Mohon tunggu...
Guritno AS
Guritno AS Mohon Tunggu... Penulis - Penulis | Pengajar | Wiraswasta

Seorang pengajar yang hobi menulis. Biasa menulis di media sosial, LinkedIn, Esaiedukasi.com dan tentu saja Kompasiana.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ketika Gabut Justru Bikin Ngebut

4 Juli 2022   08:54 Diperbarui: 4 Juli 2022   11:47 257
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Andai saja Mr. Newton tidak gabut bertanya kenapa apel bisa jatuh, pasti buku fisika tidak akan setebal sekarang. Namun karena kegabutannya itu, Newton berhasil mencatatkan namanya menjadi salah satu ilmuan termahsyur di dunia, bersanding dengan nama-nama besar semacam Marrie Curie, Thomas Alva Edison, Nikola Tesla, Alexander Graham Bell, Alexander Volta ataupun sang maestro Albert Einstein.

Tulisan ini tidak akan membahas perdebatan tentang kekuatan siapa (atau apa) yang menarik benda-benda agar kembali jatuh ke tanah, bukannya melayang-layang layaknya ubur-ubur di tengah samudera. Tulisan sederhana yang diketik sebelum memulai aktivitas di kantor ini saya persembahkan kepada mereka yang suka gabut.

Saya bertaruh Anda sebenarnya tahu arti kata ini, bisa menggunakannya dalam kalimat tetapi masih bingung tentang definisinya. Sama, saya juga. Anak muda kita memang kreatif. Bayangkan saja, kata-kata baru bermunculan setiap saat. Belum mampu menyelami makna, muncul lagi istilah yang lebih baru. 

Bahkan sekarang jauh lebih keren, ada bahasa Jaksel! Ini republik sempalan Indonesia atau apa? Siapa pula yang menyusun bahasanya beserta gramatika dan panduan umum penggunaannya? Apakah juga ada Kongres Pemuda Jaksel yang mendeklarasikan suatu bahasa khusus sebagai bahasa pemersatu? 

Tidak perlu terlalu serius, nanti malah nambah beban pikiran. Nikmati saja kreativitas bangsa kita ini. Meski belum bisa masuk Piala Dunia, setidaknya kita ini sering tampil dalam ulasan-ulasan berita, entah karena kreativitas suporter bola kita atau karena kreativitas dalam memunculkan klub-klub yang pagi muncul sore sudah ganti nama dan pemilik.

Oke kembali ke kata gabut. Ini kata spesial. Tahu artinya? Sebenarnya ini akronim (atau singkatan?) dari dua kata, yakni gaji buta. Sejak kapan gaji bisa melihat? Bukan, bukan itu pembahasannya. Ini bukan menyindiri siapapun. Cuma ingin membuktikan saja bahwa kreativitas kita dalam hal bahasa memang sulit ditandingi.

Baru muncul, kata gabut sudah mengalami pelebaran atau bahkan pembelokan makna. Alhasil istilah bukan lagi mutlak merujuk pada aktivitas negatif, yakni korupsi dan kurang bertanggung jawab pada tugas yang diberikan namun tetap menerima gaji. 

Merujuk pada laman Gramedia, gabut kini adalah sebuah istilah untuk menggambarkan kondisi tidak tahu harus berbuat atau melakukan apa karena memang tidaka ada yang harus dilakukan. See! Masyarakat kita memang ajaib. Istilah baru langsung mengalami pembaharuan dengan cepat. Mungkin besok istilah kriminal bisa berubah menjadi sosok yang tega melakukan tindakan penipuan hati lalu kabur. Semoga saja tidak terjadi.

Gabut jadi Ribut

Meski mengalami penghalusan makna, tetap saja istilah gabut yang terbaru terdengar kurang positif. Bisa saja karena kegabutan akan muncul keributan.

Misal saja, dalam suatu struktur organisasi perusahaan, dengan sengaja dibuat posisi-posisi gabut. Job description tidak jelas, penugasan juga sekedar formalitas alhasil yang bersangkutan gabut. Bahkan gabut kuadrat. Makan gaji buta iya, bingung mau ngapain juga iya. 

Tidak perlu waktu lama untuk kemudian muncul keributan. Karena si gabut suasana jadi ribut. Demo mungkin belum terjadi karena takut akan mempengaruhi KPI, tetapi bibit-bibit kedengkian berupa nyinyir di kantin atau membentuk persatuan tenaga kerja sakit hati yang aktif di WA Group bayangan sebagai tandingan dari WA official kantor mulai bergeliat. 

Gabut justru Harus Ngebut

Sebenarnya kurang tepat jika ada kondisi yang membuat orang jadi gabut. Bukankah sebenarnya terlalu banyak pekerjaan yang bahkan belum dilakukan. Tidak, maksud saya bukan seekstrim mendamaikan Rusia dan Ukraina atau jadi sukarelawan hidup di Neptunus. 

Justru jika memang pekerjaan utama sudah selesai dan menunggu pekerjaan baru datang (hai calon mahasiswa gap year), maka modal berupa waktu luang itu harusnya diubah jadi peluang.

Gabutmu harus membuatmu ngebut. Itu sebuah privilege, disaat yang lain harus banting tulang demi memastikan bisa makan nanti siang, para gabuters yang masih terjamin kebutuhan dasarnya harusnya bisa memanfaatkannya untuk berkembang.

Misal nonton tayangan bermutu dari kanal-kanal keren yang dengan ikhlas memberikan ilmu gratisan. Ada banyak kanal seperti ini, bahkan menurut laman Esai Edukasi, ada 100 channel Youtube keren yang harus dicoba untuk bisa meningkatkan ilmu serta skill.

Selain itu bisa juga coba ikut boot-camping atau kursus berbayar yang sedang menjamur. Itu kalau punya modal finansial. Jangan salah, inilah yang dimaksud investasi leher ke atas. Istilah yang keren namun artinya simpel: belajar.

Gabut juga bisa menjadi saat yang tepat untuk berefleksi. Siapa tahu Anda berbakat jadi penerus Plato, Socrates atau filsuf legendaris lainnya. 

Terakhir gabut juga adalah waktu yang tepat untuk berbuat baik lebih intensif, misal ikut ambil bagian dalam pelayanan di gereja, membantu Pak Marbot merawat mesjid atau menemani mamah ke Kuil. Bisa juga membantu Pak RT mendata anak kos yang baru datang dari desa, membantu pak Babin menjaga keamanan kampung atau melakukan aksi peduli lingkungan.

Percayalah, gabutmu harus membuatmu ngebut. Seperti teman kita di awal tulisan ini, yang karena dia, kita tahu bahwa fisika itu mudah dan menyenangkan. Terlebih ketika membicarakan sesuatu yang tidak terlihat namun memiliki kekuatan hebat untuk tetap membuat kita menancap di bumi. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun