Mohon tunggu...
Dindaadlmnt
Dindaadlmnt Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi Universitas Sumatera Utara

Tidak pernah terpikir bisa berada di bidang ini, tapi yang pasti aku sangat menyukai dan menikmati setiap goresan kata yang dibalut rapi dengan beragam diksi tentunya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Meja Nomor 4

5 Januari 2025   22:39 Diperbarui: 5 Januari 2025   22:39 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jawaban ayah membuatku memanyunkan bibir. "Ih terus kenapa?" tanyaku sedikit kesa kepada ayah..

"Karena meja ini melambangkan jumlah kita dong. Ada Ayah, Bunda, Abang dan juga Nisa. Kita akan selalu berempat sampai kapanpun. Sama seperti nomor meja ini," kata ayah sembari mengacak-acak rambutku.

"Sampai kapanpun, sungguh?"

"Iya, Putri Ayah. Sampai kapanpun." Ayah mengulangi perkataannya sekali lagi.

Senyumku langsung terukir ketika tersadar dari ingatan itu. Air mataku juga sudah membanjiri pipiku. Rasa sesak yang terasa di dada membuat nafasku sedikit tidak normal. Hal itu terjadi ketika aku kembalimenyadari posisi duduk kami yang terlihat masih sama seperti ketika ada ayah. Hanya kursi yang biasanya di tempati oleh ayah yang terlihat kosong.

"Nis, hei kamu kenapa nangis?" tanya abang yang langsung berdiri memposisikan diri ke sebelahku.

Bunda langsung menghamburkan pelukannya ketika melihat aku yang sudah menangis tersedu-sedu. "Sayang, kamu kenapa?"

"Tempat ini masih sama, Bunda. Tetapi, kursi ayah kosong gak terisi. Bunda, Nisa kangen Ayah." Ungkapanku berhasil membuat bunda dan abang terkejut. Untung saat ini suasana di tempat ini hanya ada kami.

"Bohong kalau selama ini Nisa uda ikhlas, Bunda. Ayah bilang, kita akan selalu berempat seperti nomor meja ini. Kenapa Ayah malah meninggalkan kita jadi bertiga, Bunda?" kataku yang masih terisak-isak.

Bunda yang sudah ikutan menangis pun menghapus air mata yang jatuh di kedua pipiku. "Sayang, Bunda tahu kamu merindukan ayahmu. Tidak hanya kamu, bahkan Abang dan juga Bunda ikut merasakan hal yang sama sepertimu. Kamu menyadari perubahan ekspresi Bunda tadi kan? Rasa sesak juga menyelimuti hati Bunda ketika datang ke tempat ini. Bunda kira dengan kedatangan kita ke sini, kita akan bisa mengobati rindu kita kepada Ayah. Tapi ternyata, malah semakin menyesakkan dada ya? Maafin Bunda ya," kata bunda yang membuat suasana semakin menyedihkan. Timbul perasaan bersalah dari hatiku saat mendengar perkataan bunda.

"Bunda, maafin Nisa yang gak bisa kontrol perasaan Nisa ini ya. Niat Bunda gak salah uda ngajak kami ke tempat ini. Nisa aja yang terbawa suasana dan terfikirkan masa lalu. Maaf, Bunda. Karena Nisa, Bunda jadi ikutan sedih deh. Maaf, Bunda." Aku semakin mempererat pelukanku dengan bunda. Begitu pula juga abang yang ikut memelukku dari belakang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun