Mohon tunggu...
Adi Wedar Sukondo
Adi Wedar Sukondo Mohon Tunggu... Freelancer - Hai!

Mahasiswa Desain Komunikasi Visual ISI Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pengaruh Media pada Persepsi Masyarakat terhadap Wanita Perokok

23 Oktober 2019   04:01 Diperbarui: 23 Oktober 2019   04:52 372
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

LATAR BELAKANG

Peranan wanita dalam kehidupan sosial di Indonesia selama ini memang tidak lepas dari adanya dominasi  pria. Narasi ketimpangan peran wanita selalu dibawakan dengan stigma kodrat.

Hal tersebut diperkuat dengan perjalanan sejarah di Indonesia secara sosial dan dibalut oleh penyebaran agama, sehingga mempengaruhi situasi sosial, ekonomi, maupun ideologi. Seperti misalnya ajaran tentang ketuhanan, kesusilaan dan kesosialan yang ditulis dalam Kitab Wulangareh, dalam penyempurnaannya ditulis juga ajaran tentang perempuan.

Ajaran khusus mengenai perempuan yang tertulis dalam Serat Centhini seperti misalnya ajaran Nyi Hartati kepada anak perempuannya Rancangkapti tentang "kias lima jari tangan", tampak sekali bahwa ajaran tersebut mempunyai kecenderungan melemahkan kedudukan perempuan (Susanto, Budi. 1992. Citra Wanita dan Kekuasaan Jawa. Yogyakarta. Kanisius).

Berdasarkan kutipan tersebut dapat dilihat bahwa adanya pelemahan atau pengekangan peran wanita memang sudah terjadi sejak zaman dahulu dan berkembang menjadi nilai-nilai tradisi yang juga mempengaruhi pola pemikiran atau konstruksi sosial yang luas.

Ketimpangan mengenai kedudukan wanita tidak hanya berhenti pada peran sosialnya saja, melainkan hal tersebut berkembang hingga berbagai macam aspek dari wanita salah satunya apa yang ia konsumsi.

Salah satu komoditas yang juga dikonsumsi oleh wanita adalah rokok. Kegiatan merokok untuk wanita selama ini selalu dikaitkan dengan berbagai hal yang konotasinya negatif dalam persepsi masyarakat. Sedangkan stigma negatif tersebut tidak terjadi pada pria perokok.

Stigma negatif tersebut berusaha dihilangkan oleh aktivis kretek dan pro rokok yang tergabung dalam Komunitas Kretek. Komunitas tersebut merupakan aktivis kretek yang mengupayakan hak-hak perokok serta kretek sebagai komoditas dan budaya Indonesia, mereka aktif membagikan berbagai literasi mengenai polemik perokok di situs web dan sosial media mereka.

Salah satu upaya yang mereka lakukan adalah, mengunggah video yang berdurasi satu menit berisikan beberapa tokoh, seperti musisi Danilla Riyadi, aktris Inne Febriyanti, dan beberapa influencer sosial media yang juga seorang perokok dan dilengkapi dengan teks narasi yang mendukung seperti "Perempuan perokok bisa jadi lebih bermoral dan hebat ketimbang mereka yang berpikiran jelek padanya". (Sumber).

Berdasarkan apa yang telah dijabarkan oleh Gerbner pada teori kultivasi (1980), media populer memiliki pengaruh yang besar dalam mempengaruhi persepsi masyarakat. Sifat amplifikasi pada media turut digunakan oleh kedua belah pihak pro maupun kontra rokok untuk kepentingannya masing-masing.

Video yang diunggah oleh Komunitas Kretek dengan opini-opini di dalamnya mampu memantik diskusi yang turut dibagikan ribuan kali. Namun jika ditelaah kembali, kampanye-kampanye pro maupun kontra rokok pada media selalu menggunakan beberapa unsur yang mengaitkan nilai-nilai subjektif pada rokok seperti identitas, simbol kesetaraan, dsb.

Ketika nilai-nilai tersebut dikelola dan dipropagandakan melalui media, realita "objektif" rokok yang sejatinya hanyalah sebatas komoditas berubah menjadi budaya yang ada di masyarakat dengan persepsi negatif maupun positifnya sebagai realita simbolis.

Ketika nilai-nilai subjektif pada rokok tersebut telah diterima oleh masyarakat sebagai mitos yang ada, hal itu dapat dijadikan nilai tukar dan diperjual belikan dalam industri kapitalis.

Nugroho (2003) menyebutkan dalam proses jual beli, segi sosial menjadi salah satu faktor yang menunjang pembeli untuk mengonsumsi produk. Produsen melakukan proses identifikasi audiens yang mereka sasar, yang akhirnya menekan konsumen untuk beradaptasi dan memilih.

Hal inilah yang terus dikembangkan oleh produsen agar wanita perokok tak hanya megonsumsi tembakaunya, namun juga nilai-nilai seperti "kesetaraan" yang digadang-gadangkan. Kelompok pro dan kontra termasuk produsen rokok menjadikan wanita sebagai objek propaganda atau pemasaran yang mereka lakukan.

Di sinilah wanita diobjektifikasi sebagai objek kampanye kepentingan kelompok tertentu, sehingga masyarakat pun memiliki sudut pandang yang terbalik antara rokok dan wanita.

Di sini penulis yang juga merupakan perokok aktif mencoba meninjau kembali persepsi masyarakat mengenai wanita perokok yang terpengaruh oleh media, untuk lebih objektif terhadap rokok sebagai komoditas.

Seiring dengan urgensi yang dibahas, Jibal Windiaz dalam artikel Komunitas Kretek mengutip ungkapan mentri kesehatan Norwegia Sylvi Listaugh "saya tidak akan menjadi polisi moral dan harus hidup seperti apa, saya berniat membantu dengan menyediakan informasi yang bisa menjadi landasan pengambilan keputusan", Jumat (10/5/2019) (Dilansir dari komunitaskretek.or.id).

LANDASAN TEORI

1. Konsep Patriarki

A.P. Muniarti dalam Citra Wanita dan Kekuasaan (Jawa) (1992:22) mengungkapkan bahwa perubahan masyarakat yang pada umumnya mengubah masyarakat agraris menjadi masyarakat industri telah pula mengubah pandangan manusia. Hukum peribuan berganti menjadi hukum perbapakan, matriarki berubah menjadi patriarki. Marx menamakan perubahan ini "sesuai dengan kodrat alam". 

Subadio dan Ihromi (1992:22) bercerita bahwa dalam kasus seperti yang terjadi di Minahasa tahun 1930-an, kaum perempuan "terpaksa" diminta turun tangan menyelesaikan permasalahan tanah karena kaum laki-laki tak mampu menyelesaikannya. Ditinjau dari kasus tersebut dapat diartikan bahwa perempuan mempunyai kemampuan dan kekuatan kalau diberi kesempatan.

2. Ruang Publik

Dalam buku Ruang Publik, Budi mengutip tulisan J. Habermas "The Public Sphere" (2010:271) yang mengatakan bahwa ruang publik merupakan medium yang mampu mewujudkan gagasan komunitas warga negara, yang kemudian membentuk forum masyarakat sipil yang dapat membentuk opini publik.

Semakin ruang publik terbuka, semakin besar kemungkinan munculnya perserikatan yang bebas dan pertukaran gagasan yang kemudian mendukung kemampuan demokratisasi masyarakat. Suatu bentuk gagasan yang demokratik ditandai dengan adanya debat terbuka, kepercayaan, dan hubungan mutualis antar manusianya. 

Dalam kondisi itulah yang kemudian terbentuk kewarganegaraan dan rasa mempunyai yang merangkul hubungan lokal, yang kemudian muncul nilai-nilai universal yang dapat dikembangkan.

3. Teori Kultivasi

Gerbner dalam jurnalnya yang berjudul Living with Television: The Dynamics of the Cultivation Process (1986) berpendapat bahwa media massa menanamkan nilai-nilai yang telah terbentuk dalam suatu budaya melalui komunikasi satu arah, bukan komunikasi dua arah.

Mengelola dan mempropagandakan nilai-nilai tersebut di antara sebuah budaya, kemudian mengkombinasikannya. Media massa memiliki karakteristik penyebaran yang khusus yang kemudian memudahkannya dalam menanamkan sebuah nilai budaya dengan bentuk audiovisual.

Mekanisme ini menciptakan perbedaan jelas antara realita simbolis dan realita "objektif", kemudian menyajikan kenyamanan "fakta" versi media massa yang kemudian diserap oleh audiens tentang sebuah hal.

4. Perilaku Konsumsi

Dalam buku Perilaku Konsumen, Nugroho menyebutkan bahwa keputusan untuk membeli dipengaruhi oleh beberapa faktor, yang di antaranya adalah faktor sosial yang dipengaruhi oleh kelompok referensi, dan faktor psikologis yang ditimbulkan dari motivasi konsumen.

Nugroho (2003:11) mengungkapkan bahwa produsen melakukan proses identifikasi kelompok referensi dari konsumen yang mereka sasar. Terdapat tiga cara yang dapat mempengaruhi kelompok referensi mereka.

Pertama, mereka (produsen) memamerkan/melihatkan pada seseorang perilaku dan gaya hidup baru. Kedua, mereka mengenalkan sikap dan konsep jati diri yang dimodifikasi atas dasar "menyesuaikan diri" dari konsumen. Ketiga, mereka akhirnya menciptakan kondisi yang menekan konsumen untuk menyesuaikan diri yang pada akhirnya dapat mempengaruhi pilihan produk dan merek yang mereka pilih.

Freud (2003:12), juga berasumsi bahwa kekuatan psikologis yang membentuk perilaku manusia sebagian besar terbentuk di bawah sadar. Seseorang akan menekan berbagai keinginan seiring dengan pertumbuhan dan proses bagaimana agar dirinya diterima dalam suatu aturan sosial yang terbentuk.

PEMBAHASAN

Status wanita perokok dalam kacamata sosial memang saat ini masih terbilang tabu. Perbedaan pandangan wanita perokok dibandingkan dengan pria perokok merupakan bukti ketimpangan porsi hak dalam kesetaraan hukum masyarakat yang berlaku.

Hal ini dibuktikan dengan perbedaan rokok sebagai simbol maskulinitas pada pria, namun tidak sama sekali merupakan sebuah simbol feminitas pada wanita, yang kemudian dapat dipahami sebagai bentuk patriarki secara tidak langsung. Rokok yang menjadi sebuah simbol kesetaraan sepatutnya dikaji lebih dalam lagi, mengingat rokok bukanlah satu-satunya simbol kesetaraan.

Berbicara tentang wanita perokok yang dianggap mengandung unsur patriarki, mengapa di kehidupan dirumah tangga yang masih bisa kita rasakan dimana budaya patriarki masih sangat terasa? Kita dapat melihat aktifitas yang biasanya wanita lakukan dirumah seperti memasak, mencuci, menjadi sebuah pekerjaan yang memang diharuskan untuk wanita yang mengerjakannya.

Peristiwa ini sejatinya membangun stigma baru yang salah satunya melahirkan "memasak hanya untuk kaum wanita", yang terbangun atas dasar budaya patriarki. Budaya-budaya kecil seperti inilah yang semakin meresahkan wanita karena ketimpangan porsi hak.

Berangkat dari isu patriarki yang terbentuk melalui kontruksi sosial masyarakat membuat para perokok wanita akhirnya berani membuka diri untuk memperjuangkan haknya atas dasar hukum patriarki tersebut. Hal ini tentu menjadi polemik yang tidak berkesudahan karena bertolak belakangnya hukum yang dianut masyarakat terhadap isu kesetaraan yang dijunjung oleh wanita perokok, yang kemudian menciptakan hukum abstrak atas benar salahnya merokok bagi wanita dalam ruang publik.

Dalam perkara lain, ruang publik yang seharusnya menjadi medium masyarakat untuk melakukan aktifitas dizalimi oleh perokok yang juga menjunjung haknya untuk menikmati ruang publik. Padahal seharusnya ruang publik memiliki peraturan demokratis yang mutlak dipatuhi oleh semua kalangan, melihat bahwa ruang publik mayoritas dihuni oleh masyarakat yang tidak mengkonsumsi rokok.

Ruang publik yang dizalimi perokok justru menimbulkan keresahan karena tak hanya perokok yang menghirup asap rokok. Hal ini tentu menjadi faktor yang lebih menekan wanita perokok untuk tidak merokok di ruang publik dan semakin mengancam haknya untuk merokok. Situasi ini memberi celah bagi para produsen rokok untuk menjadikan wanita sebagai komoditasnya, yang kemudian dikomodifikasikan melalui media massa.

Komodikfikasi yang dimaksudkan, dalam bentuk memanfaatkan beberapa tokoh publik yang memiliki popularitas sebagai alat untuk mempersuasifkan wanita yang mencari pengakuan untuk terlihat setara dengan kaum pria dengan melakukan aktifitas merokok nya di ruang publik tanpa memikirkan dampak terhadap lingkungan di ruang publik itu sendiri yang dimana didominasi oleh masyarakat yang tidak merokok dan menjadi perokok pasif.

Merugikan bagi mereka yang menjadi perokok pasif ketika mereka menghirup asap rokok yang setidaknya, dalam asap rokok terkandung beberapa jenis bahan kimia seperti hidrogen sianida (gas yang sangat beracun yang digunakan dalam senjata kimia dan pengendalian hama), benzene yang ditemukan pula di dalam bensin, formaldehida (bahan pengawet yang digunakan untuk membalsem mayat), dan karbon monoksida (gas beracun yang ditemukan di dalam knalpot mobil) zat berbahaya didalamnya juga berujung pada penyakit berbahaya seperti kanker dan penyakit jantung.

Media massa merupakan medium yang sangat rentan untuk praktek kultivasi media sehingga pengguna mendapatkan persepsi dari apa yang mereka konsumsi di media massa, terutama sejak kedatangan para tokoh yang selalu menghadirkan konten kegiatan sehari-harinya.

Salah satunya adalah momen ketika mereka menunjukan kebiasaannya merokok, hal tersebut tentu dipandang negatif oleh sebagian besar pengguna media massa, akan tetapi konten tersebut datang secara berulang kali sehingga tidak lama masyarakat akan terbiasa dan dapat memaklumi hal tersebut.

Padahal justru mereka secara tidak langsung mendukung produsen rokok untuk mengeksploitasi kaum wanita dimana wanita perokok yang sukses menjadi standar sebuah kesetaraan yang kemudian menimbulkan persepsi negatif bagi wanita perokok itu sendiri.

Hal tersebut tidak ditanggapi dengan serius, justru malah dijadikan sebuah gaya hidup yang ditunjukan ke ruang publik dengan gamblangnya tanpa sadar bahwa mereka sudah menunjukan sebuah pengorbanan.

Pengorbanan yang dimaksud adalah pengorbanan sisi feminitas untuk mendapatkan sebuah pengakuan dan kesetaraan, padahal di sisi lain justru akan semakin menimbulkan persepsi buruk terhadap wanita perkokok. Peristiwa ini akan terus diakomodasi hingga media massa mampu mengamplifikasikannya hingga tersebar ke berbagai kalangan masyarakat.

Masyarakat seharusnya lebih menelaah media yang menjadikan tokoh publik wanita sebagai sebuah objek dalam pemasaran rokok, karena wanita secara tidak langsung telah diekploitasi. Amplifikasi merupakan salah satu sifat dari media massa, di mana aktifitas pengguna dapat dengan mudah kita akses dan terima tanpa adanya pengawasan.

Amplifikasi media massa inilah yang seharusnya dipermasalahkan, karena pada konteks pemasaran rokok hal ini melampaui batas. Maka dari itu tidak dipungkiri jika dapat merefleksikan sesuatu yang kita konsumsi baik itu konteks negatif atau positif.

KESIMPULAN

Dapat disimpulkan bahwa wanita perokok lebih banyak menerima hal negatif dari rokok tersebut dibandingkan dengan stigma yang dilahirkan oleh produsen dan aktivis rokok bahwa wanita perkokok yang merupakan simbol kesetaraan dan image kesuksesan. Maka jika rokok adalah simbol maskulinitas bagi pria,  wanita perokok secara tidak langsung menghilangkan sisi feminitasnya melalui rokok.

Hal ini tertuju pada produsen rokok yang menjadikan wanita perokok sebagai objek komodifikasi untuk eksistensi produknya yang mana cara tersebut dilatar belakangi dengan sudut pandang kesetaraan dan secara tidak langsung merubah persepsi negatif masyarakat terhadap wanita perokok. Komodifikasi para aktivis dan produsen rokok kepada masyarakat dan media massa dengan cara menggunakan tokoh publik wanita perokok sebagai objek.

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Hardiman, F. 2010. Ruang Publik. Yogyakarta: Kanisius.

Setiadi, Nugroho. 2003. Perilaku Konsumen. Jakarta: Kencana.

Susanto, Budi.1992. Citra Wanita dan Kekuasaan Jawa.Yogyakarta: Kanisius.

Jurnal

Gerbner, G., Gross, L., Morgan, M., & Signorielli, N. (1986). Living With Television: The Dynamics of the Cultivation Proces. Disunting oleh J. Bryant & D. Zillman dalam Perspectives on Media Effects (17-40). Hilldale, NJ: Lawrence Erlbaum Associates.

Webtografi

Windiaz, Jibal. 2019. Salut! Menteri Kesehatan Norwegia Obyektif Dalam Menyikapi Rokok. https://komunitaskretek.or.id/opini/2019/05/salut-menteri-kesehatan-norwegia-obyektif-dalam-menyikapi-rokok/. Diakses pada pukul 20:55 WIB 19 Oktober 2019.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun