Mohon tunggu...
Dindaadlmnt
Dindaadlmnt Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi Universitas Sumatera Utara

Tidak pernah terpikir bisa berada di bidang ini, tapi yang pasti aku sangat menyukai dan menikmati setiap goresan kata yang dibalut rapi dengan beragam diksi tentunya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Melangkah di Bawah Ridho Orang Tua

5 Februari 2024   22:50 Diperbarui: 9 Februari 2024   10:48 145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari ini, genap dua bulan seorang gadis berusia 18 tahun yang bernama Dwi menjadi seorang guru di salah satu sekolah TK di desanya. Selama dua bulan ini, pahit dan manisnya momen di setiap harinya saat menjadi guru sudah cukup ia rasakan. Karakter disiplin, bertanggung jawab, dan bijaksananya seorang guru pun mulai tampak timbul di dalam dirinya.

“Baiklah, cukup sampai sini pelajaran kita ya.  Waktunya kita pulang dan hati-hati di jalan semuanya,” kata Dwi mengakhiri kegiatan belajar mengajarnya.

“Baik, Umi.”

Anak-anak itu langsung berlari keluar kelas ketika bel pulang sekolah telah berbunyi. Langkah mereka diikuti oleh Dwi yang juga berjalan keluar kelas. Baru beberapa langkah terbentuk, Dwi  dihadang oleh seorang guru senior yang cukup ditakuti di sekolah itu.

“Dwi, saya lihat pelajaran yang kamu kasih ke anak-anak tidak kunjung berubah ya. Kenapa masih itu-itu saja yang dipelajari?” tanya guru senior yang kerap disapa Bu Ije.

“Muridnya hanya sedikit, Bu. Kata Bu Rina jika murid sedikit, cukup berikan saja latihan. Jadi, saya mengikuti arahan dari Bu Rina, Bu,” sahut Dwi.

“Hei Dwi, mana bisa kaya begitu. Memang dasar kamu saja yang pemalas. Saya liat guru lain tidak begitu kok. Contohnya si Lia. Dia sama mudanya kaya kamu, tapi gak sepemalas kamu loh.”

Dwi hanya  terdiam menunduk sembari mengontrol kesedihannya. Ini memang bukan kali pertama ia mendapat perlakuan seperti itu dari Bu Ije. Bahkan, dibanding-bandingkan dengan guru lain yang sebaya dengannya adalah makanan sehari-harinya ketika berada di sekolah. Walaupun begitu, Dwi selalu saja mengalah dan tidak pernah berkata kasar kepada Bu Ije.

“Maaf, Bu. Kepala sekolah tidak dapat hadir untuk rapat. Apakah rapat kita akan tetap dilaksanakan, Bu?” Perkataan guru lain yang tiba-tiba datang memecahkan ketegangan di antara mereka.

Bu Ije tersenyum ramah, “Iya tentu. Kumpulkan semua guru ya, Lia. Terima kasih.” 

Dwi melihat perbedaan sikap Bu Ije kepada Lia. Rasanya cukup menyesakkan dada dan membuat air matanya hampir menetes. Namun sebelum itu terjadi, ia segera melangkah pergi meninggalkan Bu Ije dan langsung mengarah ke kantor. 

Ketika semua guru sudah berkumpul, rapat pun dimulai. Beragam masalah yang berhubungan dengan sekolah sudah terbahas oleh guru-guru di sana. Termasuk soal Dwi. Entah kenapa, namanya juga menjadi topik hangat pada rapat kali ini.

“Ibu sebenarnya gak suka ya liat Dwi. Selaku guru yang belum lama di sini seharusnya lebih banyak belajar dari guru lain.” Semua guru menatap dengan tatapan heran karena Bu Ije yang tiba-tiba membahas soal Dwi.

“Pertama, soal uang tabungan. Guru di sini sudah mengetahui bahwa setiap kali anak-anak menyetor, harus segera lapor ke saya. Tetapi si Dwi malah pandai-pandaian tidak melapor di hari itu juga.”

Dwi terdiam membisu diikuti dengan bola matanya yang membesar karena terkejut mendengar perkataan Bu Ije. “Maaf Bu, izin meluruskan. Saya berniat melapor langsung ke rumah Ibu karena kemarin saya lihat Ibu sudh pulang terlebih dahulu. Tetapi saat di rumah Ibu, kebetulan Ibu juga tidak ada di rumah saat itu. Jadi, uangnya baru bisa saya beri hari ini di sekolah,” jelas Dwi dengan nada yang lembut.

Brakkk...

Suara gebrakan meja yang dibuat oleh Bu Ije terdengar menggelegar di ruangan itu. Bu Ije terlihat marah sembari melemparkan tatapan tajam ke arah Dwi. “Kamu memang tidak sopan. Seharusnya tidak boleh memotong pembicaraan orang yang lebih tua dari kamu.”

“Ta-tapi, sa-saya hanya ingin meluruskan saja, Bu,” kata Dwi terbata-bata karena takut.

“Kamu ini jawab saja. Dimana attitude kamu? Percuma ya kamu cantik, tetapi attitude kamu beneran nol. Saya heran kenapa banyak orang yang suka sama kamu. Kalian bisa lihat sendiri kan Dwi yang sebenarnya itu adalah gadis yang minim attitude.”

Mata Dwi memerah, semua pandangan kini tertuju padanya. Beberapa mata ada yang memandang iba dan sebagian lainnya juga memandang dengan sinis sama seperti Bu Ije.

“Dengar ya, berpenampilan menarik gak menjamin kita terus disukai masyarakat. Selain wajah yang dirawat, hati juga ya Dwi biar seimbang. Cantik saja percuma Dwi,” cibir Bu Ije.

Cukup, kali ini Dwi terlihat kehilangan kesabarannya kepada Bu Ije. Bu Ije benar-benar sudah keterlaluan. Bu Ije sudah sangat mempermalukannya di depan umum untuk kesekian kalinya. Dengan mata yang sudah memanas, Dwi berdiri. Hal itu membuat semua orang melihat ke arahnya.

“Bu, maaf. Tanpa menghilangi rasa hormat saya ke Ibu, saya izin mengundurkan diri dari sekolah ini. Sudah cukup saya menormalisasikan semua kata-kata Ibu semenjak bekerja di sini.”

Dwi menjeda perkataannya, ia mengambil napas sebelum melanjutkan perkataannya lagi. “Bu, sejauh ini saya juga sudah berusaha keras menjadi guru yang baik di mata Ibu, tetapi memang selalu saja dipersalahkan. Apapun yang saya lakukan selalu Ibu kritik. Saya yakin, semua guru di sini juga melihat itu.”

“Bu, Sudah cukup saya mengalah mendengar semua hinaan Ibu tentang saya. Sekali lagi saya mohon maaf dan juga saya berterima kasih kepada guru-guru yang sudah membantu saya selama di sini. Saya pamit Bu, assalamu’alaikum.”

Dwi pergi meninggalkan ruang rapat itu dengan air matanya yang sudah membanjiri pipinya. Keputusannya kali ini dirasa memang sudah tepat, mengingat semua perlakuan Bu Ije kepadanya. Dengan segera, ia pun pergi meninggalkan sekolah itu.

Untuk melupakan sejenak kesedihannya, Dwi memutuskan untuk memberhentikan motornya di sebuah warung es cendol di pinggir jalan.

“Ya Allah, kenapa seberat ini? Apa dunia kerja memang sekejam ini ya? Kenapa Engkau percayakan aku untuk terjun ke lingkungan seperti itu ya Allah,” keluh Dwi yang hampir mengeluarkan air matanya lagi.

Di tengah keluhannya, Matanya tidak sengaja memandang ke arah dua orang wanita di sebrang jalan yang menggunakan almamater kampus yang pernah ia impikan. Hal itu semakin menambah kesedihannya.

“Kalau aja aku seberuntung mereka, aku pasti juga kuliah sekarang. Aku juga gak akan ngalami hal-hal yang seperti ini.”

Sepintas, ingatan tentang perdebatannya dengan sang ibu sekitar 6 bulan yang lalu soal kuliah terputar kembali di benaknya.

“Ibu...Ibu,” Dwi berteriak. “Ibu, aku lulus di universitas yang menjadi impianku, Ibu,” sambungnya lagi.

Ibu yang sedari tadi sibuk memasak di dapur pun langsung berlari mengampiri Dwi di kamarnya, “Ada apa sih Nak teriak-teriak?”

“Aku berhasil lulus ke universitas impianku, Bu. Aku seneng banget.” Senyum Dwi terlihat begitu merekah.

“Kamu hebat, Nak.” Sang ibu tersenyum. “Terima kasih, Ibu,” Kata Dwi yang langsung memeluk Ibunya.

Ibunya pun membalas pelukan Dwi, senyuman yang sempat timbul di wajah ibu Dwi tadi terlihat sirna sekarang. “Tapi, sepertinya kamu harus melupakan impianmu itu, Nak.”

Mendengar itu, ia merasakan seperti ada yang memukul dadanya. Begitu sesak. “Kenapa, Bu?” tanyanya dengan mata yang sudah berkaca-kaca.

“Nak, tanpa kuliah kamu juga bisa sukses kok,” kata Ibu. “Tapi Bu, ini aku uda lolos loh,” sahutku yang sudah menangis.

Ibu menghapus air mata Dwi sembari berkata,“Ibu yakin, kamu pasti bisa sukses tanpa kuliah. Jalan sukses bukan dijemput lewat kuliah aja kok.”

“Ibu kenapa sih, kenapa ga dukung keinginanku? Ibu gamau lihat aku sukses? Kenapa Ibu gak bolehin aku ngejar cita-citaku?” 

“Ibu bakal dukung kamu kalau Ibu dan Ayah punya uang banyak, Nak.  Kuliah itu biayanya banyak, Ibu dan Ayah gak mampu. Kamu tahu kerja Ayah hanya seorang kuli bangunan yang tidak setiap hari bekerja, sementara Ibu hanya tukang jahit. Ibu tahu kalo rezeki sudah d atur allah, tapi setiap rezeki juga banyak tantangannya kan? Ibu takut di tengh jalan nanti permasalahannya. Umur Ibu dan Ayah juga bukan lagi muda. Kamu paham maksud Ibu kan?” jelas ibu Dwi panjang lebar dengan ekspresi sedihnya.

“Nak, orang tua mana yang gak pengen anaknya sukses. Ibu yakin kamu bakal sukses nak. Doa Ibu pasti bakal dikabulkan sama Allah,” sambung ibunya lagi

Dwi menyadarkan diri dari ingatan itu. Semakin diingat, semakin terasa menyakitkan untuknya. Ia memang sedih ketika impiannya harus terkubur. Tetapi sekarang, ia lebih bisa menerima dan sudah memutuskan akan mengikuti alur yang diberikan sama Allah. Karena mungkin itulah yang terbaik

Kini, Dwi telah berada di rumah. Ia langsung disambut dengan berdirinya sang ibu di depan pintu.

“Loh kok jam segini sudah pulang?” Aku hanya diam. Ibu mengelus lembut rambutku, “Kenapa? Ada masalah di sekolah?”

“Aku berhenti kerja, Bu. Aku beneran sudah gak tahan sama sikap Bu Ije dalam memperlakukanku. Setiap hari hanya omelan yang aku dapatkan. Setiap pergerakanku selalu salah di matanya.”

“Nak, begitulah dunia kerja. Mungkin maksud Bu Ije biar mendidik kamu jadi guru yang berkualitas.”

“Apa begitu cara mendidik yang baik, Bu? Bagaimana cara aku agar bisa membedakan bahwa itu perilaku mendidik atau menjelekkan, Bu? Sedangkan aku selalu melihat gambaran Ibu yang mendidikku tanpa mengeluarkan satu kata pun untuk menghina apa yang ada di diriku?” Dwi menangis lagi. hal itu membuat ibunya langsung mendekap erat tubuh Dwi..

Ibunya juga tampak terdiam membeku. Perkataan Dwi memang ada benarnya. “Yauda kamu boleh berhenti. Tapi jangan jadikan ini alasan untuk kamu menutup diri pada lingkungan ya. Kamu harus tetap berani menghadapi dunia. Ada Ibu dan Ayah yang akan selalu ada di samping kamu.”

Di tengah percakapan antara Dwi dan sang ibu, seorang wanita paruh baya memberhentikan motornya di halaman rumah Dwi.

Assalamu'alaikum Ibu, Dwi. Wah, saya mengganggu waktu anak sama ibunya kayaknya nih.”

Wa’alaikum salam, engga kok Bu. Bu Risa ada apa nih?” tanya ibunya Dwi.

“Ini Bu, mau menawarkan pekerjaan kepada si Dwi. Apa Dwi lagi bekerja di suatu tempat?” tanya Bu Risa kepadaku.

“Engga Bu,” sahut Dwi seadanya. “Wah kebetulan. Jadi bisa dong Dwi?” kata Bu Risa yang tampak semangat.

Ibu menatap ke arah Dwi. Tatapan mereka bertemu. Sorot mata ibunya seakan memancarkan cahaya semangat kepada Dwi.

“Pekerjaan apa ya, Bu?”

“Ibu membutuhkan guru untuk mengajar di sekolah SD dan sekalian menjadi guru les untuk kedua anak Ibu. Apa Dwi bersedia?”

Dwi masih terdiam memikirkan, “Sebagai benefit, sekolah Ibu juga memiliki program untuk meningkatkan kualitas guru pengajar dengan membuka kesempatan untuk berkuliah di universitas swasta di kota dengan biaya full dari pemerintah loh. Barangkali Dwi tertarik,” jelas Bu Risa.

“Kuliah gratis, Bu?” tanya Ibunya Dwi.

“Iya benar. Universitas ini memang mencari orang yang memiliki minat belajar yang tinggi.”

Senyum Dwi terukir indah di wajahnya. Harapan untung menggapai impiannya seakan menunjukkan jalannya. Tatapan Dwi langsung beralih ke ibunya. Sang ibu juga terlihat senang mendengar hal itu. Ibu Dwi langsung melayangkan senyum diikuti gerakan menganggukan kepalanya. “Silahkan kejar impianmu, Nak.”

“Terima kasih, Ibu,” seru Dwi sembari melayangkan pelukan ke ibunya itu.

“Bu, Dwi mau Bu. Dwi akan menerima tawaran pekerjaan dari Ibu. Dwi juga sangat sangat minat untuk berkuliah.”

“Baiklah, mulai senin kamu mengajar ya. Untuk urusan kuliahnya, nanti kita selesain setelah itu.”

“Wah, terima kasih Bu.”

“Iya sama sama.”

Senyum Dwi seakan ingin melekat selalu di wajahnya, tidak ingin pudar. Hari ini, Dwi melihat cahaya masa depan yang begitu indah. Perasaan sedih yang sebelumnya menyelimutinya, seakan sirna begitu saja. Akhirnya dengan berbagai cara, Allah menunjukkan kuasanya agar Dwi bisa menggapai mimpinya. Izin dari kedua orang tuanya juga sudah diterimanya. Dwi yakin, bersaamaan dengan ridho mereka, segala hal akan bisa Dwi lewati kedepannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun