Sekelompok anak-anak berjalan di seberang jalan, menyapa singkat Rayya yang dibalas dengan lambaian tangan.
“Gitu ya...” Aku terdiam, hanyut kembali dalam badai pikiran yang tak pernah reda di alam batinku.
“Hey, tak ku sangka kau malah mengajakku berdialog topik seperti ini. Kalau semua orang yang kau ajak bicara kau serang dengan pertanyaan-pertanyaan seperti itu, tak akan ada yang mau dekat denganmu.” Ia menepuk pundakku ringan. Entah berapa kali ia melakukan itu sejak tadi siang.
“Lha kau sekarang? Lagipula aku memang suka sendiri.”
“Kebetulan aku nyambung dengan pembicaraanmu Han.”
“Orang-orang sekarang terjebak dalam ilusi. Takut untuk keluar dari zona nyaman dan mempertanyakan segalanya untuk pemahaman yang lebih baik.”
“Bukan salah mereka. Kesadaran orang beda-beda bukan?”
“Berpegang teguh pada agama masing-masing adalah yang terbaik, sebenarnya. Anggap saja itu identitas layaknya suku atau bangsa.”
“Tapi kebenaran yang terbentuk akhirnya beda-beda Ray.”
“Aku jadi ingat, Buddha Sakyamuni pernah bersabda, ‘jika kau menemukan kebenaran dalam agama atau kebijaksanaan manapun, terimalah kebenaran itu tanpa prasangka’.”
Spontan aku menoleh kaget. “Dari mana kau bisa tahu ajaran Buddha?”