Mohon tunggu...
Adil Kurnia
Adil Kurnia Mohon Tunggu... profesional -

Berkelana di Tanah Merege

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Saat Kapal Pesiar Singgah Di Darwin

2 November 2014   17:49 Diperbarui: 17 Juni 2015   18:52 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kapal pesiar tersebut telah menyediakan aneka pelayanan dan fasilitas, dari penyediaan makanan dan minuman (dapur dan restoran-restoran), pemeliharaan kesehatan (dokter umum, dokter spesialis, terapis), sarana olahraga dan kebugaran (fitness centre, massage, kolam renang, billiard, tennis), perawatan kecantikan (salon, pedicure, medicure), hiburan (bioskop, night club, bar, live music), serta pelayanan dan fasilitas-fasilitas lainnya.

Crew atau petugas yang melayaninya pun telah dididik sedemikian rupa untuk terampil memberikan pelayanan prima kepada para penumpang yang umumnya berasal dari kalangan atas (kaya, berduit banyak). Kurang memuaskan sedikit saja atau salah dalam melayani maka sudah pasti akan menerima complaint yang bertubi dari mereka. Memang mereka sengaja mau membayar mahal untuk bisa  mendapatkan pelayanan yang terbaik.

Wanita tua ini bercerita, sejak suaminya meninggal beberapa tahun lalu maka ia tinggal sendiri di sebuah apartemen di tengah kota London (Inggris) yang sibuk dengan biaya hidup yang semakin mahal. Ia memutuskan bersedia untuk hidup di atas kapal pesiar ini atas penawaran dan rekomendasi dari sebuah konsultan/agen asuransi yang kemudian disetujui oleh anak laki-laki satu-satunya yang telah berkeluarga dan berprofesi sebagai bankir. Kesibukan anaknya sebagai bankir di kota London membuatnya tidak mungkin bisa mengunjunginya 1-2 bulan sekali apalagi untuk melayaninya secara intens atau merawatnya kalau sakit.

Pertimbangan lain yang tak kalah penting adalah dari segi ekonomi/finansial, yaitu sudah semakin melonjaknya biaya hidup (perawatan apartemen, biaya makan dan minum, biaya kesehatan, dan biaya-biaya lainnya) di kota London di mana apartemennya saat itu berada. Baginya semua biaya-biaya itu terasa mahal dan sulit untuk ditutupi oleh uang pensiun dirinya dan suaminya maupun oleh sisa tabungannya.

Sungguh suatu solusi yang menarik sekaligus menantang ketika saat itu ada sebuah konsultan/agen asuransi yang menawari dirinya untuk mencoba hidup bahkan menghabiskan sisa hidupnya di atas kapal pesiar yang menyediakan segala kebutuhan kita layaknya kita hidup di darat. Apalagi setelah dikalkulasi secara cermat ternyata biaya yang harus dikeluarkan untuk hidup di atas kapal pesiar menjadi lebih murah dibandingkan dengan biaya hidup di apartemen lamanya yang berada di tengah kota London yang bergengsi itu.

Ketika penawaran untuk tinggal di kapal pesiar ini dikonsultasikan kepada anak laki-laki satu-satunya itu dan anaknya tersebut kemudian menyatakan tidak keberatan maka wanita tua ini pun memutuskan untuk mencoba berani menjalaninya. Ia pun berpikir bahwa ia tidak akan sendirian menjalaninya tetapi juga bersama-sama dengan beberapa wanita tua lainya yang bernasib serupa dengan dirinya yaitu berusia lanjut, fisik semakin lemah, hidup sendiri dan tidak ada keluarga yang bisa memelihara atau merawatnya lagi.

Di atas sebuah kapal pesiar, mereka bisa tinggal selama beberapa bulan (2-3 bulan) dengan hanya singgah beberapa jam di kota-kota tertentu untuk mengisi bahan bakar, mendapatkan air bersih, membeli makanan dan minuman serta memberi kesempatan kepada para penumpang untuk berjalan-jalan menikmati kota yang disinggahi.

Kemudian di kota-kota tertentu (misalnya Singapura), mereka bisa singgah lebih lama (sekitar seminggu) dengan menginap di hotel untuk kemudian dipindahkan ke kapal pesiar lain dengan rute yang berbeda (misalnya dari rute Asia ke rute Eropa atau rute Amerika).  Demikian seterusnya kapal pesiar pergi dan singgah dari suatu kota ke kota lain, ada yang hanya singgah untuk satu hari (bahkan tidak sampai 24 jam) dan terkadang ada yang singgah sampai beberapa hari bahkan seminggu di kota-kota tertentu.

Hingga saat tiba di kota Darwin ini, nenek tua penumpang taksi itu bersama teman-teman senasibnya telah menjalani hidup di atas kapal pesiar selama lebih kurang 9 (sembilan) bulan. Saat ini ia merasa lebih sehat secara fisik dan merasa lebih tenang serta rileks dalam menjalani hidup. Ia merasa hidupnya sekarang menjadi lebih baik dibandingkan sebelumnya saat berada di tengah hiruk pikuk kota London.

Menyimak cerita temanku yang cukup inspiratif tentang wanita tua yang hidup di kapal pesiar di atas, sebagai orang Indonesia tentunya aku terpikir apakah pilihan hidup seperti itu masih mungkin untuk diterapkan di Indonesia? Rasanya hampir tidak mungkin atau pesimis pola hidup yang seperti itu akan bisa diterapkan atau dilakukan oleh orang-orang tua yang berusia lanjut (jompo) di Indonesia, mengapa demikian?

Banyak hal atau kondisi yang tidak memungkinkan bagi orang-orang Indonesia yang sudah tua (pensiunan/jompo) untuk melanjutkan hidup mereka di atas Kapal Pesiar. Hal-hal itu antara lain: 1). Adanya budaya dan ajaran agama agar kita “berbakti” (memelihara/merawat) kepada orangtua (apalagi jompo) selama mereka masih hidup; 2). Adanya budaya kekeluargaan yang kuat, yaitu meskipun bukan anak-anaknya tetapi keluarga besar cenderung bersedia untuk memelihara/merawatnya; 3). Hanya sebagian kecil masyarakat Indonesia yang berkemampuan finansial baik untuk mampu membayar biaya hidup di Kapal Pesiar yang mahal dan mewah itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun