Mohon tunggu...
adindaamaliaputri
adindaamaliaputri Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Apa yang kamu tanam, itu yang akan kamu tuai

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Suap di Balik Palu Sidang Ronald Tannur: Tinjauan Etika dan Hukum Pidana

30 November 2024   00:00 Diperbarui: 30 November 2024   00:00 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kasus penganiayaan yang menewaskan Dini Sera Afrianti yang dilakukan oleh Gregorius Ronald Tannur menjadi sorotan publik, terutama setelah penangkapan terhadapnya oleh Tim Intelijen Kejaksaan Tinggi Jawa Timur pada 27 Oktober 2024. Ronald Tannur, yang sebelumnya divonis bersalah dalam kasus penganiayaan berat yang menyebabkan kematian, ditangkap kembali setelah vonis bebas yang sempat diterimanya. Penangkapan ini mengungkap adanya dugaan suap yang melibatkan sejumlah hakim dan pengacara, serta memunculkan sejumlah pertanyaan etika profesi dan hukum pidana terkait proses peradilan di Indonesia.

Gregorius Ronald Tannur, yang berusia 27 tahun, sebelumnya dijatuhi hukuman dalam kasus penganiayaan yang mengakibatkan kematian Dini Sera Afrianti. Tindakannya yang kasar menyebabkan kekasihnya itu tewas akibat penganiayaan berat, sebagaimana diatur dalam Pasal 351 ayat (3) KUHP. Namun, pada proses peradilan yang berlangsung, vonis bebas yang diterimanya mengejutkan banyak pihak. Penangkapan Ronald pada 27 Oktober 2024 oleh Tim Intelijen Kejaksaan Tinggi Jawa Timur bersama tim jaksa eksekutor dari Kejaksaan Negeri Surabaya menandai babak baru dalam kasus ini.

Ronald Tannur ditangkap di kawasan Pakuwon City Virginia Regency, Surabaya, sekitar pukul 14.40 WIB. Penangkapan tersebut menandakan adanya perkembangan besar dalam penegakan hukum kasus ini, yang kini dipertanyakan seiring dengan dugaan suap yang melibatkan para hakim yang menangani perkara Ronald.

Dugaan Suap dan Tindak Lanjut Kejaksaan

Kasus ini semakin mencuat setelah Kejaksaan Agung menangkap tiga hakim Pengadilan Negeri Surabaya yang terlibat dalam penanganan perkara penganiayaan yang dilakukan Ronald Tannur. Ketiga hakim tersebut, yakni Erintuah Damanik, Mangapul, dan Hari Hanindyo, diduga menerima suap terkait dengan vonis bebas yang dijatuhkan dalam kasus ini. Dugaan suap tersebut melibatkan Lisa Rahmat, pengacara Ronald Tannur, yang dikabarkan memberikan sejumlah uang kepada hakim-hakim tersebut untuk mendapatkan vonis bebas bagi kliennya.

Tindak lanjut terhadap dugaan suap ini sangat penting mengingat potensi dampaknya terhadap kepercayaan publik terhadap sistem peradilan di Indonesia. Kejaksaan Tinggi Jawa Timur menyatakan akan terus memantau dan menindaklanjuti segala temuan yang dapat berhubungan dengan dugaan suap dalam proses peradilan ini. Penanganan kasus ini menjadi ujian penting dalam menunjukkan komitmen negara terhadap pemberantasan korupsi di sektor peradilan.

Perspektif Etika Profesi Hukum

Selain aspek hukum pidana, kasus ini juga menyoroti permasalahan etika dalam profesi hukum. Sebagai pengacara, Lisa Rahmat memiliki tanggung jawab untuk bertindak sesuai dengan kode etik profesi yang berlaku, yang menuntutnya untuk menjaga integritas dan menghindari praktik-praktik tidak etis seperti pemberian suap. Begitu pula bagi hakim yang memiliki peran yang sangat vital dalam memastikan proses peradilan berjalan secara adil dan tanpa pengaruh dari pihak luar.Kasus suap ini jelas bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar etika profesi hukum, di antaranya:

1. Independensi dan Imparsialitas

Seorang hakim harus mampu bertindak secara independen, tidak terpengaruh oleh kepentingan pribadi, pihak tertentu, atau faktor eksternal lainnya. Hakim yang terlibat dalam suap telah mengkhianati prinsip ini, karena mereka seharusnya mengutamakan objektivitas dan kebenaran dalam setiap putusan yang mereka ambil.

2. Integritas

Integritas adalah salah satu nilai penting dalam profesi hukum. Seorang hakim harus menjalankan tugasnya dengan jujur dan adil. Penerimaan suap jelas mencederai integritas seorang hakim, karena tindakan ini mengabaikan kewajiban moral untuk mencari keadilan tanpa pamrih.

3. Kepercayaan Publik

Kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan sangat bergantung pada perilaku hakim dalam setiap persidangan. Suap yang melibatkan hakim-hakim ini menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem peradilan, yang pada gilirannya dapat memengaruhi efektivitas hukum dan keadilan di negara ini.

Aspek Hukum Pidana dalam Kasus Suap

Dari sisi hukum pidana, kasus suap yang melibatkan hakim dan pengacara ini dapat dijerat dengan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang mengatur sanksi pidana bagi pemberi dan penerima suap. Sanksi ini sangat penting untuk memberikan efek jera dan memastikan bahwa aparat penegak hukum tidak terlibat dalam praktik-praktik yang merusak integritas peradilan.

Kejaksaan Agung juga harus memeriksa secara menyeluruh semua pihak yang terlibat dalam proses hukum ini, termasuk pengacara, hakim, dan oknum lainnya, guna memastikan bahwa hukum ditegakkan tanpa pandang bulu. Penanganan yang tepat akan memberikan pesan yang jelas bahwa sistem peradilan tidak dapat dimanipulasi atau dipengaruhi oleh kepentingan pribadi atau kelompok.

Dampak Kasus Terhadap Sistem Peradilan

Kasus suap ini bukan hanya merugikan individu yang terlibat, tetapi juga berdampak pada sistem peradilan secara keseluruhan. Beberapa dampak yang dapat ditimbulkan adalah:

1. Kehilangan Kepercayaan Publik

Masyarakat akan kehilangan kepercayaan terhadap lembaga peradilan yang seharusnya menjadi penjaga keadilan. Ketika hakim-hakim yang seharusnya menjaga hukum malah terlibat dalam praktik kotor, sistem peradilan akan dipandang sebagai lembaga yang tidak dapat dipercaya.

2. Kerusakan Moral dalam Dunia Hukum

Kasus ini memberikan pesan yang buruk kepada generasi muda yang bercita-cita menjadi profesional hukum. Jika para hakim saja dapat terjerat dalam praktik suap, maka hal ini dapat merusak moralitas dan profesionalisme dalam dunia hukum.

Kasus penganiayaan yang dilakukan oleh Gregorius Ronald Tannur mengungkap sejumlah permasalahan serius dalam sistem peradilan Indonesia, terutama yang terkait dengan dugaan suap. Penangkapan terhadap Ronald Tannur dan tiga hakim yang terlibat dalam perkara ini menunjukkan pentingnya pengawasan terhadap proses peradilan agar tidak ada praktik korupsi yang merusak keadilan. Secara etika, kasus ini mengingatkan kita tentang betapa pentingnya menjaga integritas dalam profesi hukum, baik bagi pengacara maupun hakim. Dari sisi hukum pidana, penindakan tegas terhadap semua pihak yang terlibat dalam suap akan menjadi langkah krusial dalam memperbaiki citra dan memastikan keberlanjutan keadilan di Indonesia.

Penyelesaian kasus ini harus menjadi momentum untuk memperkuat pengawasan internal dalam sistem peradilan serta meningkatkan kesadaran akan pentingnya menjaga integritas dan moralitas dalam profesi hukum. Hanya dengan demikian, keadilan dan kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan dapat terjaga dengan baik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun