Mohon tunggu...
Aditia Aditia
Aditia Aditia Mohon Tunggu... Pegawai bpjs ketenagakerjaan - penyuka wisata,

abdi negara

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Pasar Tradisional Sebagai Marketplace, Tingkatkan Transaksi Non Tunai Masyarakat

30 Juni 2020   15:09 Diperbarui: 30 Juni 2020   15:56 249
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Era sekarang yang sarat kemajuan teknologi komunikasi, smartphone dapat dikatakan jadi kebutuhan sehari-hari, bahkan dari kalangan prasejahtera pun banyak yang memilikinya. Selain untuk  komunikasi, smartphone bisa dijadikan alat mencari nafkah. Contohnya, bermodal smartphone dan kendaraan roda dua bisa ikut bergabung ojek online.

Demikian juga untuk usaha dagang. Transaksi jual beli barang bisa dilakukan secara online melalui smartphone.

Si Penjual dan Pembeli tetap bertemu dalam suatu pasar, namun dalam bentuk virtual, tanpa harus bertatap muka. Dengan memanfaatkan teknologi, penjual cukup membuka toko melalui e-commerce, atau menjual barang dagangan mereka melalui grup-grup di media sosial.

Penulis juga merasakan efek kemajuan teknologi telekomunikasi ini. Sejak penulis mengenal transaksi non tunai melalui smartphone, penulis sering menggunakan uang non Tunai, karena banyak keuntungannya diantaranya praktis. Penulis rasa hal ini salah satu cara cerdas berperilaku di masa pandemi Covid-19 yang menekankan pentingnya social distancing atau menjaga jarak sosial.

Penulis juga memerhatikan mulai banyak pedagang yang kreatif berjualan memanfaatkan masa pandemi. Mereka menawarkan berbagai bahan kebutuhan makanan melalui grup WhatsApp komplek perumahan, media sosial seperti Facebook maupun kenalan.

Jadi orang-orang yang tak sempat ke pasar, atau memilih memaksimalkan quality time bersama keluarga, maupun yang melaksanakan pembatasan social karena Covid-19, tak perlu risau bagaimana mendapatkan bahan makanan.

Sistem berjualannya cukup sederhana, pembeli bisa mengabari langsung lewat telepon atau pesan di WhatsApp dan media sosial apa bahan makanan yang ingin dibeli. Misal kita butuh daging 1 Kg, sayur kangkung 2 ikat, kentang setengah kilo, dan lain-lain, semua akan disanggupi oleh si penjual.

Proses pembayarannya dapat melalui cash atau transfer rekening ke penjual. Lalu si penjual ini akan mengantar langsung barang tersebut ke rumah kita. Namun barang yang dibeli tentu terbatas ragamnya, tidak selengkap belanja langsung di pasar.

Di saat pandemi ini, transaksi digital juga membantu menghindari terjadinya panic buying karena masyarakat tak perlu khawatir bagaimana cara belanja hingga muncul keinginan menumpuk barang. Meningkatnya jumlah kasus corona sempat mendorong banyak orang melakukan panic buying terhadap kebutuhan pokok maupun sehari-hari.

Panic buying ini juga sempat melanda sejumlah wilayah di Indonesia. Masyarakat menyerbu toko-toko dan supermarket untuk memborong bahan makanan dan keperluan sehari-hari.

Tindakan ini dilakukan karena kecemasan soal keberlangsungan hidup atas ketersediaan barang maupun kekhawatiran akan adanya lonjakan harga selama menghadapi wabah.

Padahal fenomena panic buying memberikan dampak yang merugikan bagi stabilitas sistem keuangan karena ketidakseimbangan antara permintaan dan supply barang. Alhasil harga melonjak berkali-kali lipat hingga menyebabkan daya beli masyarakat turun.

Pada dasarnya, panic buying ini tidak perlu terjadi asalkan ketersediaan barang dan transportasi untuk pendistribusian tetap aman.

Pandemi juga menimbulkan kepanikan pedagang. Selain karena sepi pembeli, penutupan pasar tradisional dan swalayan juga membuat mereka kebingungan, bagaimana cara mendapatkan uang untuk kelangsungan hidup? Meskipun ngeri dengan virus corona, mau tak mau pedagang harus menaklukkan rasa takut demi mencari nafkah.

Sempat ramai dalam pemberitaan televisi maupun media online sejumlah pedagang menangis saat tempat jualannya ditutup paksa, bahkan ada yang memberikan perlawanan.

Menanggapi hal itu, di media sosial pun netizen memberikan komentar beragam. Ada yang bersimpati, tapi ada pula yang mempertanyakan mengapa si pedagang tidak berjualan secara online saja.

Namun permasalahannya, tidak semua pedagang kecil seketika mengerti cara berjualan secara online.  Selain itu, tidak ada jaminan 'lapak' si pedagang di internet bisa langsung diketahui dan dikunjungi oleh pembeli mengingat ada banyak sekali lapak sejenis.

Digitalisasi Pasar Tradisional 

Sumber Instagram Bank Indonesia
Sumber Instagram Bank Indonesia

Meski swalayan mudah ditemui di berbagai daerah, pasar tradisional masih memiliki peranan penting. Pasar tradisional masih menjadi sentra bagi masyarakat untuk mencari berbagai barang kebutuhan.

Walau ada wabah seperti Covid-19, masyarakat mau tak mau tetap datang dan bertransaksi di pasar. Hal itu membuat pasar menjadi tempat yang rentan penularan virus corona.

Dilaporkan oleh Bisnis Tempo.co , Ketua Satuan Tugas Ikatan Pedagang Pasar Indonesia untuk Penanggulangan Penyebaran Covid-19 atau Sigap IKAPPI, Dimas Hermadiyansyah, mengatakan hingga Jumat, 26 Juni 2020 tercatat ada 768 pedagang pasar yang positif Covid-19.

Bahkan sebanyak 32 penjual meninggal dunia.

Dalam catatan IKAPPI, pedagang pasar tradisional yang positif Covid-19 itu tersebar di 23 provinsi. DKI Jakarta menjadi provinsi  terbanyak, yakni 192 orang dari 26 pasar. Posisi kedua ditempati Jawa Timur dengan jumlah 127 orang positif dan 14 orang meninggal dunia dari 37 pasar. Menghindari risiko penularan secara massive, sejumlah pasar bahkan ditutup sementara.

Di saat penerapan social distancing untuk mencegah corona, manfaat transaksi secara digital sangat terasa. Termasuk untuk pasar tradisional.

Memang banyak pedagang yang sudah melakukan e-commerce, tapi lebih banyak lagi yang belum memulainya, apalagi pedagang kecil yang biasa berjualan di pasar tradisional.

Bisa dimaklumi, kita lihat dari sisi pedagang di pasar tradisional, mungkin mereka masih bingung bagaimana memulai maupun cara berjualan online. Bagaimana supaya website, Akun toko maupun kios mereka di media sosial bisa dikunjungi banyak orang, ditambah lagi kurang pengetahuan soal jualan online. Untuk itu juga perlu ada yang mewadahi, di antaranya menerapkan pengelolaan sistem digital dalam transaksi pasar tradisional.

Sebab, jika pedagang tidak memanfaatkan teknologi informasi dan tidak segera melakukan proses digitalisasi perlahan akan kalah saing oleh mereka yang memanfaatkan teknologi.

Di era industry 4.0, banyak hal bisa dilakukan secara digital. Ahli ekonomi terkenal dunia asal Jerman, Prof Klaus Schwab, mengenalkan konsep Revolusi Industri 4.0. dalam bukunya yang berjudul “The Fourth Industrial Revolution” (2017). Ia menjelaskan revolusi industri 4.0 telah mengubah hidup dan kerja manusia secara fundamental.

Dalam Revolusi industry 4.0 terjadi digitalisasi di berbagai bidang termasuk ekonomi. Digitalisasi bisnis ditandai dengan transformasi bisnis dari konsep konvensional menjadi virtual dengan tujuan meningkatkan efisiensi kerja sehingga bisnis menjadi lancar.

Pasar tradisional online sebenarnya sudah diterapkan di beberapa daerah, seperti Jakarta.

Gubernur Jakarta Anies Baswedan di Balai Kota Jakarta, Selasa (31/3) seperti dikutip dari Jawapos.com menjelaskan, warga yang hendak menggunakan sistem ini, bisa membuka instagram Perumda (PD) Pasar Jaya. Pilih pasar tradisional yang dituju dan pedagang yang sudah terdaftar lalu berinteraksi lewat telepon. Selesai tawar menawar, barang akan dirim ke lokasi tujuan.

Ada juga yang memanfaatkan layanan dari aplikasi ojek online untuk berbelanja di pasar tradisional.

Dengan konsep digital ini, belanja di pasar tradisional pun bisa dilakukan tanpa harus datang atau bertatap muka. Sangat bermanfaat untuk mengurangi kepadatan pengunjung pasar tradisional.

Cara lain yang mungkin bisa juga diterapkan adalah dengan membuat website ataupun aplikasi setiap pasar tradisional yang ada. Jadi pembeli memiliki pilihan apakah ingin datang langsung, atau hanya berkunjung secara virtual.

Penulis membayangkan bila sistem ini ada di setiap pasar tradisional di daerah penulis, yakni Pekanbaru. Misalnya hari ini penulis ingin berbelanja di Pasar Pagi Arengka. Penulis tidak harus datang ke pasar tersebut, cukup membuka aplikasi atau mengunjungi website Pasar Pagi Arengka, lalu mencari barang belanjaan yang diinginkan di pencarian.

Penulis bisa memilih barang berdasarkan urutan harga maupun nama kios yang ada di pasar tersebut. Jadi pembeli dan pedagang bisa bertransaksi secara virtual, tidak harus bertemu untuk bertransaksi.

Selain itu, penulis bisa leluasa memilih dan membeli barang yang beragam, dari bahan pangan hingga non pangan, persis seperti bila penulis langsung datang ke pasar. Pembayaran bisa dilakukan secara non tunai, maupun tunai saat barang belanjaan tiba.

Demikian juga di lain hari jika penulis ingin berbelanja di Pasar Panam, bisa mengunjungi secara virtual melalui website Pasar Panam dan dengan pengelolaan transaksi digital serupa.

Secara garis besar, konsepnya seperti marketplace yang sudah ada di Indonesia, namun lebih hemat ongkos kirim karena penjual berada dalam satu tempat pasar tradisional, tidak tersebar di berbagai wilayah. Selain itu, barang yang diinginkan pun lebih lengkap seperti layaknya datang langsung ke pasar.

Konsep ini juga sebenarnya sudah diterapkan di supermarket. Tapi dalam sistem digitalisasi pasar tradisional, akan lebih banyak pedagang kecil diuntungkan. Sebab seluruh pedagang yang ada di satu pasar tradisional, dikoordinir dalam satu marketplace.

Di Indonesia, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) 2018 terdapat 14.182 unit pasar tradisional yang menampung jutaan pedagang. Jumlah ini jauh mendominasi dibandingkan toko modern sebanyak 1.131 unit maupun pusat perbelanjaan sebanyak 708 unit.

Bisa dibayangkan, berapa banyak pedagang kecil yang akan merasakan manfaat dari pengelolaan jual beli secara digital ini. Hal ini juga memberikan dampak positif bagi peningkatan perekonomian rakyat dan menjaga stabilitas sistem keuangan.

Membiasakan transaksi non tunai

Sumber Instagram Bank Indonesia
Sumber Instagram Bank Indonesia

Bank Indonesia saat ini selalu menggalakkan penggunaan transaksi non tunai guna mendukung Stabilitas Sistem Keuangan dan Makroprudensial Aman Terjaga.  Contoh uang non tunai adalah uang elektronik (e-money), kartu prabayar (prepaid), Kartu ATM/Debit, kartu kredit dan lainnya.

Banyak manfaat yang diperoleh, hal paling dasar menghemat biaya seperti cetak uang, distribusi uang dan biaya cash handling (cash handling dapat kita contohkan, kasir yang masih memegang uang tunai kertas atau logam, di akhir kerjaan pasti akan menghitung lagi uang tersebut dan uang tersebut kemudian akan disimpan lagi ke bank, ada proses pengantaran uang ke bank juga. Sehingga penggunaan waktu kurang efisien.)

Penggunaan uang non tunai sudah banyak dilakukan seperti belanja online ataupun belanja di mall. Bahkan terkadang penyedia jasa non tunai memberikan diskon-diskon menarik agar masyarakat memilih melakukan transaksi non tunai.

Penggunaan transaksi non tunai dirasa perlu di kalangan masyarakat yang berbelanja di pasar tradisional. Hal ini penting sebagai salah satu protocol kesehatan terutama di masa pandemic Covid-19. Sebab, secara tidak langsung transaksi menggunakan uang kertas atau logam dapat menjadi transmisi penyebaran virus corona. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun