakukan sebuah perencanaan. Khususnya pada kasus Teluk Manado ini, perlu ada evaluasi dari pihak pemerintah.Â
Walaupun pembangunan ekonominya terus meningkat namun disisi lain juga membunuh sosial budaya kelompok masyarakat tertentu. Satu-satunya yang tersisa dan masih melawan hingga hari ini adalah sebagian kecil nelayan di Sario-Tumpaan. Menurut kelompok tersebut, mereka memperjuangkan hak nya demi keberlangsungan hidup mereka dan juga menjaga kelestarian lingkungannya namun dari sudut pandang pemerintah mereka adalah pemberontak yang melawan hasil keputusan perencanaan yang sudah di anggap matang dan menghambat pembangunan ekonomi yang harus di prioritaskan. Terlepas dari siapa yang salah, pastinya mereka semua adalah satu kesatuan yang harusnya saling menjaga kelestarian ekosistemnya bukan malah saling menjatuhkan karena kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H