Mohon tunggu...
Adinda Fildzah
Adinda Fildzah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa Ilmu Komunikasi

Selanjutnya

Tutup

Politik

UU MD3, Melindungi Kehormatan atau Menutupi Kebobrokan?

8 Maret 2018   08:57 Diperbarui: 8 Maret 2018   09:19 562
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Para wakil rakyat yang menduduki kursi pemerintahan di Senayan, Jakarta kembali menjadi sorotan publik. Hal ini bukan dikarenakan para anggota DPR berulah kembali, seperti kedapatan asyik bermain gawai dan tidur saat rapat, 'plesir' ke luar negeri dengan dalih tugas negara, atau bahkan terjerat kasus korupsi atau Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Bukan beberapa hal itu, tetapi karena DPR memunculkan kebijakan baru dalam pengesahan revisi Undang-Undang No. 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD atau yang lebih dikenal sebagai UU MD3 yang disahkan tepat pada 12 Februari 2018.

Meskipun sudah disahkan oleh dewan rakyat yang terhormat, kebijakan baru ini justru menuai banyak kecaman dari masyarakat. Bagaimana tidak, kecaman ini pun bukan tanpa alasan, tetapi dikarenakan masyarakat merasa resah dan geram terhadap pengesahan revisi UU MD3. 

Beberapa pasal di dalam Undang-Undang tersebut, justru dinilai tidak sejalan dengan prinsip demokrasi dan prinsip Indonesia sebagai negara hukum. Kebebasan berpendapat yang sudah melekat pada identitas bangsa Indonesia sebagai bangsa yang menjunjung tinggi demokrasi pun kembali dipertanyakan dengan kemunculan revisi UU MD3. Masyarakat menjadi terbatasi dalam beraspirasi maupun bersikap kritis terhadap kinerja pemerintahan. Hal ini pun dianggap mengancam proses demokratisasi di Indonesia, bahkan telah mencederai demokrasi di Indonesia.

Ada tiga pasal yang menjadi sorotan publik karena banyaknya pihak yang merasa terusik oleh kemunculan revisi UU MD3 ini. 

Pertama, pasal 122 K yang menyatakan bahwa Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) dapat mengambil langkah hukum dan atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR. Pasal ini dinilai multitafsir dan membungkam pendapat masyarakat dalam mengkritisi kinerja para anggota dewan. 

Ruang gerak masyarakat dalam bersikap kritis dengan mengaspirasikan pendapatnya pun semakin dibatasi. Tidak hanya itu saja, pasal ini pun membatasi kebebasan pers yang seakan terpasung oleh aturan yang baru. Pers tidak lagi dapat menilai, mengkritisi dan menyampaikan informasi mengenai kondisi yang terjadi di ranah pemerintahan, khususnya DPR secara terbuka dan transparan. 

Tentunya hal ini sangat bertentangan dengan salah satu pasal di dalam Undang-Undang Dasar 1945, yaitu pasal 28 yang menyatakan bahwa setiap warga negara berhak atas kemerdekaan berserikat, berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang. Masyarakat pun sangat dirugikan karena hak mereka atas kebebasan berekspresi yang telah diperjuangkan oleh berbagai pihak di era reformasi pun seakan kembali terbatasi.

Kedua, pasal 245 yang menyatakan bahwa pemeriksaan anggota DPR harus dipertimbangkan MKD terlebih dahulu sebelum dilimpahkan ke Presiden untuk pemberian izin bagi aparat penegak hukum. Pasal ini juga dinilai banyak menuai reaksi keras dari masyarakat. Mengingat sudah berapa banyak kasus korupsi yang menjerat para anggota dewan selama beberapa tahun ini. Terlebih lagi dari beberapa survei menyatakan bahwa DPR merupakan lembaga terkorup di Indonesia. Pasal ini pun dirasa terkesan menjadi penghalang atau pelindung atas pengungkapan berbagai kasus yang menjerat para anggota dewan, sehingga menghambat proses hukum yang berlaku.

Kemudian yang ketiga, pasal 73 yang menyatakan bahwa kewenangan DPR dengan bantuan polisi untuk memanggil paksa siapa saja yang enggan datang saat dipanggil DPR. Bahkan, pihak kepolisian diperbolehkan menyandera orang-orang yang tidak mau datang ke DPR selama 30 hari. Sama halnya dengan kedua pasal sebelumnya yang menuai begitu banyak kecaman dari masyarakat, pasal ini terkesan membuat para anggota dewan cenderung memaksa dan mengatur pihak yang berwajib untuk mengikuti keinginan mereka.  Dengan demikian, para anggota dewan menjadi terpecah fokusnya dalam menjalankan tugas sesuai bidangnya sebagai pembuat, pengawas dan pengontrol undang-undang terkait kinerja pemerintah.

Jelas dalam ketiga pasal tersebut terdapat hal yang ganjil, di mana seolah DPR tidak mau untuk dikritisi. Sangat ironis bukan? Ketika mereka selalu mengelukan diri mereka sebagai wakil rakyat yang seharusnya mendengarkan dan menyalurkan aspirasi rakyat, bahkan siap menerima kritik tetapi kini mereka justru terkesan tidak mau mempedulikan suara rakyat. Terlebih lagi, aturan ini berlaku untuk semua pihak, tidak terkecuali pers. Padahal pers merupakan sarana bagi rakyat untuk beraspirasi serta mengetahui kondisi berbagai aspek di negaranya. Lalu bagaimana aspirasi rakyat dapat disalurkan apabila pers pun ikut dibungkam?

Ketua DPR, Bambang Soesatyo pun telah menanggapi hal ini dengan memberikan jaminan bahwa kebebasan pers dapat tetap berjalan sebagaimana mestinya di DPR. Selain itu, Bambang Soesatyo juga yakin bahwa pers dapat membedakan antara kritik, ujaran kebencian, dan penghinaan sehingga pers tidak akan terseret hukum dalam UU MD3. Namun tetap saja, pernyataan Ketua DPR tersebut seolah hanya ucapan manis belaka untuk melindungi kehormatan dan menutupi fakta dibalik topeng para anggota dewan.

Kritik yang mungkin tampak merendahkan dapat dikatakan sangat subjektif. Mengingat temperamen para anggota dewan selama ini, mungkin kritik biasa saja sekalipun dapat dianggap merendahkan kehormatan mereka. Dapat dilihat secara gamblang, DPR banyak melakukan hal yang bertentangan dengan keinginan rakyat dan mereka takut jika terus-menerus dikritik. Contoh sederhananya saja, anggaran DPR untuk 'plesir' ke luar negeri. Namun, pada kenyataannya tidak ada tujuan yang jelas dan hasil yang konkrit dari agenda kegiatan tersebut. 

Agenda kegiatan tersebut seakan hanya dalih tugas negara yang harus dilaksanakan oleh para anggota dewan. Padahal alokasi biaya yang dianggarkan terbilang sangat besar. Hal ini tentunya akan menuai banyak pertanyaan yang terlontar pada mereka. Apabila DPR memiliki dasar yang jelas dan konkrit untuk setiap agenda kegiatan, tentu mereka tidak perlu khawatir akan pertanyaan dan kritik yang ditujukan pada mereka. Dengan kepastian jawaban atas berbagai pertanyaan rakyat, maka akan menghilangkan spekulasi buruk atas citra mereka.

Namun saat ini DPR justru memilih langkah untuk merevisi UU MD3 yang seakan-akan sebagai upaya untuk melindungi kehormatannya, maka tidak heran apabila kualitas DPR sangat perlu dipertanyakan. Konsistensi bukti dari janji mereka seolah tak ada yang terealisasi. Dengan disahkannya revisi UU MD3 tentunya banyak spekulasi yang muncul, merujuk pada kesimpulan bahwa UU MD3 dibuat untuk kepentingan DPR semata. Bahkan Bagir Manan, Mantan Ketua Dewan Pers pun merasa bahwa UU MD3 dan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) berpotensi mengancam kebebasan pers. Bagir Manan merasa pasal-pasal dalam UU MD3 dan RKUHP tidak ada gunanya untuk melindungi kehormatan para anggota dewan.

Pernyataan Bagir Manan pun semakin memperjelas bahwa para anggota dewan merasa ketakutan apabila ada yang merendahkan kehormatan mereka. Hal ini semakin menunjukkan ketakutan para anggota dewan akan keterbukaan seperti saat ini. Lebih ironis lagi, di tahun ini tepat dua dekade setelah berakhirnya masa reformasi tetapi kebebasan rakyat untuk berpendapat justru kembali terkekang. Padahal demokrasi merupakan hal yang selalu didambakan oleh rakyat Indonesia setelah berpuluh-puluh tahun kebebasan mereka dibungkam oleh sosok pemimpin yang otoriter.

Keterbukaan akan berbagai informasi seharusnya menjadi ajang yang sangat baik bagi setiap orang untuk saling berintrospeksi. Sehingga semakin mengarahkan kita pada sebuah perubahan yang lebih baik, seperti memperkuat kita dalam meningkatkan kapasitas, kapabilitas dan ketenaran di kancah dunia dengan berbagai inovasi dan prestasi baru. 

Sayangnya, hal tersebut tidak dipandang demikian oleh para anggota dewan. Mereka justru memandang keterbukaan sebagai ancaman bagi posisi mereka, dengan beranggapan bahwa di era keterbukaan akan memberikan tempat seluas-luasnya bagi setiap orang dalam mengkritik setiap hal yang mereka lakukan. Lalu bagaimana rakyat bisa menghargai dan tidak merendahkan kehormatan para anggota dewan, apabila justru mereka sendiri yang terus-menerus menunjukkan kebobrokan mereka?

Inilah yang membuat pasal-pasal dalam revisi UU MD3 menjadi anti kritik terhadap para anggota dewan. Hal ini pun tentunya berimbas pada kebebasan pers di Indonesia. Pers yang seharusnya terlindungi dalam menjalankan tugas dan fungsinya sebagai media yang mengumpulkan dan memberitakan berbagai informasi yang patut diketahui masyarakat. 

Pers tidak boleh lagi dikekang, dipasung, dibungkam, bahkan dimatikan semata untuk melanggengkan kepentingan pribadi maupun golongan. Apabila pers masih saja diperlakukan demikian dan masyarakat tidak bisa mengetahui informasi secara transparan, lalu bagaimana masyarakat bisa percaya dengan segala kebijakan yang diputuskan oleh DPR? Bagaimana masyarakat bisa menghargai dan tidak merendahkan kehormatan para anggota dewan, apabila mereka sendiri yang justru terus-menerus menunjukkan kebobrokan mereka?

Sebagai bangsa dan negara yang menganut sistem demokrasi, di mana kebebasan berekspresi dijamin, kita rakyat Indonesia harus bersama-sama melawan berbagai pihak yang otoriter dan anti kritik. Sehingga jangan sampai keberanian dan kebebasan rakyat dalam beraspirasi justru berhenti di wakil rakyat itu sendiri.

Referensi: 

1 2 3   4  5  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun