Mohon tunggu...
Adinda Fatma
Adinda Fatma Mohon Tunggu... Lainnya - Penulis pemula

Towaine mandar, panggil saja Pa'ma. Suka organisasi, musik dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengenal Pembentukan Karakter Orang Mandar

28 Agustus 2020   23:52 Diperbarui: 28 Agustus 2020   23:55 1454
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Malabqbiq Pau, Anna' Malaqbiq Kedzo.

Suku mandar, si pelaut ulung. Suku asli dari Sulawesi Barat ini mayoritas bermukim di pesisir. berbagai budaya kearifan lokal menjadi kekayaan tersendiri bagi masyarakat Mandar. Salah satunya adalah Pimali.

Tak hanya Mandar, ternyata beberapa suku menggunakan sistem Pimali dalam pengontrol perkataan dan tingkah laku. Seperti Suku Bugis yang menyebutnya pemmali, Suku pattae menyebutnya pimali, dan suku jawa menyebutnya orak ilo.  

Terkhusus dalam masyarakat Mandar, Pimali adalah larangan terhadap sesuatu hal yang meliputi perkataan dan tingkah laku, apabila dilanggar maka terdapat konsekuensi. Namun konsekuensi bersifat abstrak, artinya bisa iya dan tidak benar terjadi, tergantung bagaimana mereka menanggapinya.

Biasanya pimali digunakan sebagai media  lisan dalam pembentukan karakter yang terbukti efektif. Misalnya, "pimali mappekkori paqdisang, sawaq na bundangani tarak artinya pemali duduk di atas bantal, sebab akan bisulan, paqdisang artinya bantal, dimana dalam masyarakat mandar, bantal digunakan sebagai alas kepala ketika berbaring, maka tidak sopan jika diduduki, sehingga dalam kasus ini, anak diajarkan untuk bisa menempatkan sesuatu pada tempatnya. Konsekuensi bisul dipilih karena dianggap efektif dan makna bisul sudah mampu dicerna oleh anak-anak.

Kasus lain, seperti pimali makan berdiri, sebab akan dimakan buaya, secara logika, apa hubungan antara makan berdiri dan buaya? Tidak ada bukan? Tapi makan berdiri merupakan perbuatan yang tidak sopan sehingga konsekuensi buaya dipilih karena tidak ada manusia yang ingin dimakan oleh buaya.

Namun ketika menanyakan secara langsung kepada orangtua kenapa konsekuensinya demikian? Mereka menjawab itu telah menjadi ketentuannyakarena telah dipercaya secara turun-temurun.

Zaman mengaji dulu, sebelum berangkat menuju lokasi mengaji, saya harus mengisi dua jerigen air terlebih dahulu dan memberikannya ke guru mengaji. Pada saat itu saya sempat mengeluh dan bertanya kepada orang tua,

"Bu, kenapa saya harus membawa air ini? Apalagi jarak rumah guru mengaji itu cukup jauh"

"pimali kalau tidak memberikan air ke guru mengaji, karena nanti kamu susah belajarnya" 

penjelasan ibuku singkat. Namun secara logika, saat itu guru mengaji saya sulit mendapat air bersih, karena lokasi tidak srategis, sehingga melalui tradisi pimali saya diajarkan untuk membantu beliau.

Sayangnya seiring perkembangan zaman dan meningkatnya teknologi membuat eksistensi dari pimali terus memudar, bahkan hanya dianggap sebatas lelucon. Hal ini terjadi karena konsekuensi dari Pimali telah mampu dijelaskan dan artikan dengan pengetahuan.

Padahal sebagai anak bangsa yang melek akan pengetahuan moderen, tidak seharusnya memandang budaya Pimali hanya sebagai alat orangtua untuk mengontrol perbuatan kita. budaya ini merupakan warisan dari para leluhur yang seharusnya kita lestarikan dengan melihat kemanfaatannya yang besar dalam pembentukan karakter generasi bangsa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun