Mohon tunggu...
Adinda Fildzah
Adinda Fildzah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa Ilmu Komunikasi

Selanjutnya

Tutup

Politik

UU MD3, Melindungi Kehormatan atau Menutupi Kebobrokan?

8 Maret 2018   08:57 Diperbarui: 8 Maret 2018   09:19 562
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kritik yang mungkin tampak merendahkan dapat dikatakan sangat subjektif. Mengingat temperamen para anggota dewan selama ini, mungkin kritik biasa saja sekalipun dapat dianggap merendahkan kehormatan mereka. Dapat dilihat secara gamblang, DPR banyak melakukan hal yang bertentangan dengan keinginan rakyat dan mereka takut jika terus-menerus dikritik. Contoh sederhananya saja, anggaran DPR untuk 'plesir' ke luar negeri. Namun, pada kenyataannya tidak ada tujuan yang jelas dan hasil yang konkrit dari agenda kegiatan tersebut. 

Agenda kegiatan tersebut seakan hanya dalih tugas negara yang harus dilaksanakan oleh para anggota dewan. Padahal alokasi biaya yang dianggarkan terbilang sangat besar. Hal ini tentunya akan menuai banyak pertanyaan yang terlontar pada mereka. Apabila DPR memiliki dasar yang jelas dan konkrit untuk setiap agenda kegiatan, tentu mereka tidak perlu khawatir akan pertanyaan dan kritik yang ditujukan pada mereka. Dengan kepastian jawaban atas berbagai pertanyaan rakyat, maka akan menghilangkan spekulasi buruk atas citra mereka.

Namun saat ini DPR justru memilih langkah untuk merevisi UU MD3 yang seakan-akan sebagai upaya untuk melindungi kehormatannya, maka tidak heran apabila kualitas DPR sangat perlu dipertanyakan. Konsistensi bukti dari janji mereka seolah tak ada yang terealisasi. Dengan disahkannya revisi UU MD3 tentunya banyak spekulasi yang muncul, merujuk pada kesimpulan bahwa UU MD3 dibuat untuk kepentingan DPR semata. Bahkan Bagir Manan, Mantan Ketua Dewan Pers pun merasa bahwa UU MD3 dan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) berpotensi mengancam kebebasan pers. Bagir Manan merasa pasal-pasal dalam UU MD3 dan RKUHP tidak ada gunanya untuk melindungi kehormatan para anggota dewan.

Pernyataan Bagir Manan pun semakin memperjelas bahwa para anggota dewan merasa ketakutan apabila ada yang merendahkan kehormatan mereka. Hal ini semakin menunjukkan ketakutan para anggota dewan akan keterbukaan seperti saat ini. Lebih ironis lagi, di tahun ini tepat dua dekade setelah berakhirnya masa reformasi tetapi kebebasan rakyat untuk berpendapat justru kembali terkekang. Padahal demokrasi merupakan hal yang selalu didambakan oleh rakyat Indonesia setelah berpuluh-puluh tahun kebebasan mereka dibungkam oleh sosok pemimpin yang otoriter.

Keterbukaan akan berbagai informasi seharusnya menjadi ajang yang sangat baik bagi setiap orang untuk saling berintrospeksi. Sehingga semakin mengarahkan kita pada sebuah perubahan yang lebih baik, seperti memperkuat kita dalam meningkatkan kapasitas, kapabilitas dan ketenaran di kancah dunia dengan berbagai inovasi dan prestasi baru. 

Sayangnya, hal tersebut tidak dipandang demikian oleh para anggota dewan. Mereka justru memandang keterbukaan sebagai ancaman bagi posisi mereka, dengan beranggapan bahwa di era keterbukaan akan memberikan tempat seluas-luasnya bagi setiap orang dalam mengkritik setiap hal yang mereka lakukan. Lalu bagaimana rakyat bisa menghargai dan tidak merendahkan kehormatan para anggota dewan, apabila justru mereka sendiri yang terus-menerus menunjukkan kebobrokan mereka?

Inilah yang membuat pasal-pasal dalam revisi UU MD3 menjadi anti kritik terhadap para anggota dewan. Hal ini pun tentunya berimbas pada kebebasan pers di Indonesia. Pers yang seharusnya terlindungi dalam menjalankan tugas dan fungsinya sebagai media yang mengumpulkan dan memberitakan berbagai informasi yang patut diketahui masyarakat. 

Pers tidak boleh lagi dikekang, dipasung, dibungkam, bahkan dimatikan semata untuk melanggengkan kepentingan pribadi maupun golongan. Apabila pers masih saja diperlakukan demikian dan masyarakat tidak bisa mengetahui informasi secara transparan, lalu bagaimana masyarakat bisa percaya dengan segala kebijakan yang diputuskan oleh DPR? Bagaimana masyarakat bisa menghargai dan tidak merendahkan kehormatan para anggota dewan, apabila mereka sendiri yang justru terus-menerus menunjukkan kebobrokan mereka?

Sebagai bangsa dan negara yang menganut sistem demokrasi, di mana kebebasan berekspresi dijamin, kita rakyat Indonesia harus bersama-sama melawan berbagai pihak yang otoriter dan anti kritik. Sehingga jangan sampai keberanian dan kebebasan rakyat dalam beraspirasi justru berhenti di wakil rakyat itu sendiri.

Referensi: 

1 2 3   4  5  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun