Rayya tertawa kecil. “Kau memang melankolis Han. Sudah ku tebak sejak dulu kuperhatikan kau selalu sendiri.”
“Biarin.” Jawabku singkat datar.
“Han, kau kenapa pindah islam?” Tanya Rayya, cukup membuatku kaget dengan pertanyaan langsung seperti itu. Tapi kejadian akhir-akhir ini membuatku terbiasa dengan hal-hal frontal.
“Ah, suatu hal yang panjang. Tapi singkatnya, dipaksa.” Kataku setelah berpikir beberapa detik.
“Dipaksa? Seperti hal yang berat. Disengaja atau tidak, ku rasa agama jadi terkesan keras bila terasa ‘dipaksa’”
“Not literally Ray. Aku tahu agama harus dilaksanakan sepenuh hati, apapun itu. Yaa, walau menimbulkan banyak pertanyaan”
“Pertanyaan akan selalu ada bagi mereka yang ragu.” Ia melirikku sambil tersenyum.
“Mungkin. Sejak dulu keraguan selalu menguasaiku. Toh ini yang membuatku senang membaca. Keraguan membuat selalu ingin tahu. Tak apalah.”
“Agama itu keyakinan Han. Dan yakin adalah antonim dari ragu.”
“Well, entahlah, aku masih belum bisa memutuskan. Jadi terkesan wajar bila agama mencegah kita terlalu banyak bertanya.” Aku mengusap-usap dagu sejenak, berpikir, sebelum akhirnya kepikiran sesuatu. “Ray, apa agama yang menentukan tidakanmu? Apa agama yang menentukan perasaanmu?”
Rayya menggaruk-garuk kepalanya. “Hmm, gimana ya. Aku sendiri masih bingung apa aku punya kehendak bebas. Semua tindakan dan perasaanku pastilah dipengaruhi persepsi. Persepsi timbul dari sistem keyakinan, yang secara spesifik merujuk pada agama yang dianut. Jadi ya, secara tidak langsung agama yang menentukan tindakan dan perasaan tiap orang, atau mungkin lebih tepatnya kualitas agamanya.”