Sejak ChatGPT diluncurkan pada 30 November 2022 oleh OpenAI, pembuat DALL-E 2 dan Whisper AI, dunia telah memasuki babak baru dalam perjalanan teknologi. Negara-negara di barat dan timur mulai bersaing untuk mengembangkan kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) masing-masing, dan mengalirkan investasi besar ke perusahaan-perusahaan pendukung AI di negara mereka masing-masing.
Menurut Laporan Tahunan The AI Index 2023 yang diterbitkan oleh Stanford University, Amerika Serikat menduduki peringkat pertama dengan total investasi sebesar USD 47,4 miliar, diikuti oleh Tiongkok dengan USD 13,41 miliar, dan diikuti oleh Inggris serta negara-negara lainnya.
Nilai investasi global untuk pengembangan teknologi kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) sepanjang 2022 mencapai USD 189,59 miliar atau sekitar Rp2.843 triliun (asumsi kurs Rp15.000 per USD).
Tidak hanya itu, negara-negara besar di dunia juga bersaing untuk menciptakan AI masing-masing. Pada November 2023, Advanced Technology Research Council (ATRC) Abu Dhabi mengambil langkah berani dengan meluncurkan perusahaan AI baru bernama AI71. Entitas ini didasarkan pada model AI generatif Falcon yang dimiliki oleh Technology Innovation Institute (TII) dan akan memfokuskan diri pada spesialisasi multi-domain serta menawarkan kontrol data AI yang belum pernah ada sebelumnya bagi perusahaan dan negara yang ingin mempertahankan privasi.
Perancis juga mengikuti dengan menciptakan AI bernama Mistral AI pada bulan Desember 2023, yang mencapai valuasi lebih dari USD 2 miliar.
India juga tidak ketinggalan dengan AI-nya yang dilatarbelakangi oleh kecintaan para pendirinya terhadap bahasa India. Ada AI multibahasa yang dibangun oleh startup baru bernama Krutrim, dan ada juga AI yang hanya fokus pada pengembangan bahasa lokal yang dibangun oleh perusahaan India bernama Sarvam.ai. Sampai saat ini, Sarvam.ai telah berhasil mengumpulkan lebih dari USD 41 juta untuk pengembangan AI mereka.
Meskipun setiap negara bersaing dalam menciptakan AI mereka sendiri, persaingan antara Amerika dan Tiongkok tidak kalah menarik perhatian.
Dikutip dari Bisnis.com, sejak 9 Agustus 2023, Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden melarang investasi pada teknologi sensitif ke China. Biden menyatakan bahwa langkah tersebut dilakukan untuk mencegah China menyalin teknologi Amerika yang dapat digunakan untuk memodernisasi militer mereka, dan mengancam keamanan nasional Amerika. Ketentuan ini mulai berlaku pada tahun 2024.
Sementara hal-hal yang termasuk teknologi sensitif adalah sejumlah chip canggih, teknologi informasi kuantum, dan sistem kecerdasan buatan tertentu.
Namun, para pakar ekonomi dunia menganggap tindakan Biden ini sebagai upaya khusus Amerika untuk menghambat kemajuan pesaingnya di dunia teknologi khususnya artificial intelligence.
Tindakan Biden tersebut juga diyakini akan meningkatkan konflik antara dua negara ekonomi terbesar ini.
Sementara itu, kedutaan besar Tiongkok menyatakan kekecewaannya terhadap respons keputusan Biden ini. Kementerian Perdagangan Tiongkok menyebut bahwa Amerika secara tidak langsung menghambat pertukaran ekonomi dan kerja sama perdagangan global, yang dianggap sebagai hambatan untuk pemulihan ekonomi dunia. Kementerian tersebut juga berharap Amerika dapat menghormati prinsip-prinsip ekonomi pasar dan persaingan yang adil.
Namun disisi lain pemerintah Tiongkok tidak tinggal diam. Pemerintah Tiongkok mengumumkan akan menginvestasikan dana sebesar US$ 40 miliar atau setara dengan Rp 612 triliun (dengan asumsi kurs Rp 15.300) untuk meningkatkan industri semikonduktor. Upaya ini dilakukan untuk mengejar ketertinggalan Tiongkok dari Amerika Serikat (AS) dan negara-negara lain yang saat ini fokus pada pengembangan chip. Hal ini telah membuat merk raksasa yang kita kenal, seperti Huawei dan SMIC, mampu menciptakan GPU yang sangat canggih.
Dan di Indonesia sendiri, pengembangan teknologi kecerdasan buatan (AI) telah mencapai tonggak penting dengan pembentukan Strategi Nasional Kecerdasan Buatan (Stranas KB) pada tahun 2020. Dampak positifnya telah terasa di berbagai sektor, termasuk informasi dan komunikasi, jasa keuangan dan asuransi, jasa perusahaan, serta sektor pertanian. Namun, pengembangan AI adalah bidang teknologi yang membutuhkan sumber daya besar, baik dari segi biaya, tenaga ahli manusia, maupun tingkat kerumitan teknologinya, yang merupakan tantangan tersendiri bagi Indonesia.
Terlepas dari persaingan sengit dalam perang AI ini, kita diingatkan untuk tidak malas belajar. AI sejatinya adalah pelengkap, bukan pengganti, dalam dunia kerja kita. Jika kita belajar, pekerjaan kita akan menjadi lebih baik karena dibantu oleh AI. Sebaliknya, jika kita tidak belajar, kita berisiko tergantikan oleh AI.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI