Mohon tunggu...
Aditya Nurahmani
Aditya Nurahmani Mohon Tunggu... Konsultan - Konsultan Perorangan pada Kementerian ATR/BPN RI

Hukum dan Politik

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

20 Tahun Eksistensi MK, Sang Penjaga Marwah Demokrasi: Refleksi Menuju Pemilu Serentak 2024

20 Juli 2023   20:24 Diperbarui: 20 Juli 2023   20:55 222
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

20 Tahun Eksistensi MK, Sang Penjaga Marwah Demokrasi: Refleksi Menuju Pemilu Serentak 2024

 

Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan anak kandung reformasi yang berperan sebagai the guardian of constitution, the final interpreter of constitution, the protector of citizen's constitutional rights. Selain itu MK juga berperan penting sebagai penjaga sekaligus pengawal demokrasi (the guardian of democracy). Sebagai negara yang 'katanya' menjunjung tinggi prinsip-prinsip negara hukum yang demokratis, konsekuensinya rakyat memegang supremasi kedaulatan tertinggi yang dilaksanakan berdasarkan prinsip negara hukum. 

Hukum dan demokrasi adalah kedua hal yang saling berkorelasi dan diibaratkan seperti dua sisi dari sebuah koin mata uang. Mantan Ketua MK, Mahfud MD menyatakan bahwa demokrasi tanpa hukum tidak akan terbangun dengan baik, bahkan mungkin menimbulkan anarki. Sebaliknya, hukum tanpa sistem politik yang demokratis hanya akan menjadikan hukum yang elitis dan represif.

Disinilah MK berperan fundamen, kekuasan kehakiman yang merdeka merupakan syarat bagi negara demokrasi yang berdasarkan atas hukum. Hal ini tertuang dalam berbagai kewenangan MK, misalnya kewenangan MK untuk memutus perselisihan tentang hasil Pemilihan Umum, memutus pembubaran Partai Politik dan kewenangan lainnya. Pemilihan Umum merupakan tahapan paling awal dari berbagai rangkaian kehidupan tata negara yang demokratis. Pemilu merupakan peristiwa kenegaraan yang penting karena Pemilu melibatkan seluruh rakyat secara langsung. Pada perkembanganya, semua demokrasi modern sudah melaksanaan pemilihan, namun tidak semua pemilihan dilaksanakan secara demokratis.

Selama 20 tahun berdiri, MK telah berkonstribusi konkret dalam mewujudkan demokrasi yang substantif. Hal ini tertuang dalam berbagai pertimbangan dan putusan MK yang telah menyelamatkan hak konstitusional warga negara. Salah satu putusan fenomenal MK yang progresif misalnya tertuang dalam Putusan MK Nomor 102/PUU-VII/2009 tanggal 6 Juli 2009 terkait ketentuan pemilih yang harus terdaftar di dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) sebagaimana Pasal 28 dan Pasal 111 UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. 

MK membuat putusan konstitusional bersyarat (conditionally constitutional) dimana warga negara yang memenuhi syarat menurut undang-undang, cukup menunjukkan KTP dan KK yang hanya dapat dilakukan di tempat pemungutan suara yang sesuai dengan alamat yang tertera di dua dokumen tersebut. Putusan bersyarat serupa kembali diterapkan pada pelaksanaan Pemilukada tahun 2013 melalui Putusan No. 85/PUU-X/2012 yang memberi ruang bagi WNI yang tidak terdaftar dalam DPT, DPS, DPSHP dll cukup menunjukkan KTP dan KK dengan tata cara yang dijelaskan pada putusan tersebut.

Terlepas perdebatan sebagian pakar yang menilai MK 'terlalu aktif' dan seolah merambah menjadi 'positive legislator' karena putusannya yang membuat norma baru, namun perlu di pahami bahwa melihat konstitusi bukan hanya semata dokumen hukum, namun juga dokumen antropologis yang harus mengedepankan nilai-nilai dasar serta mempertimbangkan dinamika masyarakat dalam memaknai teksnya. 

Tanpa disadari Putusan tersebut telah menyelamaatkan jutaan hak rakyat yang terancam tidak bisa memilih karena tidak terdaftar di DPT, padahal di satu sisi mereka  telah memenuhi syarat sebagai pemilih. Di dalam dua putusan MK tersebut telah menegaskan bahwa hak konstitusional warga negara untuk memilih dan dipilih (right to vote and right to be candidate) adalah hak yang dijamin oleh konstitusi, maka pembatasan penyimpangan, peniadaan dan penghapusan akan hak dimaksud merupakan pelanggaran terhadap hak asasi warga negara.

Putusan terbaru yang mencerminkan fungsi MK sebagai the guardian of democracy dapat dilihat di dalam pengujian terkait Sistem Proporsional Tertutup yang telah menimbulkan diskursus di masyarakat, melalui Putusan MK No. 114/PUU-XIX/2022. Kendati diajukan oleh Kader partai penguasa saat ini, namun MK tetap konsisten dan meyakini bahwa sistem Proporsional Terbuka jauh lebih demokratis karena mendorong inklusivitas politik, mengakomodasi kepentingan masyarakat, mencegah dominasi satu kelompok dalam pemerintahan, dan menciptakan atmosfer persaingan sehat di antara kandidat dalam memperoleh suara. 

Putusan ini mendapatkan apresiasi dari berbagai pihak karena keteguhan dan konsistensi MK mengawal demokrasi substantif.

Putusan MK lain yang fenomenal misalnya terkait penyelenggaraan Pemilu Serentak. Beberapa waktu menjelang Pemilu 2014, MK melalui Putusannya Nomor 14/PUU-XI/2013 menyatakan bahwa penyelenggaraan Pemilu anggota DPR, DPD, DPRD yang terpisah (tidak serentak) dengan penyelenggaraan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden adalah inkonsititusinal. 

Dengan kata lain, MK menyatakan Pemilu harus dilaksanakan secara serentak. Selanjutnya Pemilu serentak termasuk berlaku juga untuk Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Untuk pertama kalinya Pemilu dan Pemilukada akan dilaksanakan pada tahun yang sama secara serentak pada tahun 2024. Pilkada dilaksanakan pada 14 Februari 2024, sementara untuk Pilkada serentak nasional pada 27 November 2024.

Kendati demikian, putusan tersebut telah menimbulkan pro dan kontra. Disatu sisi terdapat yang menyoroti putusan MK yang dinilai tidak inkonsisten dari sifat putusannya yaitu final and binding, mengingat pada Putusan nomor 51-52-59/PUU-VI/2008, MK menyatakan pelaksanaan Pemilu secara terpisah antara DPR, DPD, DPRD dengan Pemilu Presiden adalah konsistutusinal. Putusan tersebut berubah 5 tahun kemudian dengan berbagai pertimbangan.

Pemilu Serentak menurut penulis merupakan hal yang relevan. Selama ini, gejolak bahkan gesekan horizontal di masyarakat terasa begitu panjang, dikarenakan jadwal pemilu dan pemilukada berbeda satu sama lain. Logis apabila setiap tahun terasa sebagai tahun politik. 

Lebih lanjut, tujuan Pemilu yaitu sebagai ajang transisi kepemimpinan yang harus selaras dengan tujuan negara, dimana proses untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat melalui pembangunan yang berkelanjutan. Selama ini pembangunan antara Pusat dan Daerah seolah berjalan sendiri-sendiri. Setiap kepala daerah memiliki programnya sendiri-sendiri belum lagi ketika terjadi pergantian rezim pemerintahan. Penyusunan dan pelaksanaan rencana pembangunan yang berbeda karena periode kepemimpinan yang berbeda satu sama lain berkonsekuensi pada pembangunan yang tidak berjalan secara sinkron.   

Misalnya, pada tahun 2013 saat Pilkada Jawa Barat. Setelah pelantikan, dilakukan perencanaan RPJMD 2013-2018. Sementara dalam proses pembentukanya masih mengacu dan melihat kepada RPJM Nasional II Tahun 2010-- 2014. Padahal di tahun berikutnya terjadi perubahan RPJM Nasional saat pergantian transisi pemerintahan dari SBY ke Jokowi dengan RPJMN 2015-2019. Kondisi ini seolah terjadi silo-silo atau tembok pemisah antara pusat dan daerah, sistem tersebut tidak dikehendaki bagi negara yang menganut sistem negara kesatuan seperti Indonesia. 

Melalui Pemilu dan Pilkada yang dilaksanakan secara serentak pada tahun yang sama, diharapkan antara Pusat dan Daerah dapat bergotong royong menyusun rencana pembangunan secara komprehensif, berkesinambungan dan sinkron satu sama lainnya. Semangat harmonisasi dan singkronisasi pembangunan yang terarah dan berkesibambungan ini sesuai makna negara kesejahteraan (walfare state) yang termanifestasikan dalam butir-butir Pancasila dan Konstitusi.

Menyongsong Pemilu Serentak 2024: Sebuah Refleksi 

Pemilu 2024 benar-benar sudah di depan mata. Peranan MK menjadi harapan jutaan masyarakat Indonesia untuk benar-benar menjadi institusi yang dapat menjaga dan mengawal marwah demokrasi. MK akan menjadi banteng terakhir bagi para pencari keadilan melalui kewenanganya memutus perselisihan tentang hasil Pemilihan Umum. Tugas MK di tahun 2024 akan jauh lebih berat, selain secara rutin menjalankan tugas judicial review, MK harus bersiap menangani dan memutus perselisihan hasil Pemilu baik Presiden, Wakil Presiden, DPR, DPD, DPRD termasuk pada tahun yang sama dilaksanakan Pilkada serentak di 548 daerah.

Setiap pertimbangan dan putusan MK harus benar-benar mencerminkan keadilan substantif yang menjadi mahkota dari tujuan hukum. Terdapat masukan agar MK tidak seolah bertransformasi menjadi "Mahkamah Kalkulator", misalnya terkait ketentuan ambang batas gugatan sengketa hasil pemilihan kepala daerah yang bisa diajukan apabila selisih suara penggugat dengan pemenang Pilkada maksimum 2 %. Harapannya, apabila benar-benar ditemukan sebuah pelanggaran secara terstruktur, sistematis dan masif, MK dapat bertindak progresif. MK juga seyogyanya tidak hanya berfokus kepada 'hasil pemilu', karena hasil tidak dapat dilepaskan dari proses. 

Sehingga MK sudah seharusnya tidak hanya menguji selisih berhitungan suara namun bagaimana cara suara itu diperoleh, sehingga putusan MK dapat benar-benar mencerminkan prinsip keadilan substantif.

Pemilu 2024 adalah pengalaman pertama bangsa Indonesia melaksanakan pesta demokrasi secara serentak sepanjang sejarah pemilu. Setelah pemilu terselenggara sudah seharusnya semua institusi mulai dari penyelenggara, pengawas sampai lembaga peradilan (MK) mengevaluasi secara menyeluruh. 

Tentunya tidak ada sistem yang sempurna, namun setidaknya bisa diperoleh suatu sistem yang ideal melalui evaluasi yang dilakukan. Pemilu jangan hanya dijadikan sebagai wanaha demokrasi formalitas namun harus terwujud demokrasi yang berkualitas. Tanpa pemilu, maka tidak ada demokrasi, tanpa demokrasi maka tidak ada kedaulatan rakyat, tanpa kedaulatan rakyat maka akan berdiri sebuah negara oligarki. Selamat bertugas sang penjaga marwah demokrasi ! 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun