"Bunda, kok ke tempat ini? Kan mahal," ucap abang yang terlihat sedikit khawatir.
"Ih kamu ini. Kan uda Bunda jelasin tadi malam dapat bonus. Insyaa Allah cukup untuk kita makan di sini. Sekali-kali gak masalah kok," sahut bunda meyakinkan kami. Aku dan abang pun mengangguk paham
"Bunda, kita di sini ya," ajakku sembari menunjuk sebuah meja yang berada di dekat jendela.
"Tapi ini belum ada nomor nya, Sayang. Kita cari meja yang ada nomornya ya," kata bunda sembari melihat-lihat meja lain.
Aku terdiam sejenak. Ada rasa kecewa terlintas di hatiku. Rasanya, aku hanya ingin duduk di tempat itu. Di tengah kebungkaman kami, seorang pelayan datang dengan membawa papan berisikan nomor meja.
"Permisi Ibu, mau duduk di sini ya? Silahkan, Ibu. Ini nomor mejanya ya." Pelayan tersebut meletakkan papan berisi nomor meja itu di atas meja yang tadi aku inginkan.
Dengan senyum kemenangan, aku langsung menduduki diri di kursi dekat jendela diikuti dengan bunda yang duduk di sebelah abang. Senyuman kecut terukir dari bibir bunda yang menimbulkan rasa penasaran.
"Bunda kenapa?" tanyaku polos. Bunda hanya menggelengkan kepalanya sebagai jawaban.
Tidak sengaja, mataku melihat kearah nomor meja yang diletakkan di depanku. Nomor 4, itulah yang tertera di sana. Bagi orang lain, mungkin itu adalah angka biasa. Namun, bagiku tidak. Nomor meja itu berhasil memutar ingatan di kepalaku.
"Ayah, kenapa kita selalu di meja nomor 4 ini? Kenapa gak di nomor 1, 2, 3, atau nomor lainnya? Ayah suka nomor 4 ya?" tanyaku yang usianya saat itu masih 7 tahun.
"Enggak tuh, Ayah gak suka nomor 4."