Mohon tunggu...
Adi Inggit Handoko
Adi Inggit Handoko Mohon Tunggu... Dosen - Seseorang penghamba media sosial, Hobi denger Radio tertarik dengan isu gender

"Kau Terpelajar, Cobalah Bersetia Pada Kata Hati" (Pram, Dalam Bumi Manusia)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Refleksi Diri: Komunikasi Phatic

7 Maret 2016   10:28 Diperbarui: 7 Maret 2016   11:10 529
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kunci keharmonisan dalam keluarga tidak lain tidak bukan adalah komunikasi itu sendiri. Pemilihan kata-kata untuk bertutur, pemilihan ekspresi untuk menunjukkan sikap dan simbol-simbol lain yang mengiringi ketika berkomunikasi tentu akan menjadikan lawan bicara kita menjadi nyaman, menjadi respek. Orang tua yang menyapa anaknya dengan suara lembut, dan tutur bahasa yang baik tentu membuat anak menjadi nyaman. Anak yang memperlakukan orang tua dengan hormat sudah pasti menjadikan orang tuanya menjadi lebih sayang. Keluarga harus paham kebutuhan afektif, kebutuhan afektif ini akan terpenuhi ketika intensitas komunikasi terjalin intens dan berkwalitas, bukan berdasarkan kuantitas.

Persoalan lain muncul adalah ketika kurangnya intensitas dan kurangnya kedekatan berkomunikasi diantara keluarga, sehingga kondisi demikian mempengaruhi pada penanaman nilai dan norma yang merupakan konsep dasar pembentukan konsep diri. Misalnya saja, orang tua yang terlalu sibuk dengan urusan pekerjaan si anak diasuh oleh asisten rumah tangga. Mau tidak mau ketika si anak ini diasuh sejak kecil hingga ia tumbuh dewasa tidak menutup kemungkinan karakter dan konsep dirinya mengadopsi yang merawatnya sejak dari usia dini. Kemudian, orang tua yang sibuk dengan pekerjaannya meninggalkan anak dirumah sendirian karena merasa bahwa si anak sudah bisa mandiri, disadari atau tidak si anak ini akan mencari nilai dan norma sebagai pondasi konsep dirinya, bukan dari orang tuanya tapi melalui lingkungan sekitarnya.

Contoh nyata kondisi pembentukan konsep diri ini adalah penulis. Sejak usia sekolah dasar, penulis ditinggalkan oleh kedua orang tua bekerja diperkebunan. Ayah dan ibu berangkat kerja pada pukul 04.00 dan ada dirumah pada pukul 16.00. Ketika pulang, sudah pasti dia tidak menemui anaknya karena dipastikan bahwa anaknya sedang bermain dengan teman-temannya. Pukul 17.00 si anak pulang, mandi kemudian makan sore dan mempersiapkan diri untuk mengaji di masjid yang lokasinya lumayan jauh dari tempat tinggal. Pulang mengaji pada pukul 21.00 ayah dan ibu sudah tidur. Kondisi seperti ini berulang-ulang terus sampai sianak ini selesai sekolah dasar. Ketika SMP si anak ditinggal dirumah sendiri, ayah dan ibu menempati perumahan yang disediakan PT. si anak didberi tanggung jawab mengurus dan mengelola rumah sendirian. Komunikasi dengan orang tua hanya dilakukan pada sabtu sore-minggu malam. Ketika SMA si anak melanjutkan SMA di lokasi yang berbeda, diasuh oleh nenek dan bibinya. Hingga menyelesaikan pendidikan Magister orang tua tidak mengikuti perkembangan anak. Konsep diri yang di dapat anak berasal dari luar. Bukan dari kedua orang tuanya. Orang tua mendidik saya dengan keras, mendorong saya untuk menjadi egois, mendorong saya untuk tidak peduli dengan lingkungan sesamanya. Sering memarahi, bahkan memukul terhadap saya, intonasi, diksi ketika marah tidak enak untuk didengarkan. Tapi apakah lantas saya mengikuti jejak orang tua saya? Tidak samasekali, diluar saya belajar berkomunikasi, belajar peka dengan sekitar dan beruntungnya saya selalu berada ditengah orang-orang baik yang menjadi sumber inspirator dalam membentuk konsep diri saya.

Dikutip dari tulisan ibu Sofiah yang melakukan penelitian tentang komunikasi Phatik dalam keluaga menyatakan bahwa melalui komunikasi manusia bisa belajar makna cinta, kasih sayang, keintiman, simpati, rasa hormat, rasa bangga, bahkan iri hati dan kebencian. Oleh karenanya untuk memperoleh kesehatan emosional, masing-masing anggota keluarga harus mampu memupuk perasaan-perasaan positif dan mencoba menetralisir perasaan-perasaan negatif. Orang yang tidak pernah memperoleh kasih sayang dari orang lain akan mengalami kesulitan untuk menaruh perasaan itu terhadap orang lain, karena ia sendiri tidak pernah mengenal dan merasakan perasaan tersebut. Dan kecenderungannya mereka akan bersikap dan berperilaku kasar dan agresif.

Komunikasi yang dilakukan di dalam upaya mencapai kesehatan emosional yaitu untuk pemenuhan diri, untuk merasa terhibur, untuk merasa nyaman dan untuk memupuk kehangatan dengan anggota lain adalah dikenal dengan sebutan komunikasi fatik ( phatic communication ).  Komunikasi ini dalam kehidupan sehari-hari sering diungkapkan dengan menggunakan ujaran namun juga bisa diungkapkan melalui isyarat, seperti ucapan : selamat pagi;  bersalaman, tersenyum, menyapa, membelai, menanyakan kegiatan dan lain sebagainya. Dengan komunikasi fatik diharapkan akan dapat meredusir munculnya permasalahan generation gap dan disorganisasi keluarga di dalam rangka menegakkan keutuhan keluarga dan membentuk keluarga yang berkualitas melalui pemenuhan fungsi afektif dan fungsi sosialisasi.

 

Hubungan Anak dan Orang Tua

Lantas bagaimana seharusnya hubungan anak dan orang tua? Agak sulit  menjawab pertanyaan ini karena posisi penulis belum pernah berada diposisi sebagai orang tua. Penulis hanya coba melihat hubungan ini dari sudut pandang penulis saja, bukan berdasar dari pengalaman pribadi.

Jika kata kunci keharmonisan suatu hubungan adalah komunikasi, maka sebaiknya kita mulai bisa melihat poin-poin bagimana komunikasi yang dibangun antara orang tua anak atau juga sebaliknya. Sebagai orang tua ada baiknya mengetahui bahwa pola komunikasi anaknya ketika usia SMA dengan ketika Anak sudah usia siap menikah. Pola komunikasi semacam ini jelas sudah berbeda. Ketika Usia SMA si anak berperilaku layaknya figure yang ia dambakan, karena biasanya anak-anak usia SMA masih labil dan cenderung mudah diarahkan. Sementara ketika anak sudah menginjak usia dewasa, dia sudah bisa memutuskan keputusan-keputusannya yang bisa jadi tanpa melibatkan peran orang tua. Anak diusia dewasa ini biasanya cenderung ingin terlihat bahwa dirinya mandiri yang mampu memutuskan segala bentuk perkara dilakukannya sendiri. ketika pun salah, cara memarahi anak antara usia Sekolah dasar dengan anak usia dewasa ini berbeda, dari cara pendekatan dari cara bertutur juga dari cara perlakuan. Namun kadang-kadang orang tua lupa bahwa apapun yang dilakukan anak itu masuk dalam “kuasanya”. Sehingga orang tua merasa perlu, merasa berhak atas kehidupan si anak. Tidak salah memang ketika orang tua merasa punya hak penuh terhadap kehidupan anaknya, dia yang melahirkan, dia yang menyusui dia yang merasa mendidik dan dia merasa bahwa anaknya adalah darah dagingnya, sehingga hal-hal yang sepele dia berhak. Tapi sekali lagi pola kehidupan anak usia dini, remaja, dewasa itu punya perbedaan-perbedaan yang batas dan ruang privasinya tidak ingin dijamah oleh siapapun termasuk orang tua.

Hubungan anak dan orang tua sebaiknya dibangun dengan cara horizontal, bukan secara vertikal. Orang tua mendominasi, orang tua tidak mau wibawanya direndahkan oleh orang lain termasuk anaknya. Kondisi inilah yang kemudian memicu egosentrisme orang tua terhadap anak, tindak tanduk orang tua dianggap paling benar, sehingga tidak membuka kesempatan anak untuk memiliki suara. Jika hubungan keluarga dibangun dengan horizontal demokratis, maka bisa saja suasana rumah menjadi nyaman dan harmonis. Ketika orang tua salah, anak punya hak untuk menegur, ketika orang tua salah memulai berani menyatakan kesalahan itu di depan anak-anaknya. Mengakui kesalahan orang tua di depan anak-anaknya tidak akan menurunkan derajat dirinya menjadi orang tua, tidak akan menurunkan pamornya ditengah keluarganya. Justru ketika orang tua berani mengakui kesalahan didepan anak-anaknya itu mengajarkan kebijaksanaan, mengajarkan nilai-nilai karakter, gentle, dan jujur. Tapi kondisi ini jarang terjadi, ya meskipun dibelakang sebenarnya orang tua mengakui kesalahannya tapi pengakuan hanya disimpan dalam lubuk hatinya, tidak bernai mengungkap secara terbuka dan demokratis.

Jika anak bersalah jangan dihakimi secara terus menerus, besarkan hatinya dan buatlah bahwa keluarga dan orang tua adalah teman atau sahabatnya. Saya yakin, ketika anak berada pada tataran usia dewasa menginginkan posisi orang tuanya adalah “sahabat” yang selalu menyenangkan untuk teman sharing. Masalahnya kondisi demikian juga tidak didapatkan oleh anaknya, mungkin orang tuanya terlalu sibuk dengan urusan pekerjaanya atau terlalu sibuk mengurusi hargadiri dan wibawanya. Perlu dicatat baik-baik jangan menambah beban anak ketika anak sedang menghadapi suatu permasalahan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun