Menurut data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), sepanjang 2023 ada sekitar 19,56 juta ton sampah yang dihasilkan Indonesia. Itu pun ada sekitar kurang lebih 96 Kabupaten/Kota yang tercatatat pengeluaran sampahnya, jadi perhitungan di atas belum bisa menjadi hitungan pengeluaran sampah skala nasional.
Sebanyak 96 Kabupaten/Kota yang belum terhitung, sampah di Indonesia sudah mencapai sekitar 19,56 juta ton. Itu pun hanya sepanjang 2023, lalu bagaimana jika ditambahkan dengan akumulasi jumlah sampah di sepanjang tahun 2024 ini? Lalu bagaimana dengan 5 tahun lagi, 10 tahun lagi, 15 tahun lagi bahkan 20 tahun lagi jika persoalan sampah ini setiap harinya semakin bertambah banyak?
Permasalahan sampah ini juga menjadi satu hal yang sangat genting di Yogyakarta. Daerah yang dipuja-puja sebagai daerah yang istimewa ini bahkan memiliki angka sampah yang kebih tingga dibandingkan daerah daerah yang lain. Â
Mahqamam Mahmuda saat mengisi seminar Party of PR di UIN Sunan Kalijaga mengatakan nyatanya sampah itu hanya ditumpuk bukan diproses.Â
Meski beberapa orang sudah memilah sampah antara organik dan anorganik ketika dibawa ke pembuangan akhir semua sampah akan dicampur lagi. Itulah yang terjadi di TPA Piyungan yang sudah ditutup beberapa tahun yang lalu.
Tutupnya TPA Piyungan juga membuat bingung warga sekitar harus membuang sampah dimana lagi, hingga menyebabkan banyaknya orang yang membuang sampah sembarangan, bahkan menimbun sampah di suatu tempat umum sehingga menyebabkan bau tak sedap dan pandangan tak nyaman.
Sampah-sampah tersebut tak hanya terdapat di darat saja melainkan banyak bahkan dominan sampah yang berakhir di laut, sampah yang mendominasi adalah samph plastik, dimana plastik tersebut tidak bisa terurai. Sempat ditemukan fenomena dimana sampah plastik yang dibuang di tahun 2014 ditemukan di tepi lut dengan keadaan belum terurai.Â
Sampah sampah tersebut selain dapat mencemari air laut juga membahayakan ekosistem yang hidup di laut seperti ikan. Bahkan sempat ditemukan seekor penyu yang di dalam perutnya terdapat plastik karena habitatnya sudah tercemar oleh sampah.
Rizki Abiyoga dalam seminar POP di UIN Sunan Kalijaga mengatakan untuk mengurangi angka bertambahnya sampah, penting sekali diterapkan sistem Zero Waste yaitu dengan beralih dari memakai plastik sekali pakai ke menggunakan tumbler atau wadah yang bukan sekali pakai. Zero waste ini dapat diterapkan dengan mengubah gaya hidup, mempunyai kesadaran akan dampak yang berbahaya jika sampah semakin banyak, pengendalian diri untuk tidak konsumtif, dan bertanggungjawab atas apa yang telah dikonsumsi.
Dampak dari sampah ini bahkan bisa sampai ke lintas generasi, begitu kata Riski Damastuti ketika mengisi di seminar POP. Maka banyak terpasang Poster poster yang bertuliskan "Sampah bukan warisan anak cucu kita". kata-kata tersebut ternyata harus diresapi dengan hati dan diterapkan secara nyata dengan perbuatan. Masih banyak orang-orang yang hanya membaca kalimat tersebut sebelah mata tanpa adanya kesadaran setelahnya, yang membuat masalah sampah ini belum sempat terselesaikan.
Ricky Riadi Iskandar mengungkapkan gagasannya, bahwa untuk mengatasi sampah diperkukan adanya komunikasi konvergensi, yaitu komunikasi untuk mencari kesepahaman bersama.Â
Ricky bahkan mengatakan komunikasi konvergensi ditambahkan pendekatan pentahelix merupakan sebuah kunci dalam mencapai kepahaman bersama untuk menanggulangi persoalan sampah ini. Sampah merupakan isu bersama, bukan satu atau dua orang saja, maka diperlukan juga kampanye komunikasi lingkungan yang lebih luas dan lebih efektif.
Penerapan sistem zero waste yang memungkinkan dilakukan oleh setiap orang ini sayangnya belum disadari oleh semua orang. Menerapkan sistem ini harus mengubah mindset terlebih dahulu, mulai dari diri sendiri lalu orang-orang sekitar, hingga masyarakat luas. Dengan menerapkan sistem Zero waste setidaknya isu sampah ini bisa terselesaikan meskipun secara perlahan-lahan.
Bisa dengan membiasakan dari hal hal kecil terlebih dahulu, seperti memilah sampah antara organik dan anorganik, membeli air minum dengan membawa tumbler sendiri, membeli makanan dengan membawa wadah sendiri, mengganti tas plastik atau kresek dengan tas kain yang bisa digunakan berkali-kali. Dengan memperkuat kesadaran akan dampak buruk sampah dan mengadopsi praktik Zero Waste secara kolektif dapat bergerak menuju solusi yang lebih berkelanjutan untuk mengelola dan mengurangi jumlah sampah yang kita hasilkan setiap hari.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H