Berangkat dari isu patriarki yang terbentuk melalui kontruksi sosial masyarakat membuat para perokok wanita akhirnya berani membuka diri untuk memperjuangkan haknya atas dasar hukum patriarki tersebut. Hal ini tentu menjadi polemik yang tidak berkesudahan karena bertolak belakangnya hukum yang dianut masyarakat terhadap isu kesetaraan yang dijunjung oleh wanita perokok, yang kemudian menciptakan hukum abstrak atas benar salahnya merokok bagi wanita dalam ruang publik.
Dalam perkara lain, ruang publik yang seharusnya menjadi medium masyarakat untuk melakukan aktifitas dizalimi oleh perokok yang juga menjunjung haknya untuk menikmati ruang publik. Padahal seharusnya ruang publik memiliki peraturan demokratis yang mutlak dipatuhi oleh semua kalangan, melihat bahwa ruang publik mayoritas dihuni oleh masyarakat yang tidak mengkonsumsi rokok.
Ruang publik yang dizalimi perokok justru menimbulkan keresahan karena tak hanya perokok yang menghirup asap rokok. Hal ini tentu menjadi faktor yang lebih menekan wanita perokok untuk tidak merokok di ruang publik dan semakin mengancam haknya untuk merokok. Situasi ini memberi celah bagi para produsen rokok untuk menjadikan wanita sebagai komoditasnya, yang kemudian dikomodifikasikan melalui media massa.
Komodikfikasi yang dimaksudkan, dalam bentuk memanfaatkan beberapa tokoh publik yang memiliki popularitas sebagai alat untuk mempersuasifkan wanita yang mencari pengakuan untuk terlihat setara dengan kaum pria dengan melakukan aktifitas merokok nya di ruang publik tanpa memikirkan dampak terhadap lingkungan di ruang publik itu sendiri yang dimana didominasi oleh masyarakat yang tidak merokok dan menjadi perokok pasif.
Merugikan bagi mereka yang menjadi perokok pasif ketika mereka menghirup asap rokok yang setidaknya, dalam asap rokok terkandung beberapa jenis bahan kimia seperti hidrogen sianida (gas yang sangat beracun yang digunakan dalam senjata kimia dan pengendalian hama), benzene yang ditemukan pula di dalam bensin, formaldehida (bahan pengawet yang digunakan untuk membalsem mayat), dan karbon monoksida (gas beracun yang ditemukan di dalam knalpot mobil) zat berbahaya didalamnya juga berujung pada penyakit berbahaya seperti kanker dan penyakit jantung.
Media massa merupakan medium yang sangat rentan untuk praktek kultivasi media sehingga pengguna mendapatkan persepsi dari apa yang mereka konsumsi di media massa, terutama sejak kedatangan para tokoh yang selalu menghadirkan konten kegiatan sehari-harinya.
Salah satunya adalah momen ketika mereka menunjukan kebiasaannya merokok, hal tersebut tentu dipandang negatif oleh sebagian besar pengguna media massa, akan tetapi konten tersebut datang secara berulang kali sehingga tidak lama masyarakat akan terbiasa dan dapat memaklumi hal tersebut.
Padahal justru mereka secara tidak langsung mendukung produsen rokok untuk mengeksploitasi kaum wanita dimana wanita perokok yang sukses menjadi standar sebuah kesetaraan yang kemudian menimbulkan persepsi negatif bagi wanita perokok itu sendiri.
Hal tersebut tidak ditanggapi dengan serius, justru malah dijadikan sebuah gaya hidup yang ditunjukan ke ruang publik dengan gamblangnya tanpa sadar bahwa mereka sudah menunjukan sebuah pengorbanan.
Pengorbanan yang dimaksud adalah pengorbanan sisi feminitas untuk mendapatkan sebuah pengakuan dan kesetaraan, padahal di sisi lain justru akan semakin menimbulkan persepsi buruk terhadap wanita perkokok. Peristiwa ini akan terus diakomodasi hingga media massa mampu mengamplifikasikannya hingga tersebar ke berbagai kalangan masyarakat.
Masyarakat seharusnya lebih menelaah media yang menjadikan tokoh publik wanita sebagai sebuah objek dalam pemasaran rokok, karena wanita secara tidak langsung telah diekploitasi. Amplifikasi merupakan salah satu sifat dari media massa, di mana aktifitas pengguna dapat dengan mudah kita akses dan terima tanpa adanya pengawasan.