Tindakan ini dilakukan karena kecemasan soal keberlangsungan hidup atas ketersediaan barang maupun kekhawatiran akan adanya lonjakan harga selama menghadapi wabah.
Padahal fenomena panic buying memberikan dampak yang merugikan bagi stabilitas sistem keuangan karena ketidakseimbangan antara permintaan dan supply barang. Alhasil harga melonjak berkali-kali lipat hingga menyebabkan daya beli masyarakat turun.
Pada dasarnya, panic buying ini tidak perlu terjadi asalkan ketersediaan barang dan transportasi untuk pendistribusian tetap aman.
Pandemi juga menimbulkan kepanikan pedagang. Selain karena sepi pembeli, penutupan pasar tradisional dan swalayan juga membuat mereka kebingungan, bagaimana cara mendapatkan uang untuk kelangsungan hidup? Meskipun ngeri dengan virus corona, mau tak mau pedagang harus menaklukkan rasa takut demi mencari nafkah.
Sempat ramai dalam pemberitaan televisi maupun media online sejumlah pedagang menangis saat tempat jualannya ditutup paksa, bahkan ada yang memberikan perlawanan.
Menanggapi hal itu, di media sosial pun netizen memberikan komentar beragam. Ada yang bersimpati, tapi ada pula yang mempertanyakan mengapa si pedagang tidak berjualan secara online saja.
Namun permasalahannya, tidak semua pedagang kecil seketika mengerti cara berjualan secara online. Â Selain itu, tidak ada jaminan 'lapak' si pedagang di internet bisa langsung diketahui dan dikunjungi oleh pembeli mengingat ada banyak sekali lapak sejenis.
Digitalisasi Pasar TradisionalÂ
Meski swalayan mudah ditemui di berbagai daerah, pasar tradisional masih memiliki peranan penting. Pasar tradisional masih menjadi sentra bagi masyarakat untuk mencari berbagai barang kebutuhan.
Walau ada wabah seperti Covid-19, masyarakat mau tak mau tetap datang dan bertransaksi di pasar. Hal itu membuat pasar menjadi tempat yang rentan penularan virus corona.