1. Latar Belakang
Indonesia adalah salah satu pasar media sosial terbesar di dunia, dengan lebih dari 200 juta pengguna internet aktif. Tingginya angka pengguna ini didorong oleh penetrasi smartphone yang luas dan harga data internet yang semakin terjangkau. Hal ini sesuai yang diungkapkan oleh @websindo.com yang tertulis bahwa media sosial seperti facebook, twitter, instagram, youtube, whatsapp, dan media sosial lainnya yang menjadi salah satu perantara alat dalam menjalin komunikasi, tepat pada tahun 2019 penggunanya mencapai hingga seratus lima puluh juta pengguna, dan jika di persentasekan mencapai 56 % pengguna dengan mengakses melalui mobile phone sekitar seratus tiga puluh juta dan jika di persentasikan maka mencapai 48% pengguna media sosial yang aktif mengakses memalui mobile phone.
Sehingga dalam hal ini, media sosial telah meningkatkan konektivitas di seluruh dunia. Orang-orang dapat berkomunikasi tanpa batas geografis, memungkinkan pertukaran informasi yang cepat dan efisien. Selain itu, media sosial memiliki kekuatan besar dalam membentuk opini publik, seperti menjadikan media sosial sebagai sarana menyebar berita bohong (hoax), menebar kebencian dan menjadi alat provokasi yang paling efektif karena jangkauannya yang cukup luas ke lapisan masyarakat. Tetapi, kurangnya tingkat literasi digital yang rendah juga dapat membuat masyakarat mudah terpengaruh oleh berbagai informasi yang didapatnya.Â
Selain itu, kelompok minoritas sebelum adanya media sosial yang berpegang teguh untuk bungkam karena merasa takut dan merasa kecil serta hanya mengikuti suara mayoritas mengenai informasi hoax ataupun sebagiannya terutama dalam membahas mengenai dunia LGBT, justru saat ini turut bersuara menyampaikan ketidak setujuannya pandangan buruk kelompok mayoritas mengenai LGBT (Salim, 2020). Maka dari itu, tanpa kita sadari bahwa media sosial menjadi salah satu tempat perkumpulan kelompok minoritas salah satunya LGBT. Dimana kelompok minoritas selama ini hanya diam, samar, tanpa sedikitpun untuk mengutarakan pendapatnya karena media sosial hanyalah kelompok pro dan kontra saat menyampaikan pendapatnya. Tetapi, media sosial memberikan dukungan terhadap adanya eksistensi yang diberikan kaum minoritas melalui media sosial sudah mulai mengutarakan pendapatnya walau mereka sadari akan mendapat hujatan dan kalimat-kalimat tidak pantas dari kelompok mayoritas (Giri, 2019).
Hal ini kita bisa ambil dari fenomena media sosial LGBT yang sedang hangat dibicarakan oleh masyakarat. Dimana kelompok minoritas ini, sangat percaya diri jika kelompok mereka tidak akan merugikan kelompok mayoritas. Seperti pada screen shot akun bernama @fellfel yang membahas LGBT, terlihat jelas bahwa kaum mayoritas tidak setuju mengenai LGBT yang saat ini sudah merajalela dan bahkan didukung oleh beberapa negara. Namun, terdapat juga salah satu komentar seperti memberi dukungan dari topik yang diangkat akun tersebut, lantas saja komentar yang memberikan dukungan akan eksistensi LGBT tidak lepas dari hujatan akun lain yang mengikuti diskusi tersebut.
Secara umum, kelompok minoritas adalah kelompok dalam suatu masyarakat yang memiliki jumlah anggota yang lebih kecil dibandingkan dengan kelompok mayoritas, serta sering kali memiliki perbedaan dalam hal etnis, agama, budaya, bahasa, atau identitas lainnya. Adapun kelompok minoritas pada artikel ini adalah fenomena mengenai Lebsian, Gay, dan LGBT (Rasnika, 2021).Â
Keberadaan mereka sangat bertentangan di masyarakat terkait orientasi seksual yang mereka miliki berbeda dengan masyarakat pada umumnya, stigma negatif yang melekat terhadap keberadaan mereka sehingga sebagian besar masyarakat di Indonesia memandang bahwa LGBT adalah acaman bagi masyarakat yang lebih di dominasi oleh heteroseksual (Rasnika & Quroatun, 2022).Â
Berdasarkan data BBC News indonesia mengungkapkan bahwa, pada tahun 2016 hingga akhir tahun 2017 masyakarat indonesia memandang kelompok LGBT sangat membawa ancaman yang meningkat secara signifikan. Dimana terdapat sekitar 46,2% responden menganggap LGBT cukup mengancam, selain itu terdapat juga 41,4% lainnya yang menganggap bahwa LGBT sangat mengancam. Bahkan terdapat juga 41,1% responden katagori yang menganggap dan menilai jika kelompok LGBT tidak berhak untuk hidup di indonesia (bbc.com 20 Juni 2024).
Berdasarkan survei diatas sudah sangat jelas mengapa kelompok minoritas seperti LGBT lebih baik diam, dan lebih memilih mengikuti pendapat kelompok mayoritas, dalam lingkungan masyarakat keberadaan LGBT tidak terlalu mencolok, lain halnya jika di media sosial, justru saat ini sudah banyak para pelaku LGBT secara terang-terangan mengakui bahwa dirinya menjadi bagian dalam kelompok LGBT. Oleh karena itu, penulis tertarik membahas judul "ANALISIS FENOMENA KETERBUKAAN KELOMPOK MINORITAS LGBT DI MEDIA SOSIAL DALAM PERSPEKTIF TEORI Â SPIRAL OF SILENCE" untuk membahas lebih spesifik fenomena keterbukaan kelompok minoritas LGBT di media sosial yang kini sedang merajalela.
2. Tinjauan Pustaka
A. Teori Spiral Of Silence
Teori Spiral of Silence menurut (Suyasa, 2022) mengungkapkan bahwa, teori imi diusulkan oleh ilmuwan politik Jerman, Elisabeth Noelle-Neumann, pada tahun 1974. Teori ini menjelaskan fenomena di mana individu cenderung menahan diri untuk menyatakan pendapat yang berbeda dengan opini mayoritas yang mereka persepsikan, karena takut akan isolasi sosial atau hukuman dari masyarakat. Ketakutan ini membuat individu lebih cenderung untuk tetap diam atau mengikuti pandangan mayoritas, yang akhirnya dapat menghasilkan spiral di mana opini yang dianggap mayoritas semakin diperkuat dan opini minoritas tertindas atau diabaikan. Dengan kata lain, teori ini menyoroti dinamika sosial di mana persepsi terhadap opini mayoritas dan minoritas memainkan peran penting dalam proses pembentukan dan perubahan opini publik atau menyoroti kompleksitas dalam memahami bagaimana individu dan kelompok berinteraksi dalam konteks sosial yang lebih luas.
B. Media Sosial
Media sosial adalah platform digital yang memungkinkan pengguna untuk berinteraksi, berbagi konten, dan terlibat dalam aktivitas sosial secara online. Platform-platform ini memfasilitasi pembuatan dan pertukaran informasi, gagasan, dan pandangan antara individu atau kelompok secara real-time atau hampir real-time. Karakteristik utama dari media sosial termasuk kemampuan untuk membuat profil pengguna, berbagi teks, gambar, video, serta berpartisipasi dalam komunitas atau jaringan yang memiliki minat atau tujuan yang sama (Sari, 2018).
C. Kelompok Minoritas LGBT
Kelompok minoritas LGBT merujuk pada individu yang mengidentifikasi diri sebagai lesbian, gay, biseksual, atau transgender, yang berada dalam jumlah yang lebih kecil dan sering menghadapi diskriminasi atau marginalisasi dalam masyarakat yang didominasi oleh norma-norma heteroseksual dan cisgender (Puspitasari, 2019).
3. Pembahasan
Teori Spiral Of Silence menggambarkan bagaimana kelompok minoritas yang hanya terdiam pada saat keadaan yang bertentangan dengan nurani hati mereka, kelompok minoritas dipaksa diam karena merasa di dukung dan hanya menjadi pengikut saja terhadap kelompok mayoritas. Hal ini sesuai menurut Neumann dalam (Rusliana, Poppy dan Lestari, 2019)
Berdasarkan pada gambar tersebut menunjukan bahwa, seorang yang memilki opini justru tidak dapat diutarakan karena terpaku pada pendapat mayoritas dan media massa yang bebeda dengannya. Tetapi, jika tetap memaksanya kemungkinan kelompok minoritas akan merasa terisolasi karena merasa terkucilkan. (West, Richard dan Turner, 2013) dalam (Kiswari, 2023) menyatakan bahwa media akan berfokus lebih pada pandangan kelompok mayoritas, dan meremehkan pandangan kelompok minoritas. Mereka yang minoritas akan menjadi lebih tidak asertif dalam mengkomunikasikan opini mereka, dan karenanya menyebabkan munculnya sebuah spiral komunikasi yang bergerak ke bawah.
Akan tetapi, perlahan suara LGBT sudah mulai terbuka dan bahkan kelompok mayoritas sudah mulai tergeser secara perlahan karena maraknya media sosial. Sudah banyak seoarang LGBT yang sudah menunjukan eksistensinya dan bahkan memiliki banyak (folllowers) di media sosial baik menunjukan eksistensi kehidupannya atau membangun personal branding komunitas LGBTnya, contohnya pada akun media sosial @generasipelangi yang berusaha bersuara meminta haknya untuk memiliki kehidupan seperti kelompok mayoritas.
Hal ini menjadikan bukti bahwa, kelompok minoritas sudah sering menunjukan eksistensi kehidupannya dan sudah sudah berani untuk mengaktualisasikan diri mereka di tengah masyarakat yang lebih mengakui orientasi heteroseksual. Sehingga dalam hal ini Teori Spiral Of Silence juga hampir semakin lemah di tengah media sosial ini, perubahan yang signifikan terhadap kelompok minoritas yang dianggap akan terus tertutup dan bukam, justru sudah berani akan memperjuangkan haknya atas keberadaan mereka dikehidupan masyarakat melalui media sosial, dan bahkan terjadi perdebatan antara pihak yang pro dan kontra demgan kelompok mayoritas (Wibowo & Sukardani, 2023).
Walaupun banyaknya penolakan yang sudah dilakukan oleh kelompok mayoritas untuk menghentikan kelompok minoritas LGBT justru hal ini sudah mulai dihiraukan oleh kelompok minoritas LGBT untuk tetap meminta hak dan keadilannya. Seperti pada tangkap layar berikut, dimana kelompok mayoritas berusaha untuk menindas kaum LGBT di tengah masyakarat justru ini bukan menjadi ancaman bagi kelompok minoritas LGBT. Bahkan mereka menunjukan eksistensi kehidupannya bahwa mereka hidup normal seperti masyarakat sosial lainnya.
Sehingga dalam hal ini, fenomena keterbukaan kelompok minoritas LGBT melalui media sosial menjadi salah satu anonimitas atau semi-anonimitas, yang memberikan perlindungan ekstra bagi individu yang takut akan stigma atau diskriminasi di dunia nyata. Hal ini dapat memperkuat rasa aman untuk menyuarakan identitas. Banyak individu dari kelompok LGBT menggunakan media sosial untuk advokasi dan pemberdayaan diri, menyebarkan informasi, dan menggalang dukungan untuk hak-hak mereka ditengah masyarakat, yang justru tetap menolak kelompok minoritas LGBT yang semakin berkembangan pesat di indonesia.
3. Kesimpulan
Media sosial telah mengurangi rasa takut akan isolasi sosial, memungkinkan individu LGBT untuk menemukan dukungan dan komunitas yang kuat sehingga meningkatkan keberanian mereka untuk menyuarakan identitas dan pendapat secara terbuka. Meskipun masih ada risiko diskriminasi dan serangan balik dari kelompok mayoritas, justru banyak individu LGBT merasa bahwa manfaat keterbukaan di media sosial mengurangi risiko tersebut. Sehingga, media sosial telah mengubah dinamika komunikasi yang dijelaskan oleh teori Spiral of Silence, dimana kelompok minoritas LGBT dapat lebih terbuka karena dapat memberikan ruang yang besar untuk membentuk sebuah opini sesuai dengan UU ITE 1945 mengenai setiap orang berhak berasumsi dan membuat opini selagi tidak mengandung SARA.
DAFTAR PUSTAKA
Giri, A. M., Bajari, A., & Maryani, E. (2019). LGBT di Era Digital: Eksistensi dan Kontroversi. Communication and Information Beyond Boundaries, 93.
Kiswari, R. (2023). Memahami Pengungkapan Diri Individu Lesbian Gay Bisexual dan Transgender (LGBT) di Media Sosial (Doctoral dissertation, FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK).
Puspitasari, C. I. I. (2019). Opresi kelompok minoritas: persekusi dan diskriminasi LGBT di Indonesia. Takammul: Jurnal Studi Gender Dan Islam Serta Perlindungan Anak, 8(1), 83-102.
Rasnika, W. (2021). Pola Penyebaran Konten Homoseksual Melalui Media Sosial Wattpad (Studi Kasus Komunitas Fujoshi Di Indonesia).
Rasnika, W., & Quroatun'Uyun, Z. (2022). Pola penyebaran konten homoseksual melalui media sosial wattpad (studi kasus fujoshi di indonesia). KINEMA: Jurnal Komunikasi dan Penyiaran, 1(1), 1-16.
Salim, A. (2020). Fenomena Keterbukaan Kelompok Minoritas Dalam Berkomunikasi di Media Sosial (Studi Pada Kelompok Minoritas LGBT di Media Sosial Instagram). Syntax Literate; Jurnal Ilmiah Indonesia, 5(3), 19-31.
Sari, A. C., Hartina, R., Awalia, R., Irianti, H., & Ainun, N. (2018). Komunikasi dan media sosial. Jurnal The Messenger, 3(2), 69.
Salim, A. (2020). Fenomena Keterbukaan Kelompok Minoritas Dalam Berkomunikasi di Media Sosial (Studi Pada Kelompok Minoritas LGBT di Media Sosial Instagram). Syntax Literate; Jurnal Ilmiah Indonesia, 5(3), 19-31.
Suyasa, I. M., Putri, P. I. D., & Suparna, P. (2022). The Tradition of Cultivation Theory And The Spiral of Silence Media. Journal of Communication Studies and Society, 1(1), 17-21.
Wibowo, S., & Sukardani, P. S. (2023). Motif Keterbukaan Kelompok Minoritas LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, Dan Transgender) Di Surabaya Pada Media Sosial Tiktok. The Commercium, 7(3), 77-86.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H