Presiden SBY melakukan kesalahan fatal dalam upaya mempertahankan citranya dari sasaran kritik. Kelihaian SBY mempermainkan kata retoris sangat disayangkan dalam berbagai kesempatan terutama ketika perannya dituntut sebagai presiden, pemimpin tempat semua orang rakyat mengadu sebagai warga negara. Ini bukan soal "memerintahkan" yang menghebohkan itu.
Selain beberapa pidato yang buruk dan tidak menggerakkan hati pendengarnya, curhat dan lainnya, terakhir SBY juga menunjukkan ketidakberpihakannnya pada rakyat. Rakyat baginya adalah nomor ke sekian, bukan yang pertama dan utama. Hal itu, menurut serangkaian pernyataan Presiden yang diunggah di akun jejaring twitter Presiden, @SBYudhoyono, untuk merespon keresahan masyarakat.
=====
[caption id="" align="aligncenter" width="479" caption="ss twit @sby"][/caption]
"Kemarin saya instruksikan Wapres pimpin Rapat Kabinet untuk carikan solusi. Arahan saya: jangan sampai meningkatkan inflasi dan bebani rakyat. Hari ini, Minggu 5 Januari 2014, saya minta Wapres laporkan hasilnya di Halim beserta solusi yang pro rakyat," katanya.
======
Sekilas penyataan diatas tampak biasa saja dan mungkin sudah memenuhi retorika diktif sebagaimana seorang berbicara pada umumnya. Tetapi letak kesalahan fatal jika seorang presiden berbicara selaku pemimpin adalah ketika beliau mengedepankan kata "jangan sampai meningkatkan inflasi..." disusul "..bebani rakyat".
Perhatian SBY yang mendahulukan "inflasi" memang bentuk upaya concern beliau pada keutamaan ekonomi tetapi hanya sebatas presiden. Jika SBY menempatkan dirinya selaku pemimpin, maka seharusnya presiden mengedepankan rakyatnya, misal : "jangan sampai menambah beban rakyat... dan kita harus menjaga inflasi.. bla.. bla.. bla...".
Memang kesalahan minor ini hanya soal penempatan kata, tetapi bagi ilmu komunikasi dan politik, pernyataan di akun SBY dapat diartikan prioritas seorang pemimpin. Dimana hatinya berada, prioritas utamanya dan bahkan isi kepalanya selaku Kepala Negara. Tidak heran jika ada yang mengartikan ucapan SBY yang "memohon ke KPK " ketika di tanah suci sebagai "memerintahkan". Selain posisinya sebagai presiden, semua kalimat yang beliau ucapkan memang mengarah pada kata "perintah".
Public speaking SBY memang sangat bisa diandalkan jika kita berpatokan pada kemampuan berbicara dengan pola "menguliahi". Tetapi, setiap kata dan kalimat mengandung sifatnya masing masing, apalagi untuk mengukur kadar atau kualitas leadership seseorang. Pemilihan kata oleh SBY sering menjauhkan pendengar dari apa yang mereka ingin dengar dan seorang pemimpin yang baik tidak akan salah dalam membuat urutan prioritasnya, terutama rakyat dan bawahannya.
#Lagipula, jika ditinjau lebih jauh ini bukan sekedar inflasi pak... akan ada konversi besar-besaran dari tabung 12kg ke tabung melon 3kg yang bersubsidi itu. Jika pengguna 1 tabung 12 kg berganti ke 3kg, maka dibutuhkan 4x stok saat ini dan itu berarti akan ada potensi pembengkakan subsidi gas setidaknya 3 kali lipat dari sekarang. Padahal digunakan untuk industri, bukan pengguna rumah tangga biasa, apakah tidak semakin menguras beban APBN kedepannya?.
======
Selanjutnya SBY juga menuliskan:
"Saya mengetahui sebagian masyarakat menyoroti dan protes kenaikan harga Elpiji 12 kg yang dilakukan Pertamina."
======
Ada yang salah? Tidak!.
Tetapi...
Sekali lagi... sebagai pemimpin, presiden bukan milik sebagian kalangan. Katanya presiden "mengetahui" tetapi pengetahuan SBY ternyata sangat terbatas. Seharusnya sebagai presiden, pak SBY tidak menggunakan kata "sebagian" dalam statemen seperti diatas, karena hampir tidak ada yang setuju kenaikan gas LPG Pertamina, kecuali orang desa yang tidak menggunakan gas elpiji dan Pertamina sendiri. Dan Pertamina bukan "sebagian lain masyarakat" sebab BUMN itu adalah perusahaan dan orang desa tadi pasti akan terdampak.
Dari pernyataan yang sepenggal diatas dapat kita lihat bahwa presiden menunjukkan cukup peka pada gejolak "dibawah" tetapi seolah tidak tahu siapa itu rakyat dan apa itu perusahaan? Meski keduanya dibawah kepemimpinan beliau selaku penguasa negara.
Bagaimanapun, presiden sudah menuliskan apa yang dia ingin sampaikan melalui akun twitternya. Banyak keluhan dari followers dan tidak terhitung juga keluhan yang ditujukan ke akun itu. Tetapi, jika selaku presiden dia menulis seperti diatas, jangan heran jika banyak intepretasi dari pembacanya. Sementara jika dia sebagai pemimpin, maka SBY perlu penasehat ilmu komunikasi literatif.
Bukan soal bagaimana kita berkuasa ( mencitrakan diri ), tetapi bagaiamana kita memimpin (membangun citra itu ).
=Sachsâ„¢=
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H