Mohon tunggu...
Adi Nurcahyo
Adi Nurcahyo Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Peran Kampoeng Budaya dalam Membangun Adab Remaja

20 Maret 2019   16:06 Diperbarui: 20 Maret 2019   16:08 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menurut hasil Susenas 2017, jumlah penduduk Indonesia dalam kelompok umur pemuda sekitar 63,36 juta jiwa, atau mencapai 24,27 persen dari total jumlah penduduk sebesar 258,7 juta, ini berarti satu dari empat penduduk adalah pemuda. (Statistik Pemuda Indonesia 2017). Dari jumlah tersebut, untuk kelompok umur pelajar (16-18 tahun) persebarannya lebih banyak di pedesaan, sedangkan kelompok umur pekerja (19-24 tahun) lebih banyak di perkotaan.

Untuk itu, pemerintah terus berupaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia, sehingga bonus demografi tersebut nantinya menjadi kekuatan tersendiri bagi terwujudnya Indonesia Emas di tahun 2045. Sebab, tanpa upaya-upaya yang terarah dan menyeluruh, keuntungan demografi ini justru menjadi beban tersendiri, karena di sisi yang lain, proses dekadensi moral yang terjadi secara sistematis tengah berlangsung di negeri ini, tanpa perlu kami uraikan satu persatu.

Berangkat dari sini, pemerintah terus menggalakkan program-program pembangunan mental dan moral. Salah satunya adalah program Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) di sekolah-sekolah. Nilai-nilai utama PPK adalah religiuas, nasionalis, mandiri, gotong royong, dan integritas. Nilai-nilai ini ingin ditanamkan dan dipraktikan melalui sistem pendidikan nasional agar diketahui, dipahami, dan diterapkan di seluruh sendi kehidupan di sekolah dan di masyarakat.

Yang perlu kita pahami dan sadari bersama, bahwa proses internalisasi dan penghayatan nilai-nilai ini tidak berhenti di rumah atau sekolah saja. Apa yang dianggap bernilai, adanya penghargaan terhadap sesuatu, ketabahan sosok individu, dan berbagai norma yang tertulis maupun tidak merupakan lingkungan sosial di masyarakat yang nantinya lebih banyak kita temui dan hayati selepas sekolah atau kuliah.

Lingkungan masyarakat adalah satu dari tiga komponen tripusat pendidikan, dua lainnya yaitu lingkungan keluarga dan lingkungan sekolah. Dalam lingkungan masyarakat seseorang dituntut untuk menjunjung tinggi norma-norma dan nilai-nilai yang berlaku. Adanya ketaatan dan penghayatan nilai yang terpatri, pada akhirnya seseorang akan memiliki kepribadian dan adab yang sesuai dengan masyarakat tempat ia tinggal.

Dengan demikian, lingkungan masyarakat harus bisa menjalankan fungsinya menjaga nilai-nilai, norma, dan adab  yang telah dimiliki seseorang, apakah ia dapatkan di rumah, sekolah atau di masyarakat itu sendiri.

Mungkin diantara kita masih ingat waktu masa kecil, ketika selesai mandi dan berpakaian, langsung berlari menuju ke salah satu rumah tetangga menemui sahabat kita. Tapi, begitu sampai rumahnya, dan ibunya mengetahui rambut kita belum tertata dengan baik, maka sang ibu langsung memanggil, dan tanpa banyak bicara langsung menyisir rambut kita. Ini merupakan contoh kecil penjagaan masyarakat atas nilai kerapian serta adab saat keluar rumah. Jika kondisi ini dibiarkan, sang anak rambutnya pasti tetap tidak rapi ketika besarnya.

Dalam lingkup yang lebih luas dan kronis, hilangnya kesadaran moralitas, menjadikan anggota masyarakat membiarkan atau mengabaikan proses dekadensi moral yang terjadi secara sistematis tanpa berupaya bergerak untuk mengatasi dan menghalanginya. Bahkan pada kasus-kasus tertentu, sebagian justru terlibat dalam pelanggaran yang bersifat kolektif. Inilah yang menyebabkan maraknya korupsi dan suap dengan berbagai variannya di negeri ini.

Maka, lingkungan masyarakat mempunyai andil yang cukup besar terhadap pembentukan kepribadian dan adab seseorang. Meskipun tidak secara formal, seseorang akan belajar suatu tata kehidupan dengan masyarakat. Budaya dan perilaku seseorang mencerminkan bagaimana kondisi lingkungan orang itu berasal. Identifikasi tentang berbagai pola sikap dan adat kebudayaan suatu masyarakat terjadi sepanjang seseorang hidup dalam lingkungan masyarakat tersebut. Dan jika di kemudian hari ia meninggalkan lingkungan tersebut, maka apa yang biasa diperbuat dalam lingkuangan asal akan tetap terbawa.

Berangkat dari sini, keberadaan kampoeng budaya sangat dibutuhkan dalam menyemai nilai-nilai murni. Kampoeng budaya adalah suatu lingkungan masyarakat, di desa atau di kota, yang benar-benar masih menjaga norma-norma luhur yang dijiwai nilai religiuas, nasionalis, mandiri, gotong royong, dan integritas.

Tanpa keberadaan kampoeng budaya, proses pendidikan tidak akan sampai pada tujuan yang diharapkan. Sebab, kegagalan pendidikan kita karena kurangnya harmonisasi dari tripusat pendidikan, keluarga, sekolah dan masyarakat, sehingga ketiganya tidak dapat berjalan beriringan dan bersinergis. Masing-masing anggota masyarakat harus lapang dada dan berkomitmen dalam menjalankan serangkaian norma yang dijiwai nilai religiuas, nasionalis, mandiri, gotong royong, dan integritas, sesuai dengan kondisi daerah masing-masing.

Bila diibaratkan, kampoeng budaya adalah laboratorium budaya, dimana seseorang tinggal mengaitkan nilai-nilai yang ia peroleh di rumah dan sekolah, dengan lingkungan social yang ia temui. Atau sebaliknya, mengurai pengalaman-pengalaman sosial yang ia alami, untuk mendapat jawabannya di rumah atau sekolah.

Kesimpulan

Lingkungan masyarakat sebagai media aktualisasi seseorang sebagai makhluk social, adalah lingkungan pendidikan yang paling lama kita jalin interaksi di dalamnya. Karenanya perlu proses pembudayaan yang baik sehingga diharapkan akan membentuk karakter yang baik pada diri tiap orang yang ada di dalamnya.

Jika proses ini tidak berjalan, maka lingkungan masyarakat sebagai wadah seseorang dalam menjalani hidup dan kehidupannya, akan menjadi mesin perusak pondasi nilai-nilai dan norma yang telah dibangun di rumah maupun di sekolah. Sebab, mau tidak mau, suka tidak suka, setiap individu akan berupaya menempatkan dirinya dalam kehidupan di masyarakat. Maka penyesuaian (adaptasi) menjadi sesuatu yang berat manakala nilai-nilai dan norma yang dijumpai di masyarakat jauh berbeda dengan yang ia miliki, tapi lambat laun kondisi yang berat ini akan berubah menjadi sesuatu yang nyaman. Tapi hal ini berarti orang tersebut kehilangan jati diri.

ditulis oleh : Adi Nurcahyo - Guru SMK Al Furqan Jember

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun