Pada larik pertama penyair memberi pesan bahwa dalam kehidupan ini jika kita ingin menjadi bintang ataupun seseorang yang sukses maka jangan mudah menyerah dan usaha yang kita lakukan nantinya akan berbuah manis. Pada larik kedua terselip semangat untuk seseorang agar selalu gigih dalam melakukan sesuatu supaya kedepannya bisa menjadi seseorang yang dihargai oleh sekitar. Pada larik ketiga digambarkan seseorang yang terlalu banyak bicara seringkali tak berilmu. Pada lirik terakhir penyair mencoba menggambarkan ketakutan manusia terhadap hantu atau makhluk gaib cenderung lebih besar daripada ketakutannya terhadap Sang Pencipta.
Penyair juga mencoba memberi penggambaran perasaan seseorang dalam larik berikutÂ
"...bahwa pemurung tidak pernah merasa gembira,
sedangkan pemulung tidak pernah merasa gembira;
bahwa lidah memang pandai berdalih;
bahwa cinta membuat dera berangsur reda;
bahwa manusia belajar cinta dari monyet;
bahwa orang putus asa suka memanggil asu;
bahwa amin yang terbuat dari iman menjadikan kau merasa aman..."
Pada larik pertama dan kedua terdapat subjek yang berbeda yaitu pemurung dan pemulung tetapi keduanya penyair gambarkan memiliki perasaan yang cenderung gundah dan tak pernah bahagia. Pada larik ketiga ada permainan diksi antara lidah dan dalih tersirat juga makna yang coba penyair sampaikan pada larik tersebut yang jika kita pahami memang benar bahwa segala percakapan selalu dimulai dari lidah entah itu saat membuat penyataan atau bahkan melakukan perdebatan. Pada larik selanjutnya dera didefinisikan sebagai hukuman atau kemarahan dan hal itu akan mereda saat ada kasih atau cinta didalamnya. Pada larik kelima disebutkan sejarah adanya cinta itu berawal dari monyet. Pada larik keenam ada penggambaran mengenai keputusasaan seseorang yang seringkali membuat orang yang mengalaminya berucap kasar. Pada lirik terakhir terselip refleksi tentang keimanan seseorang yang diyakini selalu membuat aman manusia dalam menjalani kehidupan.
Pada bait terakhir puisi ini ada penggambaran yang ditekankan yaitu mengenai kalimat majemuk. Adapun permainan kata dalam setiap larik yang masing-masing memiliki makna tersendiri. Akhirnya tidak ada kehilangan dalam puisi ini, selalu ada jalan lain selain meninggalkan, selalu ada kata kembali asal tahu jalan pulang.Â