[caption id="attachment_371355" align="alignnone" width="490" caption="Cruise Sea Princess berlabuh di Wharf Darwin, Juli 2014 (Photo by Ken Lin)"][/caption]
“How are you Ken? What’s your plan for this holiday?”, sapaku kepada Ken Lin mahasiswa asal Taiwan ketika kami bertemu di kitchen building 6 International House Darwin seperti biasanya hampir setiap pagi.
“Today I will go to Wharf to see the Cruise that came to Darwin this morning. They are going to be in Darwin for short time, in the evening they have to leave Darwin to go to other places“, katanya penuh antusias.
“Oh it’s a nice thing to see. I am also interested to see that Cruise if not doing this job. Please take pictures of the Cruise and send me some, okay…“, pintaku.
“Okay Adil…“, katanya sambil terburu-buru menyiapkan sarapan rutinnya, roti tawar gandum berbentol-bentol wijen dan sekelas kopi susu. Akupun segera menuntaskan pekerjaanku di kitchen ini lalu keluar menuju toilet yang harus kubersihkan sesuai tugasku sebagai cleaner di Asrama Mahasiswa ini.
Berbicara mengenai Kapal Pesiar, aku jadi teringat cerita menarik dari seorang sesepuh orang Indonesia di Darwin saat ia menjalani profesi sebagai supir taksi beberapa tahun lalu. Suatu ketika ia mendapat order untuk mengantar seorang wanita tua berkeliling kota Darwin dalam waktu 4 jam. Dia minta ditunjukkan tempat dan bangunan-bangunan penting di kota Darwin seperti Gedung Pemerintah, Gedung Parlemen, Universitas, Museum, Mal/Supermarket, Pasar Tradisional, dan lainnya.
Si wanita tua itu nanti hanya minta berhenti untuk makan siang di restoran tertentu, pada saat itu dia bilang bahwa temanku si supir taksi yang mengantarnya itu boleh ikut makan siang bersamanya atau boleh hanya menunggu di dalam taksi atau di tempat mana saja asalkan tak jauh dari taksinya dan ia akan mengabarinya segera kalau akan kembali ke mobil.
Berusaha menunjukkan keramah tamahan dan memberikan pelayanan yang menyenangkan kepada tamunya, temanku pun berinisiatif bertanya kepada wanita tua itu tentang asal-usulnya dan bagaimana ia bisa sampai berkunjung ke Darwin. Bagaikan ikan yang diberi umpan dan sebagaimana pada umumnya sifat dari orang-orang tua yang senang sekali apabila menceritakan masa lalunya, maka si wanita tua ini pun dengan sangat antusias menceritakan pengalaman hidupnya kepada temanku ini.
Maka jadilah di sepanjang perjalanan mendampingi wanita tua ini, sang supir taksi yang temanku ini betul-betul berperan menjadi pendengar yang baik dengan sesekali melontarkan pertanyaan yang dijawab dengan semakin menggebu oleh si wanita tua itu. Tidak apalah pikir temanku, toh argometer taksinya tetap berputar, ia tetap dibayar, dan tidak salah toh kalau kita berusaha menyenangkan orang lain di penghujung usianya.
Wanita tua ini bercerita bahwa selama setahun ini sebagian hidupnya dihabiskan di kapal pesiar (Cruise), dari satu kapal pesiar ke kapal pesiar lainnya. Sebelum tiba di Darwin untuk selama 4-6 jam, bersama Kapal Pesiar “Sea Princess” yang berkapasitas penumpang sekitar 2000 (dua ribu) penumpang ini ia bersama teman-temannya telah mengunjungi beberapa kota di Australia setelah sebulan yang lalu bertolak dari Singapura.
Di kota-kota yang disinggahi, mereka memang diperkenankan untuk turun keluar dari kapal pesiar itu namun hanya untuk jangka waktu yang singkat yaitu selama sekitar 4 jam untuk berkeliling melihat-lihat kota tersebut. Selebihnya kehidupan mereka adalah di dalam atau di atas kapal pesiar tersebut. Tapi mereka tidak perlu khawatir karena semua kebutuhan hidup mereka telah dipenuhi dan dapat diperoleh di kapal tersebut.
Kapal pesiar tersebut telah menyediakan aneka pelayanan dan fasilitas, dari penyediaan makanan dan minuman (dapur dan restoran-restoran), pemeliharaan kesehatan (dokter umum, dokter spesialis, terapis), sarana olahraga dan kebugaran (fitness centre, massage, kolam renang, billiard, tennis), perawatan kecantikan (salon, pedicure, medicure), hiburan (bioskop, night club, bar, live music), serta pelayanan dan fasilitas-fasilitas lainnya.
Crew atau petugas yang melayaninya pun telah dididik sedemikian rupa untuk terampil memberikan pelayanan prima kepada para penumpang yang umumnya berasal dari kalangan atas (kaya, berduit banyak). Kurang memuaskan sedikit saja atau salah dalam melayani maka sudah pasti akan menerima complaint yang bertubi dari mereka. Memang mereka sengaja mau membayar mahal untuk bisa mendapatkan pelayanan yang terbaik.
Wanita tua ini bercerita, sejak suaminya meninggal beberapa tahun lalu maka ia tinggal sendiri di sebuah apartemen di tengah kota London (Inggris) yang sibuk dengan biaya hidup yang semakin mahal. Ia memutuskan bersedia untuk hidup di atas kapal pesiar ini atas penawaran dan rekomendasi dari sebuah konsultan/agen asuransi yang kemudian disetujui oleh anak laki-laki satu-satunya yang telah berkeluarga dan berprofesi sebagai bankir. Kesibukan anaknya sebagai bankir di kota London membuatnya tidak mungkin bisa mengunjunginya 1-2 bulan sekali apalagi untuk melayaninya secara intens atau merawatnya kalau sakit.
Pertimbangan lain yang tak kalah penting adalah dari segi ekonomi/finansial, yaitu sudah semakin melonjaknya biaya hidup (perawatan apartemen, biaya makan dan minum, biaya kesehatan, dan biaya-biaya lainnya) di kota London di mana apartemennya saat itu berada. Baginya semua biaya-biaya itu terasa mahal dan sulit untuk ditutupi oleh uang pensiun dirinya dan suaminya maupun oleh sisa tabungannya.
Sungguh suatu solusi yang menarik sekaligus menantang ketika saat itu ada sebuah konsultan/agen asuransi yang menawari dirinya untuk mencoba hidup bahkan menghabiskan sisa hidupnya di atas kapal pesiar yang menyediakan segala kebutuhan kita layaknya kita hidup di darat. Apalagi setelah dikalkulasi secara cermat ternyata biaya yang harus dikeluarkan untuk hidup di atas kapal pesiar menjadi lebih murah dibandingkan dengan biaya hidup di apartemen lamanya yang berada di tengah kota London yang bergengsi itu.
Ketika penawaran untuk tinggal di kapal pesiar ini dikonsultasikan kepada anak laki-laki satu-satunya itu dan anaknya tersebut kemudian menyatakan tidak keberatan maka wanita tua ini pun memutuskan untuk mencoba berani menjalaninya. Ia pun berpikir bahwa ia tidak akan sendirian menjalaninya tetapi juga bersama-sama dengan beberapa wanita tua lainya yang bernasib serupa dengan dirinya yaitu berusia lanjut, fisik semakin lemah, hidup sendiri dan tidak ada keluarga yang bisa memelihara atau merawatnya lagi.
Di atas sebuah kapal pesiar, mereka bisa tinggal selama beberapa bulan (2-3 bulan) dengan hanya singgah beberapa jam di kota-kota tertentu untuk mengisi bahan bakar, mendapatkan air bersih, membeli makanan dan minuman serta memberi kesempatan kepada para penumpang untuk berjalan-jalan menikmati kota yang disinggahi.
Kemudian di kota-kota tertentu (misalnya Singapura), mereka bisa singgah lebih lama (sekitar seminggu) dengan menginap di hotel untuk kemudian dipindahkan ke kapal pesiar lain dengan rute yang berbeda (misalnya dari rute Asia ke rute Eropa atau rute Amerika). Demikian seterusnya kapal pesiar pergi dan singgah dari suatu kota ke kota lain, ada yang hanya singgah untuk satu hari (bahkan tidak sampai 24 jam) dan terkadang ada yang singgah sampai beberapa hari bahkan seminggu di kota-kota tertentu.
Hingga saat tiba di kota Darwin ini, nenek tua penumpang taksi itu bersama teman-teman senasibnya telah menjalani hidup di atas kapal pesiar selama lebih kurang 9 (sembilan) bulan. Saat ini ia merasa lebih sehat secara fisik dan merasa lebih tenang serta rileks dalam menjalani hidup. Ia merasa hidupnya sekarang menjadi lebih baik dibandingkan sebelumnya saat berada di tengah hiruk pikuk kota London.
Menyimak cerita temanku yang cukup inspiratif tentang wanita tua yang hidup di kapal pesiar di atas, sebagai orang Indonesia tentunya aku terpikir apakah pilihan hidup seperti itu masih mungkin untuk diterapkan di Indonesia? Rasanya hampir tidak mungkin atau pesimis pola hidup yang seperti itu akan bisa diterapkan atau dilakukan oleh orang-orang tua yang berusia lanjut (jompo) di Indonesia, mengapa demikian?
Banyak hal atau kondisi yang tidak memungkinkan bagi orang-orang Indonesia yang sudah tua (pensiunan/jompo) untuk melanjutkan hidup mereka di atas Kapal Pesiar. Hal-hal itu antara lain: 1). Adanya budaya dan ajaran agama agar kita “berbakti” (memelihara/merawat) kepada orangtua (apalagi jompo) selama mereka masih hidup; 2). Adanya budaya kekeluargaan yang kuat, yaitu meskipun bukan anak-anaknya tetapi keluarga besar cenderung bersedia untuk memelihara/merawatnya; 3). Hanya sebagian kecil masyarakat Indonesia yang berkemampuan finansial baik untuk mampu membayar biaya hidup di Kapal Pesiar yang mahal dan mewah itu.
Meskipun saat ini hanya segelintir saja orang Indonesia yang mampu menikmati kemewahan kapal pesiar tapi kita masih patut berbangga bahwa putra-putri Indonesia yang bekerja di kapal pesiar dikenal sebagai crew yang terbaik. Sudah sering kita mendengar banyak pujian dari atasan mereka, manajemen/pemilik kapal, maupun dari para penumpang bahwa mereka pada umumnya bekerja sangat terampil, cekatan, dan tentunya sangat ramah dan murah senyum. Untuk saat ini, memang orang-orang Indonesia masih memiliki posisi/peran dan unggul hanya sebagai crew yang baik di Kapal Pesiar. Akan tetapi dengan terus bekerja keras maka bukan hal yang tidak mungkin suatu ketika kelak putra-putri Indonesia justru yang akan menjadi penumpang yang menimatinya atau bahkan menjadi pemilik dari Kapal Pesiar tersebut … Ingat, bukankah dunia dan kehidupan ini berputar… Allahualam Bissawab!
Darwin, 20 Juli 2014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H