Salah satu yang paling menyita perhatian saya ketika tahu program Merdeka Belajar adalah soal fleksibilitasnya. Bagaimana murid mendapat kebebasan sejak dini untuk menentukan minat belajarnya.
Menarik? Tentu saja. Apalagi ketika masuk tingkat SMA. Di mana penjurusan IPA, IPS, dan Bahasa dihapuskan.
Jujur, saya yang mengalami masa SMA di tahun 2000-an awal, merasa masa-masa itu adalah masa yang paling indah. Tentu terlepas dari tugas dan mata pelajaran (mapel) yang berjibun banyaknya.
Bayangkan, saat kelas I SMA (sekarang disebut kelas X), saya yang lemah soal hitung-menghitung ini harus menguasai empat mapel yang mendebarkan sekaligus. Matematika, fisika, dan kimia. Belum lagi akuntansi.
Angka-angka jelas jadi cobaan berat setiap hari. Tak terkecuali aneka rumus dan tabel periodik yang, wow, begitu menguras habis cairan di otak saya. Ada pula neraca, laporan laba rugi, dan lain sebagainya.
Apalagi saat itu, dua bulan penuh di awal tahun ajaran, waktu saya tersita untuk fokus dalam pasukan pengibar bendera pusaka (paskibraka) kota. Selama itu, saya jarang masuk kelas. Setiap pagi hingga siang saya harus latihan bersama rekan dari sekolah lainnya dari seantero kota di stadion bola. Hasilnya saat kegiatan itu usai, saya harus mengejar ketertinggalan. Lelah dan penuh tekanan.
Tak mengherankan, nilai saya jeblok. Belum lagi, saya juga aktif di OSIS. Makin ngos-ngosan.
Namun hal itu tak akan terjadi andai saya jadi pelajar di era Merdeka Belajar. Saya bisa menyesuaikan minat saya di bidang seni dan bahasa sekaligus aktif berorganisasi.Â
Soal seni, saya paling suka menggambar. Mungkin yang cocok adalah mapel seni rupa. Juga biologi misalnya. Di mana sejak SD saya suka menggambar penampang daun, tengkorak manusia, serta anatomi.
Begitu pula dalam bidang bahasa. Saya akan belajar banyak bahasa di sekolah. Indonesia tentu. Inggris juga. Tapi Jerman dan Jepang pasti tak terlewatkan. Dua bahasa yang ketika masa itu juga dikenalkan oleh guru bahasa Indonesia. Meski sekarang hanya ingat 'ich liebe dich' dan 'konnichiwa' karena tidak ada pendalaman yang serius.
Andai saat itu kurikulumnya sefleksibel sekarang, maka kosakata dan kelancaran bercakap bahasa asing saya bakal lebih dari cukup untuk pelesiran ke luar negeri.
Semarak Merdeka Belajar yang Menyenangkan
Kurikulum Merdeka mengurangi konten pembelajaran sebanyak 30--40 persen guna menekankan pada pembelajaran yang mendalam. Juga mengalokasikan 20 persen untuk pembelajaran berbasis proyek serta memberikan keleluasaan bagi guru mengatur kecepatan proses pembelajaran sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan peserta didik (Kompas.com, 10/05/2023).
Apa artinya? Kurikulum Merdeka selalu berpihak kepada murid. Apalagi dengan pembelajaran berbasis proyek (project based learning) murid akan makin terasah kecakapannya dan mampu bekerja dalam kelompok. Dengan kata lain, mereka bisa bergotong-royong dan menyelesaikan tugas bersama-sama.
Hal ini sesuai dengan tuntutan zaman yang tak lagi mementingkan kompetisi melainkan semakin butuh kolaborasi.
Semarak Merdeka Belajar pun sejatinya akan menyenangkan bagi semua. Lebih sederhana dalam banyak hal dan tepat guna.
Guru dan sekolah tak terlalu dibebani dengan urusan administratif yang ribet dan membingungkan. Sedangkan murid bisa bebas berekspresi sesuai minat belajarnya.
Sekali lagi, andai saya hidup di era Merdeka Belajar maka banyak yang bisa saya perdalam. Tujuan dan cita-cita bisa saja saya pupuk sejak dini.
Tak akan lagi murid yang begitu mengejar nilai eksaktanya dan masuk jurusan IPA, ujung-ujungnya kuliah di jurusan manajemen atau hukum. Tak ada lagi pula yang mati-matian berjuang masuk SMA, eh waktu kuliah malah masuk teknik sipil dan teknik mesin. Anak SMK yang sudah fokus di bidang itu pun acapkali tersingkir saat penerimaan mahasiswa baru di kampus-kampus.
Semoga kebijakan ini terus berlanjut tanpa terimbas apapun. Termasuk pergeseran politik yang mungkin terjadi. Seperti harapan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim dalam sambutannya saat peringatan Hari Pendidikan 2023. Nadiem menginginkan keberlanjutan.
"Perjalanan harus dilanjutkan, perjuangan mesti kita teruskan, agar semua anak bangsa merasakan kemerdekaan yang sebenar-benarnya dalam belajar dan bercita-cita." (Kompas.com, 02/05/2023). (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H