Sekarang! pilihan sulit justru ada di pundak Ahok, apakah maju lewat jalur independen (bus kota) atau naik mercy melalui jalur parpol karena 3 partai pendukung sudah cukup untuk mencalonkan.
Nyali dan konsistensi Ahok saat ini benar-benar diuji. Jika dia memilih jalur independen bisa berdarah-darah mungkin juga bisa gagal. Tetapi jika dia tetap memilih jalur ini maka terobosan politik hebat yang ditempuh teman Ahok selama ini yang begitu gempita dengan partisipasi masyarakat yang luar biasa, akan mendorong terjadinya transformasi pilitik secara positif. Selain akan memaksa parpol untuk berbenah sekaligus bisa mengajak masyarakat berpartisipasi aktif. Jika ini terjadi partai politik yang modern dengan masyarakatnya yang aktif dan kritis akan tumbuh subur.
Tetapi jika Ahok ternyata “realistis” memilih jalur parpol, maka pengumpulan 1 juta KTP menjadi sia-sia. Banyak yang akan kecewa, karena sebagian besar masyarakat pendukung Teman Ahok adalah mereka yang kritis terhadap perilaku partai. Tudingan “sama saja” akan tersemat ke Ahok. Politisi dimanapun sama, apapun akan ditempuh demi kekuasaan. Mungkin Ahok secara mudah bisa menang, tetapi antusiasme masyarakat umum dan hingar bingar pilkada DKI akan berkurang, yang ada lebih banyak mobilisasi kembali.
Dan Ahok gagal menjadi legenda sebagai tokoh yang mentransformasi politik Indonesia. Dia menjadi tidak berbeda dengan politisi pada umumnya. Dan saya kira Ahok kedepan agak sulit untuk bermimpi menjadi presiden Indonesia, karena sebagian masyarakat tidak akan mempercayainya.
Dan Saya yakin Parpol akan senang. Itulah yang selama ini mereka suarakan. Meminjam istilah Tukul “kembali ke laptop” politik Indonesia akan seperti sedia kala. Lebih sibuk dengan dirinya sendiri daripada masalah masyarakat. Dan harapan masyarakat bahwa parpol- parpol di Indonesia menjadi partai modern, masih jauh !.
6. Faktor PKS
Sebagai partai ideologis, berbasis kader yang berjenjang rapi, PKS bisa punya kejutan tersendiri. Jika bisa meyakinkan beberapa partai untuk berkoalisi maka PKS akan mengusung kadernya sendiri. Meskipun ini agak sulit. Di Pilkada DKI 2012 saja ketika PKS berkibar dan orang sekelas Hidayat Nur Wahid maju tumbang juga, apalagi sekarang. Kita belum melihat tokoh mumpuni lainnya di PKS. PKS harusnya berani mendorong Ustad Yusuf Mansyur maju. Karena berminat, punya potensi dan namanya muncul dalam beberapa survey. Jika tidak bisa! Maka PKS akan bergabung ke gerbong Gerindra atau bersatu dalam gerbong Yusril tapi melihat PKS bergabung dengan PDIP agak sulit terjadi.
7. Faktor Calon
Jika Parpol lain punya calon Potensial yang bisa menyaingi Ahok maka Partai lain akan mendekat. PAN dan parpol lainnya sudah mulai memunculkan kader-kadernya di daerah yang berprestasi gemilang sebagai kepala daerah. PPP secara cerdas menyodorkan Ruki sebagai calon potensial. Calon-calon kejutan semacam ini (termasuk Yusuf Mansyur, Buwas) jika punya rekam jejak yang ok, strategi yang tepat, rakyat bisa beralih mendukungnya, apalagi jika dalam perjalanannya “terjadi sesuatu” pada Ahok.
Tetapi sayang Ruki belum apa-apa sudah berbuat “blunder” dengan pernyataannya tentang penanganan KPK berkaitan dengan Sumber Waras. Banyak orang berpendapat bahwa pernyataan Ruki tidak etis sebagai mantan ketua KPK dan sangat politis karena dia dijadikan balon Gubernur DKI PPP. Masyarakat kemudian mulai mempertanyakan integritasnya.
Jadi Ahok hanya bisa dilawan oleh orang yang punya rekam jejak sebanding dengan Ahok. Carilah calon dengan menguliti rekam jejaknya dan apa niat dia ketika terjun kepolitik. Jangan salah meskipun seorang pengusaha yang sudah sangat kaya ketika niat awalnya terjun kepolitik untuk menggelumbungkan usahanya. Atau seorang pemimpin agama yang terjun ke politik untuk motif ekonomi dan kekuasaan maka dia akan melakukan niat itu ketika kekuasaan sudah dipegangnya. Mayoritas anggota dewan dan pejabat di republik ini adalah jenis ini. Tidak heran Partai kehabisan tokoh yang dipercaya oleh masyarakat.