Mohon tunggu...
Khalillurahman
Khalillurahman Mohon Tunggu... Editor - Calon Guru

Tetap Asik

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Lampu Kuning Bank Dunia: "Awan Gelap" Terjadi di Seluruh Dunia, Indonesia Salah Satunya?

21 November 2022   15:38 Diperbarui: 21 November 2022   15:39 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Bank Dunia (World Bank) untuk kesekiannya kalinya kembali dengan berita buruk. Dunia dikabarkan tengah menuju resesi pada 2023 mendatang, dipicu karena kenaikan suku bunga yang agresif.

Bank Dunia yakin pukulan moderat sekalipun akan pemicuan resesi Global. Bank Dunia pun memperkirakan kenaikan suku bunga akan terus dilakukan hingga tahun depan. Namun, langkah yang diambil ini tidak mampu membawa inflasi kembali ke tingkat sebelum pandemi covid-19. 

Lembaga-lembaga Internasional ini pun mengatakan bank sentral mungkin perlu menaikkan suku bunga dengan tambahan 2 poin persentase untuk meredam inflasi tersebut. Tambahan dosis suku bunga tersebut berada di atas kenaikan 2 poin yang sudah terlihat di atas rata-rata tahun 2021.

Bank Dunia mengingatkan bahwa dosis lebih tinggi ini dapat memperlambat pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) global. Pada 2023, PDB dunia memperkirakan bisa susut menjadi 0,5% setelah terkontraksi 0,4%.

Menurut Bank Dunia, ini akan memenuhi definisi teknis dari resesi global. Jika badai resesi itu datang, apa yang harus dilakukan dan dipersiapkan Indonesia?

Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira menegaskan bahwa laporan Bank Dunia bukan sekedar ramalan belaka. Bahkan, pelaku pasar sudah sepakat bahwa akan terjadi perlambatan ekonomi global pada 2023 mendatang akibat kombinasi dari perang, ganggguan rantai pasok, hiperinflasi, stagflasi dan krisis biaya hidup akibat naiknya harga pangan.

Sementara itu, Eropa juga masih mengalami tekanan cukup dalam dari krisis energi dan pangan. Menurutnya Indonesia akan terkena dampak oleh perlambatan perokomian ini. Terutama dari sisi perdagangan.

Hal ini harus diantisipasi karena akan mengurangi pendapatan masyarakat. Dengan menilai masyarakat yang rentan miskin di Indonesia cukup besar dan itu yang paling terkena dampak jika gejolak terjadi sehingga kelompok ini juga harus diberikan perlindungan sosial.

Selanjutnya, tingkat suku bunga global juga akan tinggi sekali dan memicu pelarian dari negara berkembang. 

Kemudian, pelaku usaha UMKM yang selama ini menjadi bantalan mempertahankan perekonomian harus terus didukung oleh pemerintah melalui pembiayaan murah dan bantuan modal langsung, pendampingan dan upaya mendorong UMKM lebih cepat masuk ke ekosistem digital. 

Langkah ini harus diupayakan dalam rangka melindungi ekonomi Indonesia yang sebenarnya tengah melesat usai pandemi Covid-19.

Dampak-dampak Resesi 

Masyarakat tengah hangat membicarakan kemungkinan terjadinya Resesi Global - perlambatan ekonomi berkepanjangan di seluruh dunia.

Dana Moneter International (IMF) meramalkan perekonomian dunia akan gelap tahun depan. IMF merevisi pertumbuhan ekonomi global 2023 menjadi 2.7% - atau 0.2 basis poin lebih rendah dari presiksi yang dikeluarkan sebelumnya. Angka ini merupakan perlambatan dibandingkan dengan prediksi tahun ini yang sebesar 3.2% atau turun dibandingkan 6% tahun lalu.

IMF mengeluarkan sejumlah himbauan yang cukup mencemaskan. Lembaga tersebut mengungatkan bahwa carut marut perekonomian global, situasi terburuk , inflasi akan semakin melambung, dan bahwa 2023 akan membuat sebagian orang merasakan resesi dalam kondisi perekonomian yang sulit.

Apa saja dampak yang perlu waspadai oleh masyarakat? Bagaimana cara menghadapinya?

Berikut kompilasi pendapat untuk dampak-dampak resesi.

1. Biaya hidup semakin tinggi

Fajar B.Hirawan dari Center for Strategic and International Studies (CSIS) menyebutkan bahwa tekanan inflasi yang menyerang hampir semua negara di dunia, khususnya Indonesia pastinya berdampak pada peningkatan harga-harga kebutuhan pokok.

Dalam laporan proyeksi ekonomi dunia yang diterbitkan bulan oktober kemaren, IMF memprediksi sepertiga negara-negara didunia akan mengalami pertumbuhan ekonomi negatif tahun depan. Sebab, tiga kekuatan ekonomi terbesar dunia-Amerika Serikat (AS), Uni Eropa (EU), dan China- mengalami perlambatan ekonomi.

IMF menyebutkan 3 faktor yang melandasi hal ini, yakni faktor Perang Rusia-Ukraina yang menimbulkan kenaikkan harga energi dan pangan, Faktor Krisis biaya hidup sebagai imbas dari konflik tersebut dan juga pandemi, serta Faktor kebijakan lockdown China yang mengganggu alur perdagangan internasional.

Dengan krisis energi dan terganggunya logistik, Krisna Gupta dari Center of Indonesian Policies Studies (CIPS) dan Muhammad Iksan dari Universitas paramadina mewanti-wanti bahwa harga barang sehari-hari yang biasa dibeli konsumen akan naik. Sebagian diantaranya bahkan mulai dirasakan masyarakat.

Dan Masyarakat Indonesia kini tengah berjibaku dengan kenaikkan harga pangan sejak awal tahun dan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) yang berlaku awal September. Ini mendorong Inflasi tahunan Indonesia hingga hampir menyentuh 6% bulan lalu.

2. Kenaikan pendapatan tak sebanding kenaikan pengeluaran

Bhima Yudhistira Adhinegara dari Center of Economic and Law Studies (CELIOS) mengungkapkan kekhawatiran bahwa tingkat pendapatan masyarakat akan semakin sulit untuk mengimbangi kenaikan harga yang terjadi. Alih-alih menaikan upah untuk meringankan beban  kenaikan biaya hidup, bisnis justru aka ikut mengerem pengeluaran dan sangat mungkin melakukan efiensi, terutama dari sisi kebijakan personalia.

3. Sulitnya mencari pekerjaan

Dengan terimbasnya bisnis dan potensi PHK, Bhima berpendapat bahwa kompetisi untuk mendapatkan pekerjaan akan semakin berat. 

Sementara, Krisna menambahkan bahwa kontraksi bisnis akibat kekurangan investasi sudah dirasakan di sektor teknologi utamanya karena langkanya pendanaan eksternal. 

4. Suku Bunga meningkat

Ini perlu menjadi catatan bagi masyarakat yang tengah mencicil rumah dengan bunga mengambang, atau berencana untuk membeli barang konsumsi dengan metode cicilan. 

Menaikan suku bunga acuan merupakan langkah yang kerap ditempuh oleh Bank Central di negara-negara demi mengatur inflasi. Dengan suku bunga yang tinggi, orang akan cenderung menahan konsumsi sehingga akan laju kenaikan harga bisa meredam.

"jadi suku bunga acuan secara global meningkat, terutama di negara maju, memicu penyesuaian suku bunga di Indonesia. Nanti ujungnya adalah bunga pinjaman atau kredit menyesuaikan dengan suku bunga acuan yang naik" terang Bhima

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun