Mohon tunggu...
Aditya Nurahmani
Aditya Nurahmani Mohon Tunggu... Konsultan - Konsultan Perorangan pada Kementerian ATR/BPN RI

Hukum dan Politik

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

20 Tahun Eksistensi MK, Sang Penjaga Marwah Demokrasi: Refleksi Menuju Pemilu Serentak 2024

20 Juli 2023   20:24 Diperbarui: 20 Juli 2023   20:55 222
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Putusan MK lain yang fenomenal misalnya terkait penyelenggaraan Pemilu Serentak. Beberapa waktu menjelang Pemilu 2014, MK melalui Putusannya Nomor 14/PUU-XI/2013 menyatakan bahwa penyelenggaraan Pemilu anggota DPR, DPD, DPRD yang terpisah (tidak serentak) dengan penyelenggaraan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden adalah inkonsititusinal. 

Dengan kata lain, MK menyatakan Pemilu harus dilaksanakan secara serentak. Selanjutnya Pemilu serentak termasuk berlaku juga untuk Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Untuk pertama kalinya Pemilu dan Pemilukada akan dilaksanakan pada tahun yang sama secara serentak pada tahun 2024. Pilkada dilaksanakan pada 14 Februari 2024, sementara untuk Pilkada serentak nasional pada 27 November 2024.

Kendati demikian, putusan tersebut telah menimbulkan pro dan kontra. Disatu sisi terdapat yang menyoroti putusan MK yang dinilai tidak inkonsisten dari sifat putusannya yaitu final and binding, mengingat pada Putusan nomor 51-52-59/PUU-VI/2008, MK menyatakan pelaksanaan Pemilu secara terpisah antara DPR, DPD, DPRD dengan Pemilu Presiden adalah konsistutusinal. Putusan tersebut berubah 5 tahun kemudian dengan berbagai pertimbangan.

Pemilu Serentak menurut penulis merupakan hal yang relevan. Selama ini, gejolak bahkan gesekan horizontal di masyarakat terasa begitu panjang, dikarenakan jadwal pemilu dan pemilukada berbeda satu sama lain. Logis apabila setiap tahun terasa sebagai tahun politik. 

Lebih lanjut, tujuan Pemilu yaitu sebagai ajang transisi kepemimpinan yang harus selaras dengan tujuan negara, dimana proses untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat melalui pembangunan yang berkelanjutan. Selama ini pembangunan antara Pusat dan Daerah seolah berjalan sendiri-sendiri. Setiap kepala daerah memiliki programnya sendiri-sendiri belum lagi ketika terjadi pergantian rezim pemerintahan. Penyusunan dan pelaksanaan rencana pembangunan yang berbeda karena periode kepemimpinan yang berbeda satu sama lain berkonsekuensi pada pembangunan yang tidak berjalan secara sinkron.   

Misalnya, pada tahun 2013 saat Pilkada Jawa Barat. Setelah pelantikan, dilakukan perencanaan RPJMD 2013-2018. Sementara dalam proses pembentukanya masih mengacu dan melihat kepada RPJM Nasional II Tahun 2010-- 2014. Padahal di tahun berikutnya terjadi perubahan RPJM Nasional saat pergantian transisi pemerintahan dari SBY ke Jokowi dengan RPJMN 2015-2019. Kondisi ini seolah terjadi silo-silo atau tembok pemisah antara pusat dan daerah, sistem tersebut tidak dikehendaki bagi negara yang menganut sistem negara kesatuan seperti Indonesia. 

Melalui Pemilu dan Pilkada yang dilaksanakan secara serentak pada tahun yang sama, diharapkan antara Pusat dan Daerah dapat bergotong royong menyusun rencana pembangunan secara komprehensif, berkesinambungan dan sinkron satu sama lainnya. Semangat harmonisasi dan singkronisasi pembangunan yang terarah dan berkesibambungan ini sesuai makna negara kesejahteraan (walfare state) yang termanifestasikan dalam butir-butir Pancasila dan Konstitusi.

Menyongsong Pemilu Serentak 2024: Sebuah Refleksi 

Pemilu 2024 benar-benar sudah di depan mata. Peranan MK menjadi harapan jutaan masyarakat Indonesia untuk benar-benar menjadi institusi yang dapat menjaga dan mengawal marwah demokrasi. MK akan menjadi banteng terakhir bagi para pencari keadilan melalui kewenanganya memutus perselisihan tentang hasil Pemilihan Umum. Tugas MK di tahun 2024 akan jauh lebih berat, selain secara rutin menjalankan tugas judicial review, MK harus bersiap menangani dan memutus perselisihan hasil Pemilu baik Presiden, Wakil Presiden, DPR, DPD, DPRD termasuk pada tahun yang sama dilaksanakan Pilkada serentak di 548 daerah.

Setiap pertimbangan dan putusan MK harus benar-benar mencerminkan keadilan substantif yang menjadi mahkota dari tujuan hukum. Terdapat masukan agar MK tidak seolah bertransformasi menjadi "Mahkamah Kalkulator", misalnya terkait ketentuan ambang batas gugatan sengketa hasil pemilihan kepala daerah yang bisa diajukan apabila selisih suara penggugat dengan pemenang Pilkada maksimum 2 %. Harapannya, apabila benar-benar ditemukan sebuah pelanggaran secara terstruktur, sistematis dan masif, MK dapat bertindak progresif. MK juga seyogyanya tidak hanya berfokus kepada 'hasil pemilu', karena hasil tidak dapat dilepaskan dari proses. 

Sehingga MK sudah seharusnya tidak hanya menguji selisih berhitungan suara namun bagaimana cara suara itu diperoleh, sehingga putusan MK dapat benar-benar mencerminkan prinsip keadilan substantif.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun