Di era digital, fenomena produk berlabel spiritual semakin menjamur di tengah masyarakat. Salah satu contoh menarik adalah "garam ruqyah." Produk ini dijual dengan klaim telah melalui proses doa tertentu sehingga memiliki manfaat lebih dibandingkan garam biasa. Harga yang ditawarkan pun jauh melampaui harga garam biasa---dari Rp3.000 hingga Rp6.000 per kilogram menjadi Rp150.000 hingga Rp200.000 per kilogram.
Pertanyaannya, mengapa masih banyak masyarakat yang percaya pada produk seperti ini, meski klaimnya sulit diverifikasi?
Kepercayaan Tradisional dan Pemasaran Modern
Kepercayaan pada kekuatan spiritual dalam barang sehari-hari bukanlah hal baru. Sejak dulu, tradisi masyarakat Indonesia sangat erat dengan ritual dan doa. Namun, yang menarik dari fenomena garam ruqyah adalah bagaimana unsur tradisi ini dikemas ulang dengan pendekatan modern untuk menarik konsumen.
Penjual garam ruqyah sering kali menggunakan narasi yang menyentuh sisi spiritual pembeli. Mereka menjelaskan bahwa garam ini telah didoakan oleh tokoh agama atau melalui ritual tertentu sehingga tidak perlu lagi didoakan sebelum digunakan. Hal ini dianggap memberi "kemudahan" bagi pembeli, terutama yang sibuk namun ingin tetap menjaga nilai spiritual dalam hidup mereka.
Psikologi Konsumen: Mengapa Produk Ini Diminati?
Ada beberapa alasan mengapa masyarakat percaya dan bersedia membayar mahal untuk produk seperti garam ruqyah:
1. Efek Placebo
 Produk dengan klaim spiritual seringkali memberikan efek psikologis positif bagi konsumen. Mereka merasa lebih tenang dan yakin bahwa produk ini akan membawa manfaat lebih, meski secara ilmiah tidak ada bukti yang mendukung klaim tersebut.
2. Rasa Aman
 Kepercayaan terhadap doa atau ritual tertentu memberikan rasa aman kepada konsumen. Mereka merasa telah melakukan sesuatu yang benar secara spiritual dengan membeli produk tersebut.
3. Pegaruh Sosial
 Narasi yang kuat dan testimoni dari orang lain sering kali membuat konsumen terpengaruh. Misalnya, jika seorang tokoh agama atau figur publik mendukung produk ini, masyarakat cenderung lebih percaya dan tertarik membelinya.
Komodifikasi Agama atau Inovasi Bisnis?
Fenomena ini memunculkan perdebatan: apakah garam ruqyah merupakan bentuk inovasi bisnis yang sah atau justru komodifikasi agama?
Di satu sisi, penjual memanfaatkan kebutuhan spiritual masyarakat untuk menciptakan produk yang menarik. Namun, di sisi lain, hal ini bisa dianggap mengeksploitasi kepercayaan agama demi keuntungan finansial.
Pemerintah dan masyarakat perlu lebih kritis dalam menghadapi fenomena seperti ini. Transparansi dalam pemasaran, serta edukasi mengenai pentingnya membedakan kebutuhan spiritual dengan strategi pemasaran, sangat diperlukan.
Kesimpulan
Fenomena garam ruqyah mencerminkan kompleksitas hubungan antara tradisi, spiritualitas, dan bisnis di era modern. Masyarakat perlu bijak dalam menyikapi produk semacam ini dengan mempertimbangkan rasionalitas dan bukti ilmiah, tanpa mengesampingkan kepercayaan pribadi.
Melalui diskusi yang sehat dan edukasi yang baik, kita dapat membangun masyarakat yang lebih kritis terhadap produk-produk berlabel spiritual, sekaligus menghargai nilai-nilai tradisi yang menjadi bagian dari identitas kita.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H