Mohon tunggu...
Adi Prayuda
Adi Prayuda Mohon Tunggu... Dosen - Seorang dosen, penulis, dan murid meditasi

Seorang Dosen di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Islam Al-Azhar, yang juga merupakan pemandu meditasi. Penulis berbagai buku self development dengan pendekatan meditasi (Jeda).

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Pelajaran Tersembunyi dari Duri

9 November 2022   07:48 Diperbarui: 9 November 2022   07:54 203
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam hidup ini, ada saja orang-orang yang didatangkan khusus untuk memberi kita pelajaran dengan cara yang "menyakitkan". Menghina-lah, memarahi-lah, mengejek-lah, mengkritik-lah, menyindir-lah, dan lain sebagainya. Mereka itu sebenarnya guru-guru juga, terutama guru mata pelajaran kesabaran. Tidak ada orang yang lebih hebat yang bisa mengajari kita praktek kesabaran selain orang-orang itu. Mungkin mereka memarahi kita atau menghina kita karena kita yang salah. Tapi yang namanya manusia, walaupun tahu diri kalau salah, tetap saja ingin diberi tahu dengan lemah-lembut, tidak dimarahi atau dihina, apalagi disindir-sindir sambil ngelirik sinis.

Menghadapi orang-orang seperti itu memang butuh keahlian khusus yang tidak diajarkan di bangku sekolah atau universitas manapun. Ingin ya rasanya bisa "menutup mulut" orang-orang yang menjelek-jelekkan kita. Tapi ingatlah, tangan kita ini dua, jadi paling banyak bisa menutup mulut dua orang, kecuali kita memanfaatkan kaki kita juga..hehehe. Kalau itu sudah bukan menutup mulut lagi, tapi sudah ke arah menendang. 

Terkait dengan aktivitas menutup, saya ingatkan pertanyaan asisten sang raja dalam cerita di atas, "Paduka raja, berapa binatang yang bakal kita bunuh untuk MENUTUP semua jalan? Berapa kilogram kulit binatang yang kita butuhkan untuk pekerjaan itu? Kenapa tidak kaki paduka saja yang ditutupi sandal atau sepatu?"

Pasti sangat melelahkan sekali bila kita harus "menutup mulut" teman kita yang cerewet, kawan kita yang memarahi kita, dosen kita yang mengkritik kita, atasan kita yang menyindir kita dan memerintahkan kita dengan sewenang-wenang. Banyak sekali yang harus kita "tutup", kan?! Mengapa tidak kita coba untuk "menutup telinga kita sendiri" atau dengan cara yang lebih keren: "menutup pikiran kita dengan sepatu kesadaran"?

Kenapa "menutup pikiran kita dengan sepatu kesadaran" lebih keren dibanding "menutup telinga kita"? Karena telinga yang tertutup belum bisa sepenuhnya menjamin kita tidak pusing dengan hinaan, amarah, ejekan, sindiran orang-orang di sekitar kita. Anggap saja kita dimarahi sekali oleh seseorang, namun rekaman marahnya orang itu diputar terus di pikiran kita, sehingga kita merasa dimarahi berkali-kali. Kita diejek sekali, namun pikiran kita yang memutar memori atau kenangan itu membuat kita diejek berkali-kali. Oleh karenanya, perlu sekali kita "menutup pikiran kita dengan sepatu keSADARan". Menyadari bahwa hal itu terjadi. 

Rasa sadar itulah yang pada akhirnya membuat pikiran kita tidak memutar rekaman-rekaman peristiwa yang membuat kita merasa tidak nyaman. Menyadari bahwa ada yang perlu diperbaiki dari diri kita. Menyadari bahwa tidak ada satu pun orang marah yang bahagia dan damai hatinya, sehingga kita bisa lebih mengasihani orang-orang yang sedang memarahi, mengejek, dan menyindir kita.

Rasa sadar itu penting. Bila tidak kita munculkan, kita akan cenderung menyalahkan orang lain. Setelah itu, kita akan berupaya mengubah orang lain, mengubah keadaan, dan mengubah apapun, yang penting bukan mengubah diri sendiri. Tentu saja itu sulit sekali, bukan?! Mengubah diri sendiri saja tidak mudah, apalagi mengubah orang lain. Seringnya kita memunculkan rasa sadar membuat kita sering bertemu dengan rasa sabar. Dan ingat, orang sabar itu bukan orang yang tidak bisa marah. Kalau orang yang tidak bisa marah, memang karakternya seperti itu, dia memang tidak bisa marah, bukan sabar. Orang sabar itu memiliki kapasitas untuk marah, namun lebih memilih untuk menyadari emosinya.

Pastinya, sekarang sudah lebih jelas makna dari cerita raja yang tertusuk duri di atas, kan?! Mau memilih marah, jengkel, kesal, atau bersabar dan memperbaiki diri, pada akhirnya itu adalah hak masing-masing. Pada takaran tertentu, marah itu sangat diperlukan. Namun, bila melebihi batas; tubuh kita yang lemas, air mata terkuras, tisu pun habis diperas. Saya hanya menyajikan sebuah sudut pandang yang bisa dijadikan alternatif untuk melihat nuansa baru yang mungkin belum dilihat sebelumnya. 

Setiap kejadian itu netral, kita yang memberinya muatan positif dan negatif, kita yang melabelkannya "menyenangkan" dan "menyedihkan". Dan hanya kita sendiri yang bisa mengubah itu semua menjadi hal-hal yang berdampak bagi peningkatan kualitas diri kita masing-masing. Tidak ada orang lain yang bisa. Kita yang mengalaminya sendiri. Kita yang merasakannya sendiri. Semua nilai-nilai "baik atau buruk" ada di pikiran kita sendiri. Orang lain hanya bisa menyarankan. Sekeras apapun orang berteriak menyarankan, sesering apapun orang menyarankan, keputusan tetap ada dalam diri kita masing-masing. Teriakan orang lain di sekitar kita tidak lebih berdampak dibandingkan bisikan kita terhadap diri kita sendiri. Itulah pelajaran tersembunyi dari duri. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun