Mohon tunggu...
adinda rahmadhina
adinda rahmadhina Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

saya memiliki hobi mendengarkan musik dan menonton film, saya memiliki kepribadian tertutup namun mudah mudah berinteraksi dengan orang lain.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Tiktok VS Twitter : Medan Perang Baru Pencitraan Politik di Indonesia

26 Desember 2024   17:32 Diperbarui: 26 Desember 2024   17:32 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di TikTok, misalnya, konten-konten politik sering kali dikemas secara ringan dengan nada emosional, sehingga menarik perhatian kelompok tertentu tanpa memicu diskusi kritis. Sebaliknya, Twitter sebagai platform diskusi sering kali memperlihatkan perpecahan pendapat yang tajam, di mana kritik dan opini berseberangan dapat berujung pada perdebatan panas, bahkan serangan personal. Polarisasi ini tidak hanya memengaruhi persepsi terhadap politisi, tetapi juga menciptakan jarak antarkelompok masyarakat.

Dampak Pencitraan

Pencitraan politik melalui media sosial juga membawa dampak positif maupun negatif. Di satu sisi, pencitraan yang sukses dapat memperkuat kedekatan antara politisi dan masyarakat. Sebagai contoh, aksi Gibran Rakabuming Raka membagikan susu gratis di sekolah-sekolah menciptakan kesan yang positif di platform seperti TikTok, memperlihatkan sosok pemimpin yang peduli dan dekat dengan rakyat. Hal ini bisa meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap tokoh tersebut.

Namun, di sisi lain, pencitraan yang terlalu berlebihan sering kali dianggap sebagai tindakan manipulatif. Netizen di Twitter, misalnya, lebih kritis terhadap tindakan politisi, melihatnya sebagai upaya untuk mencuri perhatian publik menjelang pemilu. Hal ini dapat merugikan reputasi politisi jika dianggap tidak tulus atau hanya sekadar pencitraan tanpa tindakan nyata.

Implikasi pada Masyarakat

Dampak polarisasi dan pencitraan ini tidak hanya memengaruhi politisi, tetapi juga masyarakat secara luas. Polarisasi dapat melemahkan rasa persatuan dan membuat masyarakat lebih rentan terhadap misinformasi. Sementara itu, pencitraan yang berlebihan bisa menyebabkan masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap politisi, menganggap mereka lebih peduli pada popularitas daripada menyelesaikan masalah yang sebenarnya.

Media sosial telah menjadi alat yang sangat bermanfaat dalam komunikasi politik di era digital ini. Namun, perbedaan karakteristik setiap platform media sosial menjadi tantangan terbesar dalam membentuk opini publik dan persepsi masyarakat. Berdasarkan data statistik, TikTok didominasi oleh pengguna berusia 10-19 tahun, sementara Twitter lebih banyak digunakan oleh kelompok usia 25-34 tahun. Selain itu, menurut  data statistik dari Goodstats tingkat pendidikan pengguna kedua platform ini juga berbeda, yang berkontribusi pada perbedaan cara pandang dan respons terhadap isu-isu politik.

Perbedaan ini menunjukkan bahwa politisi harus mampu memanfaatkan media sosial secara bijak dengan menyesuaikan pendekatan dan strategi mereka pada setiap platform. TikTok, misalnya, dapat digunakan untuk menciptakan citra yang lebih dekat dan relatable bagi generasi muda, sedangkan Twitter lebih cocok untuk membangun diskusi yang lebih substansial dan memperkuat posisi politik melalui komunikasi yang lebih kritis.

Pada akhirnya, media sosial adalah pedang bermata dua. Di satu sisi, media ini memberikan peluang besar untuk mendekatkan politisi dengan masyarakat. Namun, di sisi lain, media sosial juga memiliki potensi untuk memperkuat polarisasi jika tidak digunakan secara bijak. Oleh karena itu, politisi harus memahami peran strategis media sosial dalam membangun komunikasi politik yang inklusif, transparan, dan bertanggung jawab, sehingga dapat menciptakan kepercayaan dan solidaritas di tengah masyarakat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun