Mohon tunggu...
Adi Triyanto
Adi Triyanto Mohon Tunggu... Buruh - Buruh Sebuah Perusahaan swasta Di Tambun- Bekasi-Jawa Barat

Lahir Di Sleman Yogyakarta Bekerja dan tinggal Di Bekasi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Cinta, Kisah yang Dimulai dengan Hiperbola Berakhir dengan Eufemisme

18 April 2022   06:00 Diperbarui: 18 April 2022   06:58 755
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apapun sebabnya  semuanya harus berakhir dengan perpisahan. Dan ketika perpisahan benar benar terjadi maka , akan keluar kata kata indah untuk mengungkapkannya . Kata kata yang terangkai dalan suatu gaya bahasa Dan gaya bahasa  yang pas untuk sebuah  perpisahan karena berakhirnya kisah cinta  adalah gaya bahasa eufemisime. Gaya bahasa  untuk menggantikan kata-kata yang dipandang tabu ataupun dirasa kasar dengan kata-kata yang dianggap pantas atau lebih halus.

Kesan yang sangat menonjol dari gaya bahasa  eufemise adalah merendahkan diri. Mengecilkan arti dan kemampuan yang dimiliki  . Merasa diri tidak pantas. Padahal  intinya satu, ingin berpisah. Ingin mengakhiri hubungan yang sudah terjalin.Yang terwakili dalam sebuah ungkapan,

"Kupikir kau masih mencintaiku, tapi kita tak bisa melepas kenyataan bahwa aku tak cukup untukmu."

Munculnya perasaan memiliki   banyak kelemahan dan keterbatasan dalam diri memunculkan rasa ikhlas untuk merelakan. Dengan tujuan agar kekasih hati dapat mendapatkan kebahagiaan yang lebih dari yang bisa diberikan.

"Kau boleh pergi, mencari yang lebih mampu. Sebab aku sadar diri, membahagiakan diri sendiri pun sangat sulit bagiku, apalagi membahagiakanmu."

Meski kedua gaya bahasa  yang digunakan di awal dan akhir dari  kisah cinta ini berbeda, yang satu mengangkat pasangan dan satunya menurunkan derajat  diri, namun keduanya sama sama tidak mewakili  ukuran atau kuantitas sebenarnya dalam hati. Padahal inti yang dmaiksudkan hanya Ingin mengatakan " Cinta " dan " Putus ". Sesederhana itu. Tetapi menjadi rumit ketika perasaan sudah dilibatkan.

Kedua majas juga  memiliki tujuan  yang sama, yaitu menjaga proses  peralihan perasaan dari cinta ke putus menjadi lebih halus . Tidak mendadak dan tiba tiba. Yang bisa mengakibatkan munculnya goncangan jiwa.  Ini menjadi sebuah keseimbangan ketika sudah diangkat ke langit tinggi , maka jangan langsung diterjunkan  ke dasar  jurang. Semua harus ada proses  yang wajar untuk perpindahannya. Sehingga ketika rasa bahagia harus berakhir, perasaan terlukanya menjadi tidak begitu dalam. Sepertinya dalam cinta juga berlaku hukum inersia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun