Mohon tunggu...
Adi Setiawan
Adi Setiawan Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Ilmiah

Menyalurkan Karya Tulis

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Direktur Puskohis UIN Surakarta Bantah Tuduhan PP No 28/2024 Bertujuan Melegalkan Seks Bebas

13 Agustus 2024   18:07 Diperbarui: 13 Agustus 2024   18:08 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pemerintah telah resmi menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Pelaksanaan Undang-Undang (UU) Kesehatan. Peraturan ini sering kali disalahartikan sebagai regulasi yang berpotensi melegalkan seks bebas. Khususnya pada pasal berikut ini :


 Pasal 103 ayat (1): "Upaya Kesehatan sistem reproduksi usia sekolah dan remaja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101 ayat (1) huruf b paling sedikit berupa pemberian komunikasi, informasi, dan edukasi, serta Pelayanan Kesehatan reproduksi."
Pasal 103 ayat (2): "Pemberian komunikasi, informasi, dan edukasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit mengenai: a. sistem, fungsi, dan proses reproduksi; b. menjaga Kesehatan reproduksi; c. perilaku seksual berisiko dan akibatnya; d. keluarga berencana; e. melindungi diri dan mampu menolak hubungan seksual; dan f. pemilihan media hiburan sesuai usia anak."
Pasal 103 ayat (3): "Pemberian komunikasi, informasi, dan edukasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan melalui bahan ajar atau kegiatan belajar mengajar di sekolah dan kegiatan lain di luar sekolah."
Pasal 103 ayat (4): "Pelayanan Kesehatan reproduksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit meliputi: a. deteksi dini penyakit atau skrining; b. pengobatan; c. rehabilitasi; d. konseling; dan e. penyediaan alat kontrasepsi."
Pasal 103 ayat (4): "Konseling sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf d dilaksanakan dengan memperhatikan privasi dan kerahasiaan, serta dilakukan oleh Tenaga Medis, Tenaga Kesehatan, konselor, dan/atau konselor sebaya yang memiliki kompetensi sesuai dengan kewenangannya."

Namun, tuduhan ini perlu diluruskan dengan argumentasi yang kuat, didukung oleh teori hukum, data sejarah, pendapat ahli, dan rekomendasi saran untuk membantah klaim tersebut. Dalam salah satu kesempakatan menjadi pemateri Kajian Hukum di Surakarta, Ahmad Muhamad Mustain Nasoha, Direktur Pusat Studi Konstitusi dan Hukum Islam UIN Raden Mas Said Surakarta menjelaskan bahwa Berangkat dari Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 28H (1), menegaskan bahwa setiap orang memiliki hak untuk hidup sejahtera, termasuk hak atas pelayanan kesehatan. Hal ini diperkuat oleh Pasal 9 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang juga menggarisbawahi hak individu untuk mendapatkan layanan kesehatan yang adil.

Dalam teori hukum responsif, hukum harus mampu beradaptasi dengan kebutuhan masyarakat yang terus berkembang. Philippe Nonet dan Philip Selznick menggarisbawahi bahwa hukum bukan hanya alat kontrol, tetapi juga respons terhadap dinamika sosial. PP Nomor 28/2024 adalah refleksi dari pendekatan ini, dengan fokus pada pencegahan perilaku berisiko melalui edukasi yang tepat mengenai kesehatan reproduksi.

Di sisi lain, teori hukum progresif, seperti yang diusung oleh Satjipto Rahardjo, juga menekankan pentingnya hukum yang melindungi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. PP ini dirancang untuk memberikan informasi yang komprehensif kepada remaja tentang kesehatan reproduksi, guna mencegah terjadinya perilaku yang tidak bertanggung jawab, bukan untuk melegalkan seks bebas. Sejarah kebijakan kesehatan di Indonesia menunjukkan bahwa regulasi yang berfokus pada edukasi dan pencegahan selalu berhasil membawa dampak positif. Program Keluarga Berencana (KB) pada era 1970-an, yang bertujuan mengendalikan angka kelahiran melalui edukasi dan akses kontrasepsi, berhasil menekan laju pertumbuhan penduduk tanpa melanggar norma sosial. Begitu juga dengan pendidikan kesehatan di sekolah sejak era 1980-an, yang memberikan pengetahuan dasar tentang kesehatan tanpa mempromosikan perilaku seksual bebas. PP Nomor 28/2024 melanjutkan tradisi ini dengan menekankan pentingnya edukasi kesehatan reproduksi sebagai alat pencegahan. Pasal 103 ayat (2) dengan jelas mencantumkan bahwa edukasi ini mencakup informasi tentang risiko perilaku seksual yang tidak aman dan cara melindungi diri, bukan untuk mendorong perilaku yang tidak sesuai dengan nilai-nilai sosial dan agama.

Ahli hukum internasional, seperti John Rawls, dalam teorinya tentang keadilan, menekankan bahwa hukum harus selalu melindungi hak-hak dasar individu, termasuk hak atas informasi yang benar dan pendidikan yang tepat. PP Nomor 28/2024 mencerminkan prinsip ini dengan memberikan edukasi yang bertujuan untuk melindungi remaja dari risiko perilaku seksual yang berbahaya. Di sisi lain, Martha Nussbaum, seorang ahli hukum dan filsuf terkenal, dalam teorinya tentang kemampuan (capability approach), menekankan bahwa individu harus diberi kemampuan untuk membuat keputusan yang benar dalam hidupnya, termasuk dalam hal kesehatan reproduksi. PP ini menyediakan sarana edukasi dan layanan yang memungkinkan remaja membuat keputusan yang bertanggung jawab dan informed, sejalan dengan pendekatan Nussbaum.

Pakar kesehatan dan pendidikan sering kali menekankan bahwa edukasi kesehatan reproduksi yang komprehensif adalah kunci untuk mencegah perilaku berisiko. Dr. F.X. Hadisoemarto, seorang pakar kesehatan masyarakat, menegaskan bahwa pemberian informasi yang benar kepada remaja dapat mengurangi perilaku seksual yang tidak aman. Hal ini sejalan dengan tujuan PP Nomor 28/2024, yang menyatakan dalam Pasal 103 ayat (2) bahwa edukasi tersebut harus mencakup informasi tentang risiko seksual dan cara melindungi diri.

Tujuan utama dari peraturan ini adalah untuk memperkuat layanan promotif dan preventif guna mencegah masyarakat dari risiko penyakit. Secara tegas Juru Bicara Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Mohammad Syahril, dalam pernyataan resminya pada Rabu (7/8/2024) yang dikutip oleh InfoPublik, menyatakan bahwa edukasi kesehatan reproduksi, termasuk informasi tentang penggunaan kontrasepsi, merupakan komponen penting dari program . Alat kontrasepsi hanya akan diberikan kepada remaja yang sudah menikah, dengan tujuan menunda kehamilan ketika calon ibu belum siap secara ekonomi atau kesehatan. Menurut keteranganya juga bahwa peraturan ini akan dijelaskan lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Kesehatan yang sedang dalam proses penyusunan sebagai aturan pelaksana dari PP tersebut dimana aturan turunan ini juga akan memberikan pedoman lebih rinci tentang edukasi keluarga berencana bagi anak usia sekolah dan remaja, yang akan disesuaikan dengan tahap perkembangan dan usia mereka.

Jadi jelaslah bahwa PP tidak sama sekali bertujuan untuk melegalkan seks bebas bagi masyarakat khususnya remaja. Untuk mencegah persepsi kurang baik dari masyarakat atas PP ini, saya memberikan 5 saran sebagai solusi dalam masalah ini :

1. Pemerintah dan institusi terkait perlu aktif melakukan sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat tentang isi dan tujuan PP ini. Penekanan harus diberikan pada fakta bahwa regulasi ini bertujuan untuk melindungi, bukan mendorong perilaku yang menyimpang dan seks bebas.
2. Melibatkan pakar hukum, kesehatan, dan pendidikan dalam diskusi publik untuk memberikan perspektif yang tepat mengenai PP ini. Pendapat para ahli dapat menjadi alat yang kuat untuk meluruskan miskonsepsi.
3. Pemerintah menurut saya sesegera mungkin memperjelas peraturan pelaksana atau panduan implementasi yang menegaskan bahwa tujuan utama PP ini adalah pencegahan perilaku berisiko melalui edukasi, bukan melegalkan seks bebas.
4. Mengacu pada negara-negara yang sukses mengimplementasikan pendidikan kesehatan reproduksi tanpa melegalkan seks bebas. Misalnya, di Belanda dan Swedia, edukasi kesehatan reproduksi yang inklusif berhasil menekan angka kehamilan remaja dan penyakit menular seksual, dengan tetap menjaga norma sosial yang ketat.

Sebagai penutup argumentasi saya, bahwa saya berhusnudzon pemerintah kita tidak mungkin memiliki niat tidak baik yaitu melegalkan seks bebas melalui terbitnya PP ini. Wakil presiden kita adalah Ulama dan bahkan Mantan Ketua Umum MUI Pusat. Beliau sangat faham mana yang halal dan mana yang haram, yang tentunya pendapat beliau menjadi pertimbangan penting bagi presiden dan pejabat lainnya untuk menetapkan setiap kebijakan khususnya PP ini. Saya mengajak kita untuk bersabar sejenak dengan tetap mengawal untuk menunggu Peraturan turunan yang nanti akan menjelaskan secara lebih detail dan terperinci tentang PP ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun