Mohon tunggu...
Aditya Putra Bimantara
Aditya Putra Bimantara Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Malang

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Konflik Antar Suporter Klub Sepak Bola, Adakah Ujungnya?

17 Januari 2023   14:02 Diperbarui: 17 Januari 2023   14:03 1046
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Fakta bahwa klub sepak bola seringkali menimbulkan konflik terutama di Indonesia bukanlah suatu hal yang baru. Namun, yang menjadi unik adalah bahwasanya yang terlibat dalam konflik bukanlah klub bola itu sendiri, melainkan suporternya. 

Suporter yang seharusnya menjadi sebuah pendukung bagi klubnya harusnya hanya memiliki peran untuk mendukung dari kejauhan, menyemangati, atau sekedar meramaikan suasana, namun nyatanya suporter justru memiliki jiwa persaingan yang sangat kuat dimana jiwa persaingannya seringkali tidak dapat terkontrol dan justru menimbulkan perkelahian secara fisik.

Konflik suporter antar klub sepak bola ini juga tidak hanya terjadi di antara segelintir klub saja, melainkan hampir kebanyakan klub sepak bola. Namun, yang akan menjadi pembahasan kali ini adalah suporter dari klub PSIM Yogyakarta dan Persis Solo. Suporter dari kedua klub ini seringkali terlibat konflik kekerasan, yang sebenarnya sumber konfliknya adalah sesuatu yang bisa dikatakan sepele, yakni konsolidasi sosial di antara masing-masing kelompok, yang tentunya hal ini juga tidak terlepas dari unsur fanatisme yang melebihi porsinya.

Jiwa fanatisme dan persaingan yang sangat besar seharusnya adalah sesuatu yang ditinggalkan setelah meninggalkan arena pertandingan sepak bola. Sayangnya, hal tersebut terkadang justru sebaliknya, dimana setelah pertandingan sepak bola usai, suporter dari tim yang mengalami kekalahan merasa tidak bisa menerima kekalahan dari tim yang didukungnya dan mengusik suporter dari tim yang menang. 

Tentu, perasaan menggebu-nggebu seperti itu sebenarnya bisa dipahami dengan akal dan nalar yang sehat, namun pelampiasan yang dilakukan menggunakan aksi kekerasan tidak bisa dibenarkan dengan alasan apapun. 

Seharusnya suporter bisa lebih menekankan sifat sportivitas dalam diri mereka, karena bagaimanapun juga walau mereka hanyalah seorang suporter, tak bisa dipungkiri jika mereka juga masih menyandang nama dari tim klub sepak bola yang mereka dukung dan mencerminkan citra klub tersebut.

Pada dasarnya suporter-suporter ini hanya ingin melampiaskan kekesalannya saja, dan tentunya melampiaskan kekesalan tersebut seharusnya bisa dilakukan dengan berbagai cara, tidak selalu harus menggunakan kekerasan. Karena itulah sebuah transformasi konflik sangat diperlukan disini. 

Transformasi konflik pada dasarnya adalah sebuah perubahan konflik dan tetap tidak menghilangkan unsur konflik itu sendiri, karena dalam kasus ini, merupakan suatu hal yang mustahil jika konflik semacam ini benar-benar hilang, karena jiwa rivalitas memang merupakan suatu hal yang sangat susah untuk dikendalikan dan akan selalu tumbuh di setiap masa.

Suporter yang melampiaskan kekesalannya dengan berkelahi dengan suporter klub lain pada dasarnya hanya ingin meluapkan energinya, dan energi tersebut bisa dikeluarkan dengan cara yang lain selain berkelahi. 

Contoh yang sangat sederhananya adalah alih-alih dengan berkelahi, mereka bisa saling beradu dalam hal yang lain, seperti adu yel-yel, berteriak-teriak untuk mengeluarkan energi kekesalan mereka yang menumpuk, atau mengibarkan bendera besar yang melambangkan klub sepak bola yang mereka dukung dengan heboh atau semacamnya. 

Rivalitas yang dilampiaskan dengan berkelahi sebelumnya mungkin saja bisa bertransformasi menjadi aksi rivalitas yang dilampiaskan dengan berlomba-lomba menjadi yang paling heboh dalam mendukung tim favoritnya dimana hal ini tidak menghilangkan unsur persaingan namun menghilangkan unsur kekerasan yang ada. 

Namun, tentu saja transformasi yang saya sebutkan adalah sebuah contoh paling kecil dan sederhana, mungkin saja di luar sana ada yang memiliki banyak ide-ide dalam mentransformasi konflik semacam ini dengan sesuatu yang lebih efektif untuk menekan tingkat kekerasan.

Yang pasti, sebuah kekerasan bukanlah sebuah solusi. Sehingga sebuah transformasi konflik yang dapat mengubah unsur kekerasan dalam rivalitas sangat diperlukan. 

Ada banyak sekali kemungkinan-kemungkinan bahwasanya konflik ini dapat ditransformasi dalam bentuk yang lain, tidak menutup kemungkinan bahwa hal tersebut baru dapat terjadi dalam kurun waktu yang sangat lama. 

Selain transformasi konflik, resolusi dalam menangani hal ini juga sangat diperlukan untuk menekan tingkat kekerasan, seperti diadakannya pengendalian yang baik di masing-masing komunitas atau pengecekan barang bawaan sebelum memasuki stadion untuk meminimalisir kemungkinan barang bawaan yang berpotensi membahayakan orang lain.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun