JAKARTA-- Kondisi Papua tidak dapat dilepaskan dari kelahiran Undang-undang nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) Provinsi Papua. Pada saat itu gema reformasi tahun 1998 masih bergelora dengan semangat untuk menyelesaikan permasalahann besar bangsa, antara lain konflik yang terjadi di tanah Papua.
Pemerintah presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) memberikan perhatian dengan mengembalikan nama Papua dari nama Irian Jaya serta menampung usulan Otonomi Khusus.
Terobosan politik itu didahului Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia tahun 2000 yang menghasilkan ketetapan (TAP) MPR RI nomor IV/MPR/2000 tentang rekomendasi kebijakan dalam penyelenggaraan Otonomi Khusus.
Dalam TAP itu disebutkan keberadaan UU Otsus bagi daerah Istimewa Aceh dan Irian Jaya sesuai dengan TAP MPR IV/MPR/1999 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) tahun 1999-2004 agar dikeluarkan selambat-lambatnya pada 1 Mei 2001.
Menindaklanjuti amanat kedua TAP MPR tersebut, DPR RI pada tanggal 22 Oktober 2001 menyetujui dan menetapkan UU nomor 21 tahun 2001 tentang Otsus Provinsi Papua. Presiden RI dengan kewenangan yang dimiliki  pada 21 November 2001 telah mengesahkan UU nomor 21/2001 itu dan dimuat dalam lembaran negara RI tahun 2001 nomor 135 dan tambahan lembaran negara tahun 2001 nomor 4151.
Harapan besar dari kebijakan Otsus itu untuk mensejahterakan warga Papua. Namun, bagi Ketua Badan Kehormatan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) Mervin Sadipun Komber menyebut sejatinya kebijakan Undang-undang Otonomi Khusus itu yang mengatur dan memiliki kewenangan adalah seorang Gubernur.
"Tapi kewenangan-kewenangan ini yang kadang ditahan oleh pusat. Jadi di Papua itu selalu kita bilang bahwa Jakarta pegang kepala, kita hanya di ekornya saja," tutur Mervin.
Mervin mengatakan hal itu dalam diskusi dialektika demokrasi 'Membedah UU Otsus Papua, Telaah Upaya Pemerintah Redam Konflik Di Bumi Cendrawasih' yang digelar di Gedung Nusantara III Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa, (10/9/2019).
Menanggapi hal itu, Wakil Ketua Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) Satya Widya Yudha mengatakan mestinya dipikirkan bersama dengan baik. Karena sejatinya dibutuhkan menumbuhkan kepercayaan dari dua sisi antara pemerintah pusat dan daerah.
Pemerintah menginginkan memberikan kepercayaan kepada daerah untuk mengelola dana Otsus. Tetapi, Satya bilang tunjukkan juga dari Papua bahwa siap untuk menerima kepercayaan dari pemerintah atas kebijakan tersebut.
"Kalau itu sudah terjadi, jujur pasti tidak akan ada dana Otsus yang masih digandoli di pusat dimana pengelolaan atau implementasinya masih belum diberi kewenangan kepada daerah," tandasnya.
Menurut Satya, terlepas kepalanya masih dipegang oleh pemerintah pusat, buntutnya dilepas seperti apa yang dikatakan Mervin Komber, tapi anggaran dana Otsus yang dikucurkan negara selama ini sekitar Rp 105 triliun.
Dana itu juga merupakan keinginan pemerintah pusat untuk membuat Papua menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari Indonesia, merasakan kebijakan yang akhirnya bisa menambah kemakmuran masyarakat dengan uang yang diberikan pemerintah.
"Tinggal bagaimana masyarakat Papua menyambut dengan rasa persaudaraan yang tinggi. Sehingga pengelolaan keuangan bisa diturunkan hingga di tingkat Bupati," pungkas Satya Widya Yudha.
Untuk itu, warga Papua diminta menunjukkan keseriusannya untuk mengelola dana Otsus itu secara transaparan, supaya provinsi Papua dan Papua Barat itu diharapkan kedepannya lebih sejahtera.
Artikel ini Telah Tayang di Media:
Soal Dana Otsus Papua, Mervin Komber: Jakarta Pegang Kepala, Kita di Ekornya Saja
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H