Mohon tunggu...
supriadi herman
supriadi herman Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Mahasiswa pasca sarjana Institut Pertanian Bogor (IPB) 2013 sedang mengikuti program Joint degree di kagawa University, Japan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Celana Jeans Berwarna Biru

5 Januari 2016   12:51 Diperbarui: 5 Januari 2016   12:51 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saat itu saya sedang suntuk mengeja huruf komputer untuk menyelesaikan skripsi yang sekian lama dikejar deadline oleh dosen pembimbing. Khusuk pada asrama universitas yang aku tempati belajar dengan cara menyendiri pada sebuah kamar khusus. Mahasiswa tingkat akhir sepertiku sebenarnya tak lagi layak berdiam diri di asrama mahasiswa yang dikhusukan untuk Mahasiswa baru. tetapi karena saya seorang mahasiswa penjaga masjid asrama kampus maka Alasan bisa menetap di Asrama kampus itu bisa menjadi hak ku. Jadilah orang dipindahkan satu satu untuk meninggalkan asrama blok A dengan alasan renovasi. Tetapi saya tertahan, mana ada muadzin yang akan memanggil jamaah shalat jika saya harus dipindahkan ke kamar yang jauh dari masjid.

            Suara sandal dengan nada pelan mendekat.

Apakah mungkin pengelola Asrama yang menyambangiku lagi untuk menyuruhku segera pindah dari blok A secepatnya?

Seorang lelaki berkaos putih kumal bertuliskan huruf kanji jepang  hadir di hadapanku.

“Maaf Kak, mengganggu?”

Aku ternganga. rasanya tak pantas saja gelar ‘kak’ disandarkan dengan namaku, apalagi sekilas menatap kembali wajahnya secara saksama. Secara pengakuan pribadiku, orang itu lebih tua setahun dua tahun dariku. Diriku menaksir sendiri. Kulitnya bak parut dengan jerawat yang tumbuh hampir merata di permukaan pipinya, rambutnya panjang keriting berwarna kemerahan. Kumis tipis dan jenggot yang menebal semakin membuatku hendak bertanya. Apakah saya memang lebih tua, hingga ia harus memanggilku kakak?

“Maaf, apakah kita pernah saling kenal?”

“Saya Randi kak, mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di Universitas ini”

“iya, ada apa?, ada yang bisa saya bantu?”

“Saya mau minta tolong, saya tak punya beras kak, bisakah saya meminjam uang lima puluh ribu rupiah”

Aku tersenyum. “Maaf kalau saat ini saya juga kekurangan uang. Saya bantu saja ya, nggak usah dipinjam”.

Sambil bersegera mengambil dompet dan mengeluarkan lima lembar pecahan dua ribuan.

“Ini ambil saja”.

“jangan Kak, saya mau pinjam uang. Ini jaminannya”. Sembari menyodorkan sebuah kantongan plastik putih berisikan sebuah jeans berwarna biru tua. tapi saya mohon, dicukupkan tiga puluh ribu ya kak.

Rasa kasihan muncul, akhirnya aku luluh untuk menolongnya padahal uangku sudah kubuladtekadkan untuk membeli sebuah mushaf baru.

“Celana itu ambil saja, aku percaya padamu”.

“Ah jangan Kak, ini sebagai bukti kalau saya bersungguh-sungguh meminjam uang, bukan mengahrapakan bantuan uang suka rela. Saya mengerti kakak juga mahasiswa kan. Seminggu ke depan saya akan kembali jika kiriman dari orang tua sudah datang”.

Aku terperangah. sepertinya orang ini memang jujur dan memiliki niat kuat untuk belajar. buktinya ia masih juga betah menjadi mahasiswa dengan kondisi ekonomi yang demikian terbatasnya.

Belum juga aku beranjak dari kamar, tetap saja ia kubiarkan berdiri di depan pintu.

“Eh, tunggu dulu. nama kamu siapa? Saya lupa”.

“Saya Randi, Kak,”

Mahasiswa Isipol, angkatan 2009”.

Ternyata benar, dia lebih muda dariku, saya angkatan 2007 di Fakultas Pertanian.

*

            Dua minggu berlalu, belum juga ada tanda kalau anak itu datang ke kamarku lagi. Padahal, selain waktu makan dan salat aku tak beranjak dari kamar ini, apalagi menjelang deadline seminar hasil skripsiku yang lama sudah kurencenakan akan berlangsung tiga bulan ke depan.

Kini semua terasa berbalik. aku yang merasa berutang kepada Randi. Uang tiga puluh ribu tak akan cukup jika diseterakan dengan celana jeans. Tekad untuk menyambanginya di fakultasnya muncul. Mungkin dia tak berani menampakkan diri karena belum mempunyai cukup uang untuk menebus celananya ini.

            Pada beberapa orang pengurus masjid dari beberapa macam jurusan yang berbeda kutanyai tentang Randi dan segenap ciri yang bisa mendeskripsikan wujudnya. Satu pun diantara mereka tak ada yang mengenalnya. Mungkin karena mereka mahasiswa pengurus mushallah sepertiku yang kurang banyak mengenal orang karena saking khusuknya di masjid seharian.

            Kuberanikan diri bertanya kepada mahasiswa beberapa jurusan dengan angkatan yang sama dengan Randi, angkatan 2009.

            Betul saja, Mereka hanya menjawabku dengan jawaban singkat. “Saya tak tahu, maaf”. Anehnya mereka lamat memperhatikan celanaku yang tergantung dan gamis yang kukenakan dengan dibubui ekspresi tak ingin berlama-lama berbicara denganku.

            Beberapa saat aku beranjak pada cara yang lebih baik. menanyakannya pada staf pegawai di fakultas. Memperhatikan semua nama Randi yang ada di fakultas ini. Dua nama Randi muncul. Yang pertama bernama Randi Ismawan di jurusan ilmu politik. Dari gambarnya di foto aku yakin bukan dia orangnya, pasalnya Randi yang satu ini kulitnya putih. Randi yang selanjutnya bernama lengkap Muhammad Randi jurusan hubungan internasional, meskipun pada foto tidak begitu mirip namun kemungkinan dia orang yang kucari masih memenuhi harapan. Kulitnya gelap seperti Randi yang pernah ke kamar. Mungkin saja ia kelihatan berbeda karena rambutnya yang kini memanjang dan keriting sementara foto yang ada di daftar mahasiswa adalah foto ketika mendaftarkan diri masuk ke universitas ini. Akhirnya kuputuskan kembali mencarinya esok.

*

            Berkat bertanya pada pada teman-temannya aku akhirnya bertemu dengan Randi, Muhammad Randi, maksudku. Ternyata masih saja sama. Dia bukan Randi yang aku cari. Aku pasrah. Tak akan mencarinya hingga ia sendiri yang kembali mencariku ke kamar. Pada perjalanan pulang ke asrama aku sempat berpikir, apakah mungkin celana yang menjadi jaminan itu sebenarnya hanya celana yang sudah tak layak pakai lagi sehingga ia memberikannya padaku. Dengan kata lain, ini cuma penipuan modus lain, apalagi ketika mengingat wajahnya yang masih kutengarai lebih tua dariku. Mungkinkah?

Sesampai di Asrama, Kuberanikan diri membuka celana yang dititipkan Randi. Ini adalah kali pertamaku membukanya karena sebelumnya tak ada niat sama sekali untuk berprasangka kepada Randi. Aku kaget. Celana itu berukuran besar dan panjang ukuran celana itu bernomor 35. Tak akan mungkin milik Randi yang memiliki badan yang amat kurus seperti itu. Ditambah lagi di dalamnya berisikan sebuah kondom bekas dan beberapa bercak darah yang mewarnai bagian dalam celana itu terpat dekat selangkangan. Yang paling mengejutkan lagi sebuah dompet tebal berisikan lembaran seratus ribuan dan sebuah identitas nama pemilik celana itu. Randi Sunarwan, Phd Aku  tak bisa berucap. Bahkan kali pertama aku berprasangka tentang orang yang menyambangiku tempo hari adalah seorang pembunuh yang mengkambing hitamkan aku sebagai pembunuh dari pemilik celana itu.

*

            Kali ini kembali berkunjung ke Fakultas Isipol dengan pencarian yang berbeda.mencari dosen yang bernama Randi Sunarwan Phd. Hanya berselang beberapa saat aku tahu bahwa orang itu ternyata sudah dinyatakan meninggal tahun 2009 hanya sepotong bagian mayat yang ditemukan, bagian kelelakiannya. tentang mayat lelaki itu, belum ditemukan sampai saat ini bersama dengan seorang anaknya. Berarti saat itu saya masih berstatus mahasiswa semester empat. Pikiranku membanyang tentang kejadian saat itu.

Ketika dalam perjalanan pulang dari masjid dekat danau kulihat dua sosok mayat dijeburkan ke dalam danau oleh sekumpulan orang berpakaian seperti satpam. Aku terdiam, serasa aku menjadi seorang gagu yang tak mampu berbicara.

Lalu, Apa kaitannya dengan kisah ini?, Siapa Randi yang ke kamarku?, mungkinkah ia adalah pembunuhnya atau?

*

            Randi datang. Tepat di depan kamarku. Aku kembali kaget. Mempertanyakan perihal apa yang sebenarnya yang ia maksdudkan dan arti dari semua pengalamanku selama ini. Dia marah memakiku, katanya aku hanya seorang alim yang tahu berbuat jujur dan berani mengambil resiko untuk berpahala tetapi takut bersusah payah menyampaikan sebuah rahasia besar. Ia pergi Aku bergetar atas kedatangan.

Randi hanya menyambangiku dalam mimpi.

*

            Pada beberapa hari terakhir, kabar itu kembali muncul pada permukaan. Penyelidik utamanya adalah saya sendiri, belum ada satu pun orang yang curiga  tentang kejadian yang menimpaku, termasuk pegawai yang kutanya tentang identitas yang kutanyakan akhir-akhir ini.

Tentang kondom dan bercik darah pada celana itu?. Kucoba kembali membuka lemari dan mengeluarkan celana yang misterius itu. Tak ada, celana jeans berwarna biru tua itu menghilang.

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun