Akad (ikatan, keputusan, atau penguatan) perjanjian, kesepakatan atau transaksi bisa diartikan sebagai komitmen yang terbingkai dengan nilai-nilai syariah. Dalam istilah fiqih, secara umum akad berarti sesuatu yang menjadi tekad seseorang untuk melaksanakan, baik yang muncul dari satu pihak, seperti wakaf, talak, dan sumpah maupun yang muncul dari dua pihak, seperti jual beli, wakalah dan gadai.Â
Ahmad Azhar Basyir, memberikan definisi akad sebagai suatu perikatan antara ijab dan kabul dengan cara yang dibenarkan syara' yang menetapkan adanya akibatakibat hukum pada objeknya. Ijab adalah pernyataan pihak pertama mengenai isi perikatan yang diinginkan, sedangkan kabul adalah pernyataan pihak kedua untuk menerimanya.
Dalam ajaran Islam  suatu akad akan menjadi sah apabila terpenuhi syarat dan rukun akad itu sendiri. Rukun dalam bahasa Arab berarti bagian yang kukuh yang memungkinkan tegaknya sesuatu. Menurut fuqaha rukun berarti apa yang merupakan unsur asasi wujudnya sesuatu dan menjadi esensinya.Â
Sedangkan Syamsul Anwar berpendapat bahwa rukun adalah unsur-unsur yang membentuk sesuatu, sehingga sesuatu itu terwujud karena adanya unsur-unsur tersebut yang membentuknya. Dengan demikian, rukun merupakan sesuatu yang harus ada dalam suatu akad karena rukun merupakan sesuatu yang menjadikan sah secara hukum dalam Islam. Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa rukun akad adalah ijab dan Kabul.
Suatu akad memang sudah terbentuk dan mempunyai wujud yuridis syar'i, namun belum serta merta sah. Untuk sahnya suatu akad, maka rukun dan syarat terbentuknya akad tersebut memerlukan unsur-unsur penyempurna yang menjadikan suatu akad sah.Â
Unsur-unsur penyempurna ini disebut syarat keabsahan akad. Syarat keabsahan akad ini dibedakan menjadi dua macam, yaitu syarat-syarat keabsahan umum yang berlaku terhadap semua akad atau paling tidak berlaku terhadap kebanyakan akad, syarat-syarat keabsahan khusus yang berlaku bagi masing-masing aneka akad khusus.Â
Rukun pertama yaitu para pihak dengan dua syarat terbentuknya, yaitu tamyiz dan berbilang pihak, tidak memerlukan sifat penyempurna. Rukun kedua yaitu, pernyataan kehendak, dengan kedua syaratnya juga tidak memerlukan sifat penyempurna.Â
Namun menurut jumhur ahli hukum Islam syarat kedua dari rukun kedua ini memerlukan penyempurna yaitu persetujuan ijab dan kabul itu harus secara bebas tanpa adanya paksaan. Bilamana terjadi dengan paksaan, maka akadnya fasid.
Akan tetapi, ahli hukum Hanafi Zufar (w. 158/775), berpendapat bahwa bebas dari paksaan bukan syarat keabsahan, melainkan adalah syarat berlakunya akibat hukum (syart annafadz). Artinya, menurut Zufar akad yang dibuat dengan paksaan adalah sah, hanya saja akibat hukumnya belum dapat dilaksanakan (masih tergantung, maukuf), menunggu ratifikasi dari pihak yang dipaksa apabila paksaan tersebut telah berlaku.Â
Rukun akad yang ketiga yaitu objek akad, dengan ketiga syaratnya memerlukan sifat-sifat sebagai unsur penyempurna. Syarat "dapat diserahkan" memerlukan unsur penyempurna, yaitu bahwa penyerahan itu tidak menimbulkan kerugian (dharar) dan apabila menimbulkan kerugian, maka akadnya fasid.Â
Syarat "objek harus tertentu" memerukan kualifikasi penyempurna, yaitu tidak boleh mengandung gharar, dan apabila mengandung unsur gharar akadnya menjadi fasid. Â empat sebab yang menjadikan fasid suatu akad meskipun telah memenuhi rukun dan syarat terbentuknya, yaitu, Penyerahan yang menimbulkan kerugian, Gharar,Syarat-syarat fasid, dan d. Riba.Â
Bebas dari keempat faktor ini merupakan syarat keabsahan akad. Akad yang telah memenuhi rukunnya, syarat terbentuknya, dan syarat keabsahannya dinyatakan sebagai akad sah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H