Mohon tunggu...
Guritno AS
Guritno AS Mohon Tunggu... Penulis - Penulis | Pengajar | Wiraswasta

Seorang pengajar yang hobi menulis. Biasa menulis di media sosial, LinkedIn, Esaiedukasi.com dan tentu saja Kompasiana.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Hadiah untuk Guru: Bukan tidak Boleh, tapi...

3 Juli 2022   08:11 Diperbarui: 3 Juli 2022   10:18 353
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Manusia adalah makhluk yang suka berbagi. Mulai dari berbagai cerita hingga berbagi hadiah. Tentu saja ada latar belakang yang melandasi seseorang bisa berbagi hadiah, misal sebagai ungkapan rasa terima kasih.

Memberi hadiah kepada guru bagi sebagian besar walimurid adalah hal biasa yang sudah menjadi budaya secara turun-temurun. Bisa jadi yang bersangkutan ketika di masa masih sekolah dulu juga melihat bahwa orang tuanya melakukan hal yang sama, memberi hadiah untuk guru ketika tahun ajaran selesai.

Metode yang diberikan juga bermacam-macam. Ada yang secara pribadi dengan menjunjung tinggi asas menjaga privasi. Ada pula yang entah bagaimana menginisiasi walimurid lain untuk membentuk semacam 'grup arisan' mendadak dengan tujuan mengorganisir pemberian hadiah untuk guru.

Khusus yang kedua, bentuknya juga bisa di-breakdown menjadi beberapa macam : 

  1. Patungan dengan nilai minimal iuran tertentu.
  2. Serelanya, seikhlasnya sesuai dengan kemampuan yang dimiliki.

Target aksi pemberian hadiahnya juga bermacam-macam, antara lain : kepsek, wakasek, walikelas, semua guru yang mengajar anaknya atau semua guru di sekolah, termasuk juga tenaga perpustakaan, suster UKS, dan mereka yang bekerja di ruang TU.

Bolehkah Memberi Hadiah Kepada Guru?

Nah, langsung masuk ke inti pembahasan. Bolehkan memberi hadiah kepada guru? Secara etika, tentu saja boleh. Kenapa tidak? Terlebih hadiah yang diberikan adalah bentuk ekspresi ucapan terima kasih yang tulus karena beliau-beliau ini sudah bekerja keras mendidik, mengajar, membina dan mengarahkan sang buah hati selama di sekolah.

Pemberian hadiah juga berarti rasa percaya walimurid kepada institusi dan sang pendidik. Bukankah ini juga hal yang positif jika dilihat sebagai feedback dari pihak eksternal?

Selain itu, dilihat dari berbagai perspektif budaya, hal ini juga sudah terdapat di banyak tempat. 

Ketahui Aturan yang Berlaku

Namun harus diingat bahwa lain ladang lain ilalang. Lain hutan lain burungnya. Bisa jadi walimurid-walimurid yang melakukan aksi pemberian hadiah tersebut terinspirasi dari dirinya semasa kecil melihat ibu atau ayahnya atau keduanya melakukan hal yang sama ketika mereka sekolah.

Namun anaknya bersekolah di tempat yang berbeda. Inilah kuncinya. Apakah ada peraturan tertulis-tidak tertulis mengenai hal ini? Tentu jika ada, maka bijak sekali untuk menurutinya. Patuh pada aturan akan menciptakan ketertiban dan keselarasan. 

Di samping itu, pada umumnya aturan dibuat karena ada kondisi yang melatarbelakanginya, apapun itu. Jadi jika satuan pendidikan tersebut merasa sudah berbangga dan senang hati dengan hadiah berupa ucapan terima kasih, maka ikuti saja.

Diskriminasi

Memang terkadang ada udang di balik batu. Namun berpikir positif tidak ada salahnya. Tidak perlu terlalu jauh bertendensi bahwa ada oknum yang memberi hadiah luar biasa besar, mewah dan mahal kepada sang guru, termasuk juga kepsek dan lainnya dengan tujuan agar si anak mendapatkan perhatian lebih. 

Mengenai hal itu, pasti guru yang memegang teguh prinsip profesionalitas akan tetap berjalan di rel yang ada dengan berlandaskan kebenaran, keadilan dan cinta yang sama kepada semua peserta didiknya.

Justru yang harus dilihat adalah dari perspektif guru atau warga sekolah yang tidak mendapat hadiah, padahal mereka juga punya kontribusi nyata.

Untuk itulah aturan tentang pelarangan pemberian hadiah di waktu kenaikan kelas di satuan pendidikan tertentu  (andaikan ada)  patut untuk diapresisasi.

Terlebih jika aksi pemberian hadiah itu dilakukan secara kurang tulus karena ternyata kondisi ekonomi keluarga siswa juga sedang tidak bagus-bagus amat.

Saya jadi teringat cerita teman yang bapaknya dokter. Alih-alih mendapat uang setelah menyuntik anak-anak sekitar yang jadi pasiennya, dia justru dapat hal yang tidak diduga: bandeng, kepiting, udang windu, dan hasil laut lainnya. Padahal harusnya pembayaran dilakukan dalam bentuk uang. Nah, apakah beliau menolak? Tidak. Inilah potret masyarakat kita, yang memberi berdasarkan kerelaan. Jika memang para nelayan pada waktu itu belum sempat ke balai lelang atau pasar karena si anak sedang urgent, sementara yang dipunya adalah udang, maka derajat udang tentu saja bisa dikatakan setara dengan lembaran kertas bertuliskan angka. Inilah kemanusiaan. 

Profesionalitas

Tentu kurang tepat jika mengandalkan hadiah dari walimurid setiap akhir tahun ajaran. Namun jika hadiah itu diberikan dengan rasa terima kasih yang tulus, maka menolaknya juga tidak bijak. Asal tidak ada aturan yang dilanggar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun