Suatu hari ada seorang raja yang sedang berjalan-jalan dengan rombongan kerajaan. Di tengah perjalanan, tiba-tiba saja kaki sang raja tertusuk duri. Sang raja pun mengerang kesakitan, kemudian memerintahkan kepada seluruh asistennya untuk menutup semua jalan dengan kulit binatang.
"Saudara-saudara asisten! Saya perintahkan kepada kalian semua! Besok pagi tutup semua jalan dengan kulit binatang!!" perintah sang raja.
Seluruh asistennya manggut-manggut, kecuali satu asisten yang langsung mendekati sang raja.
Asisten ini berkata,
"Paduka raja, berapa binatang yang bakal kita bunuh untuk menutup semua jalan? Berapa kilogram kulit binatang yang kita butuhkan untuk pekerjaan itu? Pasti akan sangat banyak sekali, Paduka. Saya ada ide yang lebih bagus, lebih hemat, dan lebih sedikit menyakiti..."
"Apa itu?" tanya sang raja.
Asisten ini menjawab dengan sebuah pertanyaan, "Kenapa tidak kaki paduka saja yang ditutupi sandal atau sepatu??"
**
Kalau di zaman sekarang tentu sudah lumrah orang berjalan-jalan menggunakan alas kaki, bahkan beragam modelnya. Di jaman dulu, zaman kerajaan, mungkin hanya segelintir orang-orang dari golongan ningrat yang memilikinya. Apalagi zaman manusia purba, sudah pasti mereka belum berpikir melindungi kaki mereka, perut tidak lapar saja sudah bagus.
Namun, makna dari cerita di atas bukanlah tentang alas kaki dalam artian yang sebenarnya. Ini tentang alas kaki dalam artian "sesuatu yang melindungi hati kita dari pemicu kemarahan". Dalam keseharian, tidak saja kita pernah dipuji orang, tapi pasti kita juga pernah mendapat kritik, mendapat ejekan, mendapat omongan miring dari orang lain. Pujian itu sangat menyenangkan. Membuat hati kita seperti terbang melayang jauh tinggi di awan. Tapi yang namanya dihina, dikritik, dimarahi, dianggap tidak becus, diejek...siapa yang suka?Â