Mohon tunggu...
Adistya Anggita
Adistya Anggita Mohon Tunggu... Mahasiswa - -

-

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pro Kontra PPh Pasal 4, 17, 21 bagi WP di Indonesia

5 Oktober 2021   07:06 Diperbarui: 28 Oktober 2021   12:02 922
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Perkembangan Pajak Penghasilan di Indonesia

Untuk sampai sekarang, pastinya Pajak Penghasilan mengalami berbagai likaliku. Maka selanjutnya diuraikan mengenai perkembangan PPh sebelum reformasi. Pertama, Pajak Penghasilan 1920. Sebelum tahun 1920, PPh berdasarkan pribumi dan non pribumi, sedangkan setelah tahun 1920 menggunakan asas unifikasi yaitu pajak dikenakan untuk semuanya. Kedua, Pajak Perseroan 1925 dilakukan pengenaan tarif proporsional 10% bagi perseroan dan badan.

 Adanya pembatasan waktu untuk menetapkan WP DN. Ketiga, Pajak Pendapatan 1932 untuk perseorangan. Penerapannya menggunakan asas sumber dan jangka waktu penetapan WP DN, serta pembatasan PTKP bagi WP OP. Keempat, Pajak Upah 1935 untuk orang pribadi yang penghasilannya dari berbagai sumber. 

Disini merupakan awal munculnya withholding tax. Kelima, Pajak Peralihan 1944 ada empat sumber penghasilan yaitu penghasilan dari usaha dan pekerjaan, benda bergerak, benda tidak bergerak, dan pembayaran atas hak. Selain itu, pengenaan pajaknya di akhir tahun dengan menerbitkan surat ketetapan pajak sementara. Keenam, Pajak Pendapatan 1944 terdapat sistem pembayaran pajak yaitu

membayar pajak sendiri (MPS) sekarang disebut self assessment dan memungut pajak orang lain (MPO) sekarang disebut withholding tax. Setelah reformasi, PPh melakukan beberapa perubahan, antara lain pemisahan peraturan ketentuan formil oleh UU KUP dan ketentuan materiil oleh UU PPh, penerapannya tidak berdasarkan asas sumber atau laba tetapi berdasarkan broad-based

taxation, ruang lingkupnya menjadi WP DN berarti World Wide Income dan WP LN berarti penghasilan dari Indonesia saja, dan terakhir sistem pemungutannya menggunakan self assessment dan withholding tax. Perkembangan PPh tersebut yang menjadikan adanya perubahan UU PPh sebanyak empat kali.

Pro Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak di Indonesia

a. Penerapan PPh Final dalam Pasal 4 ayat 2 UU PPh

PPh Final dapat mendorong tingkat kepatuhan WP untuk kegiatan perpajakan. Karena PPh Final bersifat menyederhanakan dan memudahkan proses administrasi. Hal itu karena pada Pasal 4 ayat 2 UU PPh dijelaskan khusus mengenai penghasilan yang dikenakan secara final, jadi mempermudah dalam penghitungan karena tidak semua penghasilan dihitung. 

Selain itu, PPh Final menganut sistem withholding tax dan presumptive tax. Withholding tax dapat diartikan pemotongan pajak oleh pihak ketiga, berarti penghasilan dipungut oleh bendahara atau pihak ketiga lainnya. Pihak ketiga ini merupakan bagian dari instansi pemerintah, sehingga kemungkinan kecil WP tidak membayar pajak sangat kecil. Presumptive tax bertujuan untuk meningkatkan efisiensi mengenai informasi untuk perhitungan beban pajak. 

Jadi, presumptive tax menjamin kepatuhan pajak karena WP tidak mungkin untuk menghindar, sebab adanya efisiensi antara WP dengan pemungut pajak. Selain itu, dalam perhitungan pajak dipisahkan antara penghasilan satu dengan penghasilan yang lain. 

Dalam penerapannya ketika sudah dibayar pajaknya maka dianggap selesai dan tidak dihitung lagi dalam SPT PPh Tahunan atau tidak dapat dikreditkan ke SPT Tahunan. Oleh karena itu, pemisahan bertujuan agar perhitungan pajak berakhir pada nominal yang tepat, tidak merugikan WP namun tetap bermanfaat untuk negara.

b. Penerapan Tarif PPh dalam Pasal 17 ayat 1, 2, dan 2a UU PPh

Pada pasal ini, pro bagi WP karena adanya jenjang tarif yang disesuaikan berdasarkan banyaknya penghasilan yang diterima. Hal itu menunjukkan adanya keadilan karena tarif pajaknya tidak dipukul rata untuk semua penghasilan baik yang penghasilan rendah maupun penghasilan yang besar. Apalagi dalam ayat 2 dinyatakan tarif tertinggi dapat diturunkan menjadi 25% sesuai PP, hal itu sebuah keuntungan bagi WP yang awalnya dikenai tarif yang tertinggi. 

Pro pasal ini lebih untuk WP Badan, hal itu dijelaskan di UU Nomor 2 Tahun 2020 bahwa tarif 25% diturunkan menjadi 22%. Ketika tarif pajak diturunkan maka akan mengundang investor, sehingga dapat meningkatkan investasi. Semakin banyak investor maka akan menguntungkan bagi sebuah perusahaan sebagai WP Badan. 

Selain itu, penurunan tarif pajak mengundang WP semakin semangat membayar pajak sehingga tingkat kepatuhannya meningkat. WP merasa diringankan beban pajaknya. Meskipun tarif pajak untuk badan di Indonesia termasuk relatif tidak memberatkan jika dibanding negara lain, karena tarif badan di Indonesia berada di tengah-tengah tarif badan negara lain. Penurunan tarif ini dikatakan adil terhadap WP Badan, hal tersebut berbeda dengan WP OP yang memiliki tarif yang berbeda. 

Berapa pun kekayaan suatu badan, tetap dikenai tarif sama, sehingga tidak menimbulkan kontra karena merasa beban pajak yang dipungut tidak sama rata. Dengan hal ini, meskipun tarif diturunkan dan menimbulkan pemikiran tidak baik bagi perekonomian negara, namun ketika WP Badan meningkat kepatuhan perpajakannya, hal tersebut bisa saja menutup kekurangan perekonomian negara. Intinya, ketika tarif diturunkan dengan tingkat kepatuhan yang meningkat akan lebih baik dibandingkan dengan tarif normal 25% dengan tingkat kepatuhan yang kurang.

c. Penerapan Pemotongan Penghasilan dalam Pasal 21

Pemotongan penghasilan dalam pasal ini menimbulkan keuntungan bagi pendapatan negara, namun juga tidak merugikan masyarakat, karena tarif pemotongannya pun tidak terlalu besar. Pemotongan tersebut bukan tanpa tujuan, hal tersebut dilakukan untuk menjaga perekonomian negara karena pajak berkontribusi secara lebih besar dalam penerimaan negara. 

Jika WP memiliki tingkat kepatuhan pajak yang tinggi, maka mereka dapat menyadari bahwa adanya pemotongan penghasilan ini merupakan kewajiban sebagai warga negara yang baik. Negara pun tidak asal memotong penghasilan dengan tarif yang sudah ditentukan itu. 

Penetapan tarif pemotongan pajak pun pastinya sudah dipikirkan lebih matang oleh instansi pemerintah, sehingga tidak mungkin juga pemotongan ini merugikan masyarakatnya. Jika disesuaikan dengan kondisi negara saat ini, adanya isu pembebasan

pemotongan pasal 21 saat pandemi ini mendapat respon positif yang sangat besar bagi masyarakat. Dikabarkan pada tahun 2020 pembebasan pasal 21 ini untuk penghasilan perbulan maksimal Rp16.000.000 akan berlaku mulai Maret hingga September 2020. Hal itu keuntungan besar bagi masyarakat karena mereka akan menerima penghasilan secara utuh. Pembebasan ini dilakukan agar roda perekonomian masyarakat disaat pandemi ini dapat berjalan dengan baik.

Kontra Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak di Indonesia
a. Penerapan PPh Final dalam Pasal 4 ayat 2 UU PPh

PPh Final menimbulkan kontra yaitu pemungutan pajak yang bersifat final tidak melihat aspek keadilan dan kemampuan membayar yang ada dalam PPh. Hal tersebut karena dalam pasal ini terdapat penghasilan tertentu yang dikenakan final, padahal secara nyata banyak jenis penghasilan yang didapat oleh WP. Seharusnya tidak membedakan antara penghasilan satu dengan yang lain agar para WP merasa bahwa pajak bersifat adil. Selain itu, setiap WP yang berpenghasilan pasti memiliki kemampuan membayar pajak, sehingga tidak perlu untuk dipisahkan mana penghasilan yang bersifat final atau tidak. 

Menurut saya pribadi, kondisi kontra kali ini tidak dapat dibenarkan dan tidak dapat disalahkan juga. Karena di satu sisi, adanya PPh Final ini dikhususkan untuk WP yang dianggap jauh lebih mampu sehingga pengenaan pajaknya berbeda. Lalu kemampuan membayar setiap WP juga berbeda, karena penghasilan tiap orang berbeda. 

Seharusnya penerapan pasal ini tetap mempertimbangkan keadilan dan kemampuan membayar dan di sosialisasikan ke masyarakat agar mereka memahami tujuan PPh Final ini. Kontra lainnya adalah pengenaan pajak final tidak seimbang antara subjek pajak dengan objek pajak. Karena PPh bersifat subjektif, sedangkan dalam pasal ini pengenaan pajak final lebih melihat pada sisi objek pajaknya. Seharusnya untuk subjek pajaknya dapat ditelaah lagi agar dapat dikenai PPh Final agar sesuai denga sifat dasarnya PPh.

b. Penerapan Tarif PPh dalam Pasal 17 ayat 1, 2, dan 2a UU PPh

Akhir-akhir ini penurunan tarif PPh untuk badan menjadi perbincangan. Karena di sisi lain penurunan tarif membawa dampak yang positif bagi negara, namun di sisi lain dapat menimbulkan masalah baru. Terlebih lagi Indonesia sebagai negara berkembang dengan tingkat perekonomian yang tinggi, apalagi penerimaan pajak di Indonesia berperan penting. 

Ketika tarif ini diturunkan, maka penerimaan pajak akan berkurang. Berbeda dengan pihak yang pro, pada pasal ini kepatuhan WP terhadap pajak tidak serta merta meningkat ketika adanya penurunan tarif. Penurunan pajak bukan menjadi tolok ukur penilaian kepatuhan pajak. 

Untuk jangka pendek mungkin penurunan tarif ini sedikit membantu, tetapi untuk jangka panjang kurang baik bagi perekonomian negara. Karena Indonesia sendiri memiliki populasi yang banyak, sehingga jika tarif pajak ini diturunkan, hal yang ditakutkan adalah perekonomiannegara terguncang. 

Masalah lain yang ditakutkan adalah jika penurunan tarif pajak ini akan mengakibatkan rasio pajak terhadap PDB juga turun. Karena terdapat beberapa negara yang mengalaminya seperti Thailand. Indonesia pun pernah mengalaminya, sehingga penurunan tarif ini menimbulkan kontra.

c. Penerapan Pemotongan Penghasilan dalam Pasal 21

Adanya pemotongan penghasilan WP oleh pemerintah merupakan hal yang kurang disetujui masyarakat. Karena menyebabkan penghasilan yang mereka terima tidak utuh, bahkan sebelum pandemi sudah menjadi kontra masyarakat. Tahun 2020 adanya pandemi dikabarkan bahwa masyarakat berpenghasilan akan dibebaskan dari pasal 21 ini. 

Ditekankan lagi bahwa pembebasan pajak ini khusus penghasilan maksimal Rp200.000.000 dalam setahun, artinya penghasilan perbulan maksimal Rp16.000.000. Serta, pembebasan ini hanya ditujukan ke industri manufaktur yang dikatakan terkena dampak pandemi lebih besar. Hal itu lah yang menuai kontra, karena dianggap kurang adil. 

Pembebasan pasal 21 ini mungkin akan lebih baik ditujukan kepada masyarakat berpenghasilan rendah dan tidak berpenghasilan tetap. Seperti UMKM yang pastinya sangat membutuhkan pembebasan pajak ini. Padahal penghasilan berkisar Rp16.000.000 perbulan termasuk tinggi, sehingga kurang relevan jika harus dilakukan pemotongan pajak. 

Seharusnya penetapan kisaran penghasilan tersebut lebih rendah lagi, misal Rp1.000.000 sampai Rp2.000.000 perbulan, sehingga negara tidak terlalu menanggung beban pajak yang besar disaat pandemi. Mungkin tujuan pembebasan pajak ini agar roda perekonomian masyarakat berjalan lancar, hanya saja saya pribadi kurang setuju dengan maksimal penghasilan Rp16.000.000 perbulan. Karena bisa saja hal tersebut membuat beban tanggungan negara menjadi lebih besar disaat pandemi.

 Meskipun pembebasan pasal 21 selama pandemi ini bersifat sementara, yang dikabarkan berlaku mulai April hingga September 2020, tetap saja dapat menimbulkan kemungkinan negara kita menjadi lebih besar beban tanggungannya. Pembebasan pajak ini mungkin saja dapat dilakukan, namun harus memperhatikan dan memperkirakan dampak bagi negara untuk jangka pendek maupun jangka panjang, sehingga antara negara dan masyarakatnya akan lebih baik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun